Pakaian Ihram saat Haji dan Umrah, antara Syariat dan Hakikat
Kamis, 25 Januari 2024 10:00 WIBOleh Drs H Sholikin Jamik SH MH
Judul itu menjadi tema pembekalan sekaligus pengajian Rabu pagi (24/01/2024) di Masjid Nabawi al Munawaroh, Madinah, kepada jemaah umrah dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh (KBIHU) Masyarakat Madani Bojonegoro, yang dibimbing oleh Drs H Sholikin Jamik SH MH, yang sekaligus menjadi ketua KBIHU Masyarakat Madani Bojonegoro.
Dalam suasana yang sangat dingin, pengajian itu terasa indah dan istimewa karena di adakan di masjid tempat di makamkan Rasul Allah Muhammad SAW.
Sholikin Jamik menjelaskan, syariat pakaian ihram (saat menjalankan ibadah haji atau umrah) adalah:
1. Persiapan Sebelum Ihram
Jika seorang hendak melaksanakan umrah, dianjurkan mempersiapkan diri sebelum berihram. Perisapan yang dimaksud adalah sebagaimana seorang yang mandi junub, memakai wangi-wangian terbaik khusus bagi laki-laki, dan memakai pakaian ihram.
Pakaian ihram bagi laki-laki berupa dua lembar kain ihram yang berfungsi sebagai sarung dan penutup pundak. Adapun bagi wanita memakai pakaian yang telah disyariatkan yang menutupi seluruh tubuhnya.
2. Berihram
Tata cara selanjutnya adalah berihram dari miqat untuk umrah dengan mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً
Artinya: "Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah,"
Suasana pengajian jemaah umrah dari KBIHU Masyarakat Madani Bojonegoro, di Masjid Nabawi al Munawaroh, Madinah. Rabu (24/01/2024) (Aset: Istimewa)
Setelah menjelaskan syariatnya, maka para jemaah harus memahami filsafat makna pakaian ihram.
Melakukan ibadah umrah bisa juga disebut tindakan bertamu, yakni bertamu ke rumah Allah atau yang dalam bahasa Arab disebut “baitullah”.
Tahapan awal dalam melakukan ibadah umrah adalah menjalankan ihram, dengan wujud niat dan memakai pakaian ihram. Pakaian ihram identik dengan warna putih serta tidak berjahit sehingga bisa dikatakan tak lebih berupa lembaran kain yang dililitkan ke tubuh.
“Tidak ada sedikitpun dari beberapa perilaku umrah dan yang berkaitan dengannya, kecuali di dalamnya ada hikmah mendalam, nikmat yang lengkap, serta cerita, sesuatu dan rahasia yang tiap mulut akan kesulitan dalam menjelaskannya,” kata Sholikin Jamik.
Dalam pengajian pagi di pelataran masjid Nabawi Madinah, Sholikin Jamik menyampaikan ada tiga hal hakikat pakaian ihram:
Pertama, kebiasaan manusia apabila mendatangi manusia lain maka akan memakai pakaian paling membanggakan. Dengan adanya keharusan ihram memakai kain putih tidak berjahit yang bertolak belakang dengan kebiasaan manusia tersebut, Allah seakan ingin memberi tahu bahwa tujuan untuk mendatangi tempat Allah berbeda dengan mendatangi tempat makhluk.
Hal ini bila dijabarkan lebih lanjut, kesadaran kita untuk mendatangi Allah haruslah berbeda dengan mendatangi manusia maupun makhluk secara umum. Allah adalah sang khaliq (pencipta), sedang selain-Nya adalah makhluk (ciptaan).
Perbedaan posisi keduanya mengharuskan perbedaan perilaku di hadapan keduanya. Memakai pakaian yang bagus di hadapan manusia lain bisa jadi untuk menjaga wibawa atau memperoleh kenyamanan orang yang melihat. Sebab manusia adalah makhluk dengan ikatan-ikatan benda duniawi pada dirinya.
Allah berbeda dengan manusia. Allah maha pencipta yang niscaya lebih kaya dari ciptaannya. “Nilai lebih” yang Allah pinta dari manusia adalah ketaqwaan yang sulit untuk dicerna dengan mata kepala.
Kedua, agar si hamba menyadari dengan menanggalkan segala sesuatu tatkala ihram, ia menanggalkan diri dari harta benda duniawi. Layaknya bayi yang keluar dari rahim ibunya tanpa memakai sehelaipun pakaian.
Hal ini menyiratkan bahwa memakai pakaian ihram adalah bentuk prilaku pemakainya dalam melepas hal-hal berbau duniawi. Di tubuhnya tidak ada sesuatu kecuali hal-hal yang digunakan untuk menutup aurat.
Ketiga, keadaan ihram menyerupai keadaan saat hadir di tempat dimana kelak kita dihisab oleh Allah di tempat tersebut. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 40:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.”
Dan dalam surah Al-An’am ayat 94 Allah berfirman:
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.”
Ketiga hakekat pakain ikrom tersebut di atas memberi tahu pada kita bahwa dalam ihram yang merupakan permulaan haji. Perlu ada kesadaran tersendiri bahwa pelakunya diajak melewati saat-saat menanggalkan diri dari hal-hal berbau duniawi, meski masih hidup di dunia. Meski hal itu bertolak belakang dengan fitrah manusia yang tidak bisa hidup tanpa harta benda duniawi, tapi bukan berarti membuat manusia merelakan kesadarannya juga direbut olehnya. (*/imm)
Penulis: Drs H Sholikin Jamik SH MH, Ketua KBIHU Masyarakat Madani Bojonegoro
Editor: Imam Nurcahyo
Publisher: Imam Nurcahyo