Daulat Rakyat, Bukan Daulat Raja
Rabu, 04 September 2024 12:00 WIBOleh Muhammad Roqib
*Oleh Muhammad Roqib, S.H.,M.H.
Analis Politik dan Pemerintahan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik
Para pendiri bangsa dan negara Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Soepomo, yang merumuskan sendi-sendi bernegara Indonesia, sejak awal menginginkan bahwa negara Indonesia itu memiliki paham kedaulatan rakyat (demokrasi), bukan paham kedaulatan raja (monarki). Padahal, kalau dilihat dari sejarah di Nusantara sebelumnya pernah berdiri beberapa kerajaan yang pernah jaya dan berpengaruh di antaranya kerajaan Majapahit (1293-1527), kerajaan Demak (1478), kerajaan Mataram (1578) dan lainnya.
Masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan juga terbiasa dengan kehidupan kerajaan tersebut. Namun, para pendiri bangsa dan negara Indonesia pada saat merumuskan dan menentukan dasar-dasar negara tidak memilih bentuk pemerintahan kerajaan (monarki), tetapi memilih bentuk pemerintahan republik, dengan paham kedaulatan rakyat (demokrasi). Pilihan ini tentu dengan kesadaran dan pertimbangan yang matang. Para pendiri bangsa dan negara Indonesia memilih bentuk ideal yakni bentuk negara Indonesia adalah kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik dan sistem pemerintahan presidensial. Meskipun, dalam perjalanan negara Indonesia pernah mengalami beberapa kali perubahan di antaranya pernah menjadi bentuk negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Sistem pemerintahan negara Indonesia juga pernah berubah yakni dari presidensial menjadi parlementer pada tahun 1950-1959. Akan tetapi, negara Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik dan sistem pemerintahan presidensial.
Para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno dan Hatta belajar dari pengalaman bangsa Eropa yang pernah hidup di bawah kekuasaan raja yang absolut lalu kemudian terjadi revolusi seperti yang terjadi di Perancis. Raja Perancis, Raja Louis XIV yang memerintah Perancis selama 72 tahun (1643-1715), menjalankan kekuasaan dengan sangat absolut dan sewenang-wenang. Ungkapan yang sangat terkenal dari Raja Louis XIV adalah “L Etat, c’est moi” yang artinya adalah negara adalah saya. Negara dijalankan sesuai dengan kehendak Raja Louis.
Kekuasaan yang absolut dan sewenang – wenang yang dijalankan Raja Louis XIV menyulut perlawanan dari rakyat Perancis. Rakyat Perancis yang menderita akhirnya melakukan perlawanan dengan semboyan yang cukup terkenal yakni liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Perlawanan dari rakyat Peracis ini di dalam sejarah disebut sebagai revolusi Perancis dan berhasil merobohkan penjara Bastille, yang selama itu digunakan untuk memenjarakan lawan-lawan politik raja. Hingga akhirnya kekuasaan raja Louis berakhir dan dia ditangkap serta dihukum mati oleh rakyatnya.
Para pendiri bangsa dan negara Indonesia menyadari bahwa paham yang digunakan oleh negara Indonesia saat merdeka adalah kedaulatan rakyat. Paham kedaulatan rakyat ini dianggap ideal dan lebih baik dibandingkan dengan paham lainnya, meski juga masih ada kekurangan. Pemikiran para pendiri bangsa dan negara Indonesia saat itu terbilang sangat maju dan modern, melebihi pemikiran zamannya. Padahal, alam berpikir masyarakat Indonesia saat itu masih lekat dengan kerajaan atau kesultanan. Kondisi sosiologisnya memang seperti itu. Tetapi, para pendiri bangsa memilih cita-cita paham kedaulatan rakyat atau demokrasi dan digunakan hingga saat ini.
Paham kedaulatan rakyat itu lalu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”.
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Rakyat yang menetukan bagaimana kekuasaan dan pemerintahan dijalankan. Paham kedaulatan rakyat ini dengan mudah dipahami dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Namun, selama kekuasaan Orde Baru (1966-1998), paham kedaulatan rakyat ini disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, penguasa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, MPR dianggap sebagai lembaga tertinggi negara atau terjadi supremasi MPR. MPR yang memilih dan melantik presiden. Sementara, presiden adalah mandataris MPR. Masalahnya, di dalam MPR itu berisi orang-orangnya Soeharto sehingga ia bisa berkuasa selama 32 tahun. Kekuasaan Orde Baru Soeharto dikenal sangat sentralistis, otoriter, dan militeristik.
Gerakan Reformasi pada tahun 1998 mengubah keadaan politik di Indonesia. Kemudian, UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen yang sangat mendasar. Amandemen UUD 1945 terjadi sebanyak empat kali, yakni amandemen pertama pada 19 Oktober 1999, amandemen kedua pada 18 Agustus 2000, amandemen ketiga pada 10 November 2001, dan amandemen keempat pada 10 Agustus 2002.
Tujuan amandemen UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar negara, menjamin perlindungan hak asasi manusia, membatasi kekuasaan presiden, dan memperkuat negara demokrasi dan hukum. Setelah dilakukan empat kali perubahan UUD 1945, UUD 1945 diubah namanya menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang terdiri 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan.
Mengenai paham kedaulatan rakyat ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian jelas bahwa negara Indonesia memiliki paham kedaulatan rakyat (demokrasi), bukan paham kedaulatan raja (monarki). Sehingga, kekuasaan dan kedaulatan itu berada di tangan rakyat dan rakyatlah yang menentukan bagaimana bangsa dan negara ini dikelola dan dijalankan. (*/kik).