Ceramah Bupati Bojonegoro, Suyoto, di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Kesucian Hati dan Kebahagian Dalam Beragama
Jumat, 01 Juli 2016 07:00 WIBOleh Drs. H. Suyoto M.Si. *)
Oleh Drs H Suyoto Msi *)
PADA saat Allah memberikan kitab kepada kita semua, maka Allah sejatinya telah menebar janji, barang siapa yang mengikut petunjuk Allah, maka orang itu tidak akan menderita kesusahan dan tidak akan takut jika datang cobaan. Faman tabi’a hudâyâ falâ khoufun ‘alaihim walâ hum yahzanûn.
Kalau hari ini di jalan, di rumah, di masyarakat, diri kita masih mempunyai perasaan susah, selalu was-was dan takut, bolehlah kita bertanya kepada diri kita, sudahkah kita mengikuti petunjuk Allah. Barangkali kita sudah bertadarrus atau membaca Al Qur’an tetapi ketenangan belum didapat, maka ada satu hal yang harus kita lakukan, yaitu berupaya mengubah jiwa kita minaddhulumâti ila nûr, dari kegelapan menuju hidayah.
Setiap membaca Al Fatihah ihdina-shirâtal mustaqim itu sebenarnya adalah pernyataan kita untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Jadi jika terdapat seorang muslim yang merasa maksimal dan merasa baik, maka itu tidak normal. Seorang muslim tidak boleh merasa dirinya sudah maksimal. Seorang muslim harus merasa dirinya selalu kurang, sehingga dirinya selalu terbuka untuk menerima segala hal yang baik. Karena dirinya belum sempurna, maka dirinya akan selalu membuka hati dan pikiran untuk menerima hidayah Allah SWT.
Dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2, Allah melukiskan jiwa-jiwa tenteram dapat diperoleh melewati 3 tahapan penting yaitu: 1) tahapan tilawah/membaca qur’an; 2) tazkiyatun nafs mensucikan diri; 3) dan mempelajari kitab serta hikmah.
Jiwa yang masih susah, gundah gulana dan selalu takut digambarkan dalam ayat ini fi dhulâlin mubin, yaitu kesesatan yang nyata.
1) Tilawah: Dalam Mu’jam al-Mufrodat, tilawah adalah al-Qiroah wal-Iqtida (membaca dan menigikuti) bukan hanya qiroah, bukan hanya membaca. Hendaknya pembaca mengikuti syarat yang ada, yaitu membuka pikirannya. Karena itu orang yang merasa benar sendiri dan paling hebat maka dapat dipastikan bahwa dirinya tidak membuka pikiran.
2) Tazkiyatun nafs: Hati harus bersih dan tertata. Hati sangat mempengaruhi niat. Niat yang baik berasal dari hati yang baik. Maka untuk mendapat kebahagiaan, hati kita harus baik sehingga dapat muncul niat yang benar dari dalam diri kita.
3) Ta'allum kitab dan hikmah: Hikmah jauh lebih mudah didapatkan manakala kita benar dalam mempelajari Al-Qur’an, dan mempelajarinya dengan maksud supaya diri kita menjadi lebih baik, masyarakat lebih baik, dan dunia lebih baik.
Sesuai niatnya orang-orang belajar agama mempunyai 3 motif.
- Motif Anteman, seseorang yang belajar agama untuk mendapatkan bahan anteman. Atau bahan untuk menyalahkan pendapat orang lain.
- Motif Ageman. Seseorang yang belajar agama, aktif membaca ayat supaya dirinya mendapatkan simbol atau baju untuk dirinya sehingga muncul pengakuan bahwa dirinya pintar dalam bidang ilmu agama.
- Motif Ugeman. Seseorang yang belajar agama dengan benar dalam rangka supaya hidupnya lebih baik, melakukan perubahan-perubahan ke arah lebih baik. Inilah motif yang benar, menjadikan agama pedoman untuk hidup. Agama the way of life.
