Pemkab Bojonegoro Tidak Serius dalam Penanggulangan Bencana
Menyoroti Konsep Penanggulangan Bencana di Kabupaten Bojonegoro
Sabtu, 26 November 2022 08:00 WIBOleh Imam Nurcahyo
"Nek ketigo ora iso cewok, nek rendeng ora iso ndodok.
Kalimat tersebut bermakna "Jika musim kemarau tak bisa cebok, jika musim hujan tak bisa jongkok (saat buang air).”
Kalimat bernada "ledekan" tersebut pernah begitu populer saat penulis masih anak-anak hingga remaja (era 1970-1980).
Kalimat itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat di Kabupaten Bojonegoro saja, tapi juga dikenal oleh sebagian masyarakat di wilayah Kabupaten Tuban dan Lamongan, khususnya yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo.
Hal tersebut menyiratkan bahwa sepanjang tahun, baik musim kemarau maupun musim hujan, masyarakat di wilayah tersebut selalu berada dalam ancaman bencana, yaitu bencana kekeringan dan banjir luapan Sungai Bengawan Solo.
Selain bencana kekeringan dan banjir luapan, masih ada sejumlah potensi ancaman bencana lainnya yang setiap saat dapat menimpa masyarakat di daerah-daerah rawan bencana, khususnya di Kabupaten Bojonegoro, seperti Gempa Bumi, Tanah Longsor, Banjir Bandang, Cuaca Ekstrem (Angin Topan), Kebakaran (Pemukiman, Hutan dan Lahan), Kegagalan teknologi atau Industri (Kegagalan modernisasi), dan Bencana Lain-lain. (Kecelakaan Transportasi, Orang tenggelam dll).
Pemkab Bojonegoro tidak serius dalam pengelolaan penanggulangan bencana
Kondisi Kabupaten Bojonegoro yang memiliki sejumlah kawasan atau daerah rawan bencana tersebut seharusnya disikapi dengan pengambilan kebijakan atau regulasi yang berwawasan lingkungan dan bencana, dalam artian pembangunan harus berwawasan memperkecil risiko bencana.
Namun kenyataannya, regulasi pembangunan yang ada masih belum menyentuh persoalan bencana. Beberapa proyek pembangunan justru malah menimbulkan kerentanan bencana baru yang lebih tinggi.
Selain itu, dari sejumlah regulasi dan program pembangunan yang ada, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro terkesan tidak serius dalam pengelolaan penanggulangan bencana.
Sebelum penulis uraikan lebih lanjut, mari kita kita pahami dulu regulasi terkait penanggulangan bencana.
Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut disebutkan bahwa:
- Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
- Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
- Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
- Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa macam-macam bencana terdiri dari:
Bencana Alam: Gempa bumi, Tsunami, Gunung meletus, Banjir (Banjir Bandang, Banjir Luapan, dan Banjir Genangan), Kekeringan, Angin topan, Tanah longsor.
Bencana Nonalam: Kegagalan teknologi atau Industri (Kegagalan modernisasi), Epidemi (Wabah penyakit).
Bencana Sosial: Konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, Teror (Terorisme), dan Bencana Lain-lain. (Kecelakaan transportasi, Orang tenggelam, dll).
Mengacu dari macam-macam bencana tersebut, setidaknya di Kabupaten Bojonegoro terdapat sembilan potensi ancaman bencana, antara lain: Gempa Bumi, Tanah Longsor, Banjir, Banjir Bandang, Kekeringan, Cuaca Ekstrem (Angin Topan), Kebakaran (Pemukiman, Hutan dan Lahan), Kegagalan teknologi atau Industri (Kegagalan modernisasi), dan Bencana Lain-lain. (Kecelakaan transportasi, Orang tenggelam).
Ketidakseriusan Pemkab Bojonegoro dalam pengelolaan penanggulangan bencana dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini:.
Yang pertama, dalam
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojonegoro, Nomor 1 tahun 2022 tentang Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bojonegoro 2018-2023, hanya mencantumkan 5 potensi ancaman bencana, yaitu:
Gempa Bumi, Banjir (Banjir Luapan dan Banjir Genangan)
, Banjir Bandang, Tanah Longsor, Kekeringan, Kebakaran, dan Cuaca Ekstrem (Angin Topan).
Sementara ada satu potensi ancaman bencana yang setiap saat bisa terjadi, yaitu bencana kegagalan teknologi atau kegagalan industri (Industri Hulu Migas), tidak dimasukkan dalam potensi ancaman bencana di Kabupaten Bojonegoro. Padahal kita semua mengetahui di Kabupaten Bojonegoro ada sejumlah Lapangan Migas yang beroperasi.
Data Kawasan Rawan Bencana di Kabupaten Bojonegoro. (Istimewa)
Dari kebijakan tersebut membuat
Peta Rawan Bencana di Kabupaten Bojonegoro menjadi
tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Karena daerah-daerah yang berdekatan dengan lokasi industri hulu migas atau bibir sumur (RING 1), belum dimasukkan dalam
daerah rawan bencana, sehingga masyarakat di wilayah tersebut tidak terlindungi dari potensi ancaman bencana yang ada, padahal di wilayah-wilayah tersebut jelas memiliki potensi ancaman bencana.
Kasus kegagalan teknologi industri hulu migas setidaknya pernah terjadi di Bojonegoro, meskipun dalam skala kecil, salah satunya adalah semburan sumur (gas kick) di Lapangan Sukowati, di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, pada Jumat (19/11/2021) lalu.
Sementara sejarah mencatat bahwa di Indonesia ada bencana kegagalan industri hulu migas yang hingga kini belum dapat ditanggulangi, yaitu bencana Lumpur Lapindo, di lokasi pengeboran atau eksplorasi gas di blok Brantas, tepatnya Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo dan Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi sejak 29 Mei 2006.
