Opini
Program ‘Bojonegoro Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD
Senin, 18 November 2024 14:00 WIBOleh Agus Susanto Rismanto SH
Bojonegoro - Jika hari ini ada beberapa kelompok menggiring opini bahwa dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro akan diperuntukkan sebagai bantuan langsung tunai melalui program “Bojonegoro Klunting” atau “Program Klunting” kepada setiap warga Bojonegoro atau yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bojonegoro, adalah ide yang “menakutkan” juga “menggelikan”.
Sebelum membahas lebih jauh tentang program “Bojonegoro Klunting”, penulis ingin menyampaikan beberapa hal terkait tata kelola APBD Kabupaten Bojonegoro.
Perdebatan eksekutif dan legislatif di periode transisi industri Migas Bojonegoro tahun 2011-2013 memberikan kesepahaman dan kebijakan baru tentang arah bagaimana mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bojonegoro saat eksploitasi Migas di masa transisi dan pengelolaan APBD untuk 25 sampai dengan 50 tahun ke depan.
Dengan besaran APBD pada tahun 2013 Rp 2,3 triliun, maka menjadi mimpi besar jika ke depannya APBD Bojonegoro bisa mencapai Rp 4 triliun atau bahkan Rp 10 triliun.
Perdebatan dimulai dari bagaimana Kabupaten Bojonegoro harus menghindari kutukan Migas, di mana eksploitasi industri Migas di Bojonegoro akan habis 25 tahun setelahnya. Artinya ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA) bersifat terbatas, dan hasil dari industri Migas akan berkurang dan habis.
Banyak daerah yang tata kelola pertambangannya buruk akan kembali miskin setelah industri Migas dan tambang, sebagai contoh Provinsi Aceh, yang dulu memiliki lapangan Migas Arun Aceh, kini menjadi salah satu provinsi berkategori miskin.
Di lain sisi, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro harus memaksimalkan instrumen APBD untuk menggenjot pertumbuhan dan mengurangi angka kemiskinan. Yang dari dulu hingga di tahun 2024 ini selalu mengalami kendala pada penyerapan dan realisasi APBD.
Serapan APBD Bojonegoro mulai tahun 2010 sampai dengan 2024 ini rata-rata maksimal hanya 80 persen, meskipun jumlah besaran APBD mengalami kenaikan di era industri Migas.
Kecakapan dan regulasi menjadi kendala realisasi APBD tidak maksimal, meskipun dalam pembahasan di Badan Anggaran rata-rata Organisasi Perangkat Daerah (OPD) meminta plot anggaran maksimal, tapi realisasinya minimalis. Artinya selalu ada banyak anggaran yang terbengkalai menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA).
Atas trend besaran SILPA yang terus merangkak naik setiap tahunnya, potensi uang APBD banyak yang terbengkalai dan tak bermanfaat. Sehingga munculah ide agar dana APBD yang berasal dari sebagian Dana Bagi Hasil ( dbh) Migas disimpan dalam bentuk Dana Abadi, yang tujuannya sebagai dana cadangan di masa mendatang. Agar anak cucu kita, tetap bisa menikmati, bahwa Bojonegoro pernah kaya-raya akan minyak.
Selain itu APBD Bojonegoro tetap memiliki cadangan finansial dalam mempertahankan tata kelola keuangannya.
Ketakutan pemangku kepentingan di masa transisi saat itu adalah pada System Tata Kelola Keuangan APBD. Di mana ada potensi pemerintahan setelahnya akan menghambur-hamburkan DBH Migas atas nama pembangunan dan kesejahteraan, tanpa memikirkan bagaimana kondisi Bojonegoro pada akhirnya tanpa pasokan DBH Migas, sehingga atas kekhawatiran itu dimunculkan beberapa kebijakan agar menjadi pondasi dalam tata kelola keuangan.
Kebijakan tersebut antara lain, pertama transfer
skill atau keterampilan wilayah terdampak industri Migas dari
skill pertanian ke
skill yang berkaitan dengan industri Migas, yaitu penyediaan barang dan jasa,
maintenance, pelatihan, dan penyediaan lapangan pekerjaan yang semua terkover dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojonegoro Nomor 23 tahun 2011, tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi atau biasa disebut "Perda Konten Lokal".
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak sosial saat masa konstruksi selesai, akibat masyarakat lokal tidak memilik skill dan lapangan pekerjaan lagi.
Kedua, memberikan stimulus kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan kelompok masyarakat serta Bank Daerah agar menumbuhkan kemandirian usaha yang berpotensi meningkatkan pendapatan per kapita dan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ketiga, memberikan stimulus keuangan kepada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) agar pendidikannya tidak berhenti pada SLTP (SMP/MTs), namun bisa melanjutkan ke Pendidikan Tinggi, serta mengalokasikan DBH Migas Pendidikan untuk urusan sarana prasarana pendidikan di Bojonegoro.
Keempat, merestrukturisasi seluruh layanan kesehatan dengan meningkatkan fasilitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang sudah ada, dan meningkatkan fasilitas seluruh Puskesmas di kecamatan agar dapat menerima pasien rawat inap.
Kebijakan bantuan keuangan dan sosial diperketat dengan hanya memrioritaskan bantuan keuangan atau bantuan sosial yang sifatnya publik, seperti jalan lingkungan, fasilitas pendidikan, dan kesehatan.
Memperketat bantuan sosial yang bersifat komunal, seperti bantuan keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas), partai politik (Parpol), dan melarang bantuan sosial yang bersifat konsumtif.
