Produksi Batu Bata Merah Turun Saat Musim Hujan
Selasa, 20 Desember 2016 10:00 WIBOleh Heriyanto
Oleh Heriyanto
Perajin batu bata merah di tepian Sungai Bengawan Solo di Desa Mojo,
Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, kini seolah menyerah pada
alam. Datangnya musim hujan telah menyebabkan produksi batu bata
merah turun dari sebelumnya.
Kawi, 56, perajin batu bata merah di Desa Mojo, menuturkan, pembuatan
batu bata merah agak menurun sejak sebulan terakhir. Kondisi itu
dipengaruhi oleh cuaca yang sering mendung dan diiringi hujan.
“Produksi batu bata merah agak menurun,” ujarnya.
Bahan dasar batu bata merah itu berupa tanah liat yang mengendap di
tepian Sungai Bengawan Solo. Namun, saat memasuki musim hujan, endapan
tanah liat itu lebih sering tergenang air berwarna kuning kecokelatan
yang kini sering memenuhi penampang sungai. Kondisi itu menyulitkan
para perajin mendapatkan bahan baku tanah liat.
“Saya harus menunggu kondisi sungai surut dulu baru mengambil tanah
liat di pinggiran sungai,” ungkap Kawi yang sudah puluhan tahun
menjadi perajin batu bata merah ini.
Tantangan para perajin batu bata merah yang mengelompok di dekat
Sungai Bengawan Solo di Desa Mojo itu tidak berhenti di situ. Saat
bahan baku tanah liat didapatkan, mereka lalu menghaluskan tanah liat
yang kabarnya kualitasnya sangat bagus itu hingga kondisi tertentu.
Selanjutnya, tanah liat itu diratakan dan dicetak berbentuk persegi
panjang seukurun batu bata merah di tanah lapang di tepian sungai.
Namun, karena sering mendung dan hujan, proses penjemuran batu bata
merah itu memakan waktu cukup lama.
“Terkadang, tanah liat yang sudah dicetak itu bukannya mengeras
melainkan tambah lembek sehingga tidak bisa dibakar,” tutur Kawi.
Pada saat musim kemarau, proses penjemuran tanah liat itu hanya
memerlukan waktu sekitar dua hari. Namun, saat musim hujan, proses
penjemuran tanah liat itu bisa memakan waktu hingga sepekan lebih.
Proses yang terakhir yaitu membakar tanah liat yang telah dijemur itu.
Cetakan tanah liat yang sudah berbentuk persegi panjang itu ditata
sedemikian rupa di atas tungku pembakaran. Perajin biasanya memakai
kulit sekam padi untuk membakar batu bata merah itu. Saat musim hujan,
proses pembakaran batu bata merah itu juga memerlukan waktu lebih lama
dibanding sebelumnya.
“Kalau musim kemarau hanya butuh waktu dua hari untuk membakar batu
bata merah itu, tetapi kini butuh waktu sampai lima hari,” ungkap
Kawi.
Sekali pembakaran, biasanya Kawi menaruh 20 ribu lebih batu bata merah
itu di atas tungku. Proses pembakaran itu dilakukan di tempat khusus
dan diberi atap sederhana. Dengan begitu, meski terjadi hujan deras
proses pembakaran itu tetap bisa dilakukan.
Sunaji, 43, perajin batu bata merah lainnya di Desa Mojo menuturkan,
proses pembuatan batu bata merah pada saat musim hujan memang lebih
sulit ketimbang musim kemarau. Kondisi itu, kata dia, membuat harga
batu bata merah kini naik dari sebelumnya.
“Harga batu bata merah saat ini naik,” ujarnya.
Harga batu bata merah per seribu biji sekarang Rp400 ribu. Pada saat
musim kemarau lalu harga batu bata merah hanya sekitar Rp300 ribu per
seribu biji. Batu bata merah hasil produksi para perajin di Desa Mojo
ini dikenal bagus kualitasnya. Batu bata merah itu banyak dikirim ke
luar daerah seperti Blora, Lamongan, Tuban, Ngawi, dan Nganjuk.
Selain di Desa Mojo, perajin batu merah di tepian Sungai Bengawan Solo
di wilayah Bojonegoro banyak ditemui di Desa Ledok Kulon,
Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro, dan di Trucuk. Perajin batu bata merah
ini sudah turun temurun menekuni pembuatan batu bata merah yang
mengandalkan bahan baku tanah liat endapan Sungai Bengawan Solo. (her/kik)