Semburan lumpur panas selama bertahun-tahun ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Selain Lapangan Migas Sukowati, di Bojonegoro ada beberapa lapangan migas yang sama-sama memiliki potensi ancaman bencana kegagalan teknologi, yaitu Lapangan Banyuurip di Kecamatan Gayam, Lapangan Kedung Keris di Kecamatan Ngasem, Lapangan Jambaran-Tiung Biru di Kecamatan Purwosari, dan yang terbaru Lapangan Kolibri di Kecamatan Ngambon.
Selain itu, ada potensi ancaman bencana dari infrastuktur pendukung industri hulu migas tersebut, yaitu infrastruktur pipa minyak darat (onshore) dari Kecamatan Gayam menuju Floating Storage Off-loading (FSO) Gagak Rimang di Pantai Utara Tuban, dan infrastruktur pipa gas bumi berupa pipa transmisi Gresik-Semarang (Gresem), yang ditanam bersebelahan dengan jalur rel kereta api.
Siapa pun tentu tidak berharap akan terjadinya bencana, namun seharusnya negara berkewajiban melindungi seluruh rakyatnya dari ancaman bencana, salah satunya melalui mitigasi bencana, sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat terdampak dalam menghadapi ancaman bencana.
Namun, karena bencana kegagalan industri (Industri Hulu Migas) tidak dimasukkan dalam potensi ancaman bencana di Kabupaten Bojonegoro, dan wilayah-wilayah sekitar operasi (RING 1) industri hulu migas yang ada di Kabupaten Bojonegoro tidak masuk dalam daerah rawan bencana, maka masyarakat yang tinggal di daerah tersebut sangat rentan jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojonegoro Nomor 7 tahun 2012, tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 5 disebutkan bahwa wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana salah satunya adalah mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana.
Yang kedua, Pemkab Bojonegoro telah memiliki Perda Nomor 7 tahun 2012, tentang Penanggulangan Bencana, yang diundangkan pada tanggal 5 November 2012, namun sudah 10 tahun sejak Perda tersebut diundangkan, belum dibuat Peraturan Bupati (Perbup), padahal menurut amanat Perda tersebut (Pasal 88), Perbup selambat-lambatnya diterbitkan 6 bulan sejak Perda ditetapkan.
Lantas bagaimana standar operasi prosedur (SOP) atau teknis pelaksanaan Perda Penanggulangan Bencana tersebut dilaksanakan, kalau tidak ada payung hukumnya (Perbup)?
Yang ketiga, Pemkab Bojonegoro, khususnya pemerintahan sekarang ini, memiliki 17 Program Prioritas, namun tidak satu pun program tersebut yang berkaitan dengan Penanggulangan Bencana. Kalau pun ada, hanya berupa santunan bagi warga yang menjadi korban bencana, yang bersifat tanggap darurat.
Berikut ini 17 Program Prioritas Pemkab Bojonegoro:
- Peningkatan Infrastruktur Jalan, Jembatan dan PJU;
- Program Petani Mandiri;
- Perda Madrasah Diniyah (Madin);
- Sekolah Gratis;
- 100 Ribu Lapangan Kerja;
- Tambahan Insentif GTT dan PTT;
- Aladin (Perbaikan Alas, Lantai, dan Dinding keluarga pra-sejahtera);
- Modal UKM 100 juta per BUMDes
- Lingkungan Ramah Perempuan, Anak, Penyandang Disabilitas, Kaum Dhuafa, dan Taman Penitipan Anak (TPA);
- Kesehatan (Layanan Puskesmas 24 Jam, Memperkuat Polindes, Gizi Tambahan Bagi Ibu Hamil dan Menyusui);
- Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan;
- Kenaikan Honor RT/RW 100 Persen (per Bulan);
- Santunan Duka;
- Bojonegoro Green and Smart City;
- Kemudahan Perizinan dan Investasi Satu Atap;
- Festival Tahunan Budaya Bojonegoro;
- Penataan Pasar Tradisional.
Dari ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa Pemkab Bojonegoro tidak serius dalam pengelolaan penanggulangan bencana. Karena beberapa regulasi pembangunan yang ada masih belum menyentuh persoalan bencana.
Sejumlah proyek pembangunan banyak yang tidak berwawasan memperkecil risiko bencana atau justru malah menimbulkan kerentanan bencana baru yang lebih tinggi.
Diakui ataupun tidak, potensi ancaman bencana seperti disebutkan di atas sewaktu-waktu dapat terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Dari data yang ada dan dari pemberitaan di berbagai media, peristiwa atau kejadian bencana di Bojonegoro tergolong relatif cukup tinggi dan terjadi sepanjang tahun. Bahkan tidak jarang dampak bencana tersebut mengakibatkan korban jiwa maupun harta benda.
Jika musim kemarau, potensi ancaman bencana yang kerap terjadi yaitu kebakaran (perumahan, hutan dan lahan) serta bencana kekeringan. Sementara jika musim hujan, potensi ancaman bencana yang ada antara lain angin kencang, tanah longsor, banjir luapan, banjir bandang, dan yang terbaru yaitu banjir genangan (kota), serta bencana lain-lain seperti orang tenggelam. Dan yang tidak kalah penting untuk diwaspadai adalah adanya potensi ancaman bencana kegagalan industri hulu migas.
Untuk itu, penulis mendorong pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, untuk segera membuat regulasi terkait pengelolaan penanggulangan bencana, yang didasarkan pada kondisi kerawanan di masing-masing daerah di Kabupaten Bojonegoro, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dapat terlindungi jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Karena berdasarkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 5 disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. (bersambung). (imm)
Penulis: Imam Nurcahyo
Publisher: Imam Nurcahyo