Yang memutuskan motif pencarian ilmu adalah diri kita bukan siapa-siapa. Maka, ada orang yang dengan cepat mampu menangkap nilai-nilai dan ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan ada juga orang yang sangat lamban mendapatkan pencerahan dari Al-Qur’an bahkan semakin jauh kehidupannya dari nilai-nilai Al-Qur’an meskipun ia selalu membacanya. Jiwanya tetap gersang karena ia membaca AL-Qur’an justru untuk menebar kebencian, melampiaskan kemarahannya, dan hidup dengan menabrak bahkan merusak tata-tata kehidupan beragama.
Hati yang mempunya rasa kebencian dengan orang lain akan merasa sulit untuk berhubungan dengan makna Al-Qur’an. Seperti seorang suami istri yang sedang (gegeran) bertengkar. Ketika suami berbicara, sedangkan sang istri diam seolah-oleh mendengarkan. Padahal sesungguhnya diamnya sang istri bukan untuk mendengarkan pembicaraan suami, melainkan menunggu giliran dirinya berbicara untuk menyerang balik sang suami. Begitupula sebaliknya. Jika yang terjadi seperti ini maka tidak mungkin seseorang mendapatkan hikmah.
Pancasila Republik Indonesia pada butir ke-lima sangatlah tepat yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, bukan “Kerakyatan yang dipimpin oleh kebencian dan kemarahan”. Orang yang mempunyai hikmat dan kebijaksanaan sudah tentu dirinya bisa bermusyawarah, saling memberi isyarat.
Bisa jadi orang yang sedang berkumpul dia tidak mendapatkan hikmah, karena dia tidak sedang bermusyawarah, melainkan sedang berdebat atau sedang mencari pembenaran-pembenaran untuk dirinya. Tidak ada upaya Tazkiyatun Nafs, tidak pula membuka pikiran dan hatinya, oleh karena itu seberapa banyak ia berkumpul tidak akan mendapatkan hikmah dan manfaat.
InshaAllah problem keluarga, problem masyarakat, proplem perusahaan dan segala problem lainnya jika kita sikapi dengan kebijaksanaan kemudian kita buka dengan musyawarah akan banyak sekali yang bisa diselesaikan bahkan diperoleh manfaat melampaui yang kita bayangkan.
Syarat organisasi tumbuh dengan cepat dalam buku learning organization adalah; 1) punya niat untuk menghadirkan masa depan yang lebih baik; 2) memahami kompleksitas, bukan jalan pintas; 3) adanya keinginann untuk berdialog satu dengan yang lain. Oleh karena itu, semangat untuk saling meniadakan akan tergantikan dengan semangat saling menghargai dan saling menghormati, itulah kebahagiaan.
Sebagai bahan renungan, dalam surat Yasin, Allah berfirman: “Aku menghidupkan orang yang mati dan aku menulis apa saja yang telah diperbuat oleh manusia serta akibat-akibat yang diperbuat oleh manusia. Semua itu Aku himpun dalam kitab yang agung”. Ternyata Allah akan menghisab akibat-akibat dari apa yang kita perbuat bukan hanya berhenti pada perbuatan. Jika seorang bupati, akibat dari tanda tangan itulah yang akan dimintai pertanggung jawaban. Seorang atasan, akibat dari perintahnya kepada bawahan itulah yang akan dihisab nantinya dimasa mendatang.
Pada 10 hari terakhir bulan Ramadan ini, hendaknya kita memanfaatkan momentum pembelajaran yang bisa mempermudah kita untuk mendapatkan pencerahan-pencerahan Al-Qur’an. Dengan harapan, kebencian dapat tergantikan dengan kasih sayang dan kita semua diliputi kebaikan. (*)
Jakarta, 25 Juni 2016.
*) Transkrip oleh Zulfikar Ganna Priyangga, Lc.