Pengetatan bantuan keuangan atau sosial selain mematuhi peraturan-perundangan, juga untuk mengubah mindset (pola pikir) penyelenggara negara dalam memanfaatkan uang negara untuk kepentingan politik dan kelompok. Juga menginisiasi masyarakat untuk bermental mandiri dan inovatif, bukan sebaliknya memiskinkan pola pikir masyarakat.
Bantuan sosial yang diberikan bertujuan untuk lebih fokus penajaman dan penguatan kreativitas, inovasi, pemberian sarana dan prasarana untuk perkembangannya ekonomi mandiri.
Kebijakan skala prioritas APBD yang demikian bertujuan memberikan pesan ke pemerintahan selanjutnya agar bijak dalam mengelola APBD dengan tetap memperhatikan masa depan anak-anak cucu kita. Jangan sampai anak cucu kita mendengar dongeng bahwa Bojonegoro pernah kaya minyak tapi sudah kembali miskin pada era mereka.
“Sesat Pikir”
Jika hari ini ada beberapa kelompok menggiring opini bahwa dalam pengelolaan APBD Bojonegoro akan diperuntukkan sebagai bantuan langsung tunai melalui program “Bojonegoro Klunting” kepada setiap warga Bojonegoro atau yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bojonegoro, adalah ide yang “menakutkan” juga “menggelikan”.
Menakutkan, karena dengan hitungan kemampuan fiskal dan target yang akan dicapai maka, hanya dalam waktu lima bulan APBD Bojonegoro akan “bangkrut”.
Program ini mungkin dimaksudkan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat secara instan. Tetapi marilah kita hitung dengan rasional kemampuan APBD Bojonegoro hari ini.
Untuk tidak dikatakan miskin menurut BPS, maka setiap orang harus belanja kebutuhannya minimal Rp 20 ribu per hari, artinya ekuivalen Rp 600 ribu per bulan.
Standar belanja di atas garis miskin ini perlu distandarisasi, karena tujuan awalnya memberikan dampak sejahtera, yaitu keluar dari garis miskin. Jika nominal di bawah garis miskin (di bawah Rp 20 ribu per hari) maka tujuan tidak akan tercapai secara hitungan program.
Jumlah penduduk Bojonegoro di tahun 2024 ini sebanyak 1.365.100 jiwa, maka setiap bulan program “klunting” harus menyerap uang APBD sebesar Rp 819 miliar, sehingga total dalam setahun sebesar Rp 9,828 triliun. Sementara tahun 2024 ini kekuatan APBD Bojonegoro Rp 8,2 triliun.
Jika program “Klunting” terealisasi, maka Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tidak bisa membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), gaji PPPK, gaji Honorer, gaji tenaga medis, gaji Anggota DPRD, tunjangan Kepala Desa, Perangkat Desa dan RT atau RW, tunjangan marbut, insentif Modin Wanita, dan lainnya, yang semua belanja gaji dan tunjangan serta insentif ini sudah mencapai Rp 1,8 triliun di tahun 2024.
Selain itu, Pemkab Bojonegoro tidak akan bisa membayar layanan Bantuan Kesehatan (KIS), tidak bisa membangun satu meter pun jalan, tidak ada lagi beasiswa, dan lampu penerangan jalan akan mati karena tidak terbayar, sehingga tidak ada lagi layanan masyarakat yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, atau boleh dikatakan lumpuh dan masih punya utang Rp 1,6 triliun di akhir tahun 2025.
Menggelikan, karena dengan memperhatikan segala peraturan perundangan tentang penyusunan APBD, dan pengawasan otoritas penyusunan APBD yang lebih tinggi, yaitu Pemerintah Provinsi (Jawa Timur), Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pengawas Keuangan Negara (BPK), serta Presiden (Peraturan Pemerintah), sehingga APBD Bojonegoro tidak akan pernah mendapat pengesahan, meskipun Bupati dan DPRD-nya mengesahkan, karena alasan politik misalkan.
Dan pelanggaran atas diabaikannya peraturan perundangan maka akan memiliki konsekuensi hukum tata usaha negara maupun pidana.
Tata Kelola APBD sudah dilindungi oleh serangkaian peraturan perundangan beserta seperangkat institusi pengawas dan pengaman agar pengelolaan APBD tidak maladministrasi yang berujung pada korupsi atau hanya mementingkan kelompok tertentu.
Tindak pidana korupsi dimulai dari kesengajaan penerabasan aturan administrasi dengan tujuan tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Bukan murni untuk kepentingan masyarakat ataupun kepentingan negara. Tetap proporsional dan rasional, karena cara berpikir dan perilaku pengambil kebijakan akan menjadi jejak yang tetap tercatat untuk anak cucu kita.
Pilihan mengelola Dana Bagi Hasil (DBH) Migas secara bijak dengan tetap berpegang pada filosofi APBD sebagai stimulus dan katalisator pembangunan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, atau pengelolaan APBD sebagai lahan foya-foya dan setelah itu jatuh miskin dan default (bangkrut) berjemaah dalam waktu singkat, adalah pilihan. Tetap jernih berpikir dan menjaga kewarasan. (*/red/imm)
Penulis: Agus Susanto Rismanto SH*
*) Anggota Badan Anggaran DPRD Bojonegoro 2004-2009, dan 2009-2014, Ketua Komisi A DPRD Bojonegoro 2004-2009, dan 2009-2014.
Editor: Imam Nurcahyo
Publisher: Imam Nurcahyo