Olyvia Dian Hapsari, Mahasiswi Pendidikan Sejarah UNESA
Belajar Sejarah Itu Seperti Menjadi Detektif dan Traveller
Minggu, 18 September 2016 19:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah, gaung pesan presiden pertama RI, Bung Karno, dalam salah satu pidatonya, itu masih terasa hingga kini.
Namun seringkali sejarah sebagai disiplin ilmu kurang begitu menarik bila dibandingkan dengan ilmu lainnya. Seolah-olah sejarah hanyalah berupa teks yang sekadar untuk dihafal tanggal-tanggal kejadiannya saja dan tidak jelas gunanya, dan sebab itu menjadi alasan orang tidak tertarik.
Tapi itu tidak berlaku bagi gadis manis berkacamata ini, Olyvia Dian Hapsari, mahasiswi jurusan Pendidikan Sejarah di sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya.
Olyvia, sapaan dia, menemukan banyak hal menarik dan penting di sekelilingnya yang sebelumnya dianggap sepele. Dengan melek sejarah, hal-hal yang sepintas sepele itu ternyata penting. Kepada beritabojonegoro.com (BBC), Olyvia menceritakan sepenggal pengalamannya bermesraan dengan sejarah, Minggu (18/09/2016).
Masuk jurusan Pendidikan Sejarah pada Fakultas Ilmu Sosial bagi Olyvia pada mulanya adalah karena terdampar. Yang namanya terdampar ya kecelakaan, tidak dinginkan dan ada kesan sebagai sebuah kesalahan. Yakni kesalahan yang dia lakukan ketika menentukan jurusan kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu, dua tahun lalu.
Namun ada kalanya terdampar itu mengasyikkan. Meski masuk di jurusan sejarah adalah kesalahan, Olyvia menikmatinya sekarang. Itu tidak lain karena sedari awal dia sudah memiliki ketertarikan terhadap sejarah.
Olyvia mengaku awal mula ketertarikannya terhadap sejarah berawal dari buku-buku sastra yang dibacanya saat masih SMA sekitar lima tahunan lalu.
"Karena awalnya kelas ekstra jurnalistik di SMA diwajibkan membaca buku sastra misal karya Ahmad Tohari, Umar Kayam dan Pramoedya Ananta Toer. Nah, latar kisah di novel tersebut membuat penasaran. Misalnya saja dalam Ronggeng Dukuh Paruk (karya Ahmad Tohari), ada istilah manipol usdek dan pemanfaatan ronggeng untuk alat propaganda politik. Dari sanalah aku mulai mencari di buku sejarah atau tanya ke guru sejarah," ungkap Olyvia.
Gadis yang juga sering menulis cerita pendek ini kerapkali menemui bahwa sejarah selalu menjadi bagian dari sebuah karya sastra. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa tanpa adanya sejarah, karya sastra yang diciptakan pengarang bakal hampa tidak bermakna.
Dari sejarah pula, Olyvia juga belajar untuk melihat keadaan lebih luas. Mulai dari segi sosial, adat, kesenian ataupun perilaku di dalam masyarakat. Saat aktif kuliah itulah Olyvia semakin menikmati belajar sejarah.
Dia juga mengungkapkan, karena menarik, orang belajar sejarah itu seperti menjelma jadi detektif atau traveller. Orang bisa menelisik apa yang sudah ditinggalkan masa lalu dengan apa yang sudah ada sekarang. Sekaligus bisa melanglang buana ke mana pun, ke seluruh dunia. “Tanpa perlu terbang ke sana tentunya," canda dia.
Mempelajari sejarah menurut Olyvia tidak harus selalu ke museum, tapi bisa langsung ke alam. Lihat saja Bengawan Solo di Bojonegoro, katanya. Apa saja peran sungai terpanjang di pulau Jawa ini untuk umat manusia? Salah satunya adalah sebagai jalur transportasi perdagangan. Buktinya sudah ditemukan perahu kuno di dasar sungai beberapa tahun yang lalu. Perahu kuno itu diyakini banyak pihak sebagai buatan Tiongkok pada abad ke-16.
"Intinya sejarah gak melulu soal teks. Walaupun diharuskan membaca. Tapi juga wajib travelling ke tempat-tempat bersejarah. Yang bersejarah juga bukan melulu museum. Tapi bisa gunung, sungai, desa, jalan dan kain-lain. Tanpa travelling ya sama saja mengawang-awang alias melamun," terang gadis kelahiran Bojonegoro tahun 1996 ini.
Serunya perjalanan menelusuri tempat-tempat bersejarah juga pernah dilakukan Olyvia saat kuliah, yaitu saat praktek di luar kelas. Dia dan kawan-kawannya mengunjungi Dieng, dataran tinggi di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah, untuk melihat candi-candi yang ada di sana. "Di daerah Jawa Timur, biasanya candi-candinya bentuknya lebih kurus dibanding Jawa Tengah yang lebih gembul. Namun, candi-candi di Jawa Tengah lebih susah dibedakan mana yang candi Hindu atau Budha," kata dia menjelaskan.
Sebab jejak akulturasi Hindu dan Budha pada candi-candi di Jawa Tengah itu begitu kuat. Misalnya saja terdapat candi yang beratapkan meru, yang menandakan itu Hindu, tetapi ketika dilihat lebih teliti ternyata di dalamnya terdapat patung Budha.
Mengenalkan sejarah daerah juga penting, lanjut dia. Bila dikemas dengan pendekatan sejarah yang cantik, sebuah tempat atau peristiwa di daerah tentunya akan mendatangkan potensi wisata. Misalnya hari ini ada Festival Tahu Ledok. “Itu juga bisa jadi lahan promosi yang bagus. Tentang bagaimana sebagian besar masyarakat di sana memproduksi tahu, dan bagaimana peran tahu terhadap ekonomi mereka,” kata dia serius.
"Kita ini bagian dari sejarah. Tidak ada salahnya untuk mempelajarinya. Selain itu sangat menarik untuk mempelajari sejarah melalui alam," pungkas Olyvia.(ver/moha)