Kisah Penderita Sakit Jiwa yang Dapat Nobel
Minggu, 16 Juli 2017 18:00 WIBOleh Muliyanto
Oleh Muliyanto
Paqra jenius seringkali nampak aneh di tengah masyarakat. Mereka kesannya malah seperti tidak waras. Dan memang ada yang bilang bahwa kejeniusan dengan ketidakwarasan itu bedanya tipis. Contohnya adalah si jenius Einstein yang tidak diterima di sekolah umum karena dianggap tidak waras dan bodoh. Namun kita tahu si jenius itu sekarang bagaimana. Selain Einstein adalah Thomas Alfa Edison yang nasibnya hampir sama.
Untuk membuat Anda lebih percaya, bacalah buku ini; A Beautiful Mind karya Sylvia Nasar.
Buku ini membentangkan kisah nyata seorang genius penerima nobel yang menderita sakit jiwa. Buku yang pernah difilmkan dengan judul yang sama ini bercerita tentang seorang genius matematika Amerika Serikat yang menemukan prinsip matematika, yang disebut dengan kesetimbangan Nash-yang sangat penting untuk teori permainan atau game theory.
Membaca lembar demi lembar tulisan di buku ini menimbulkan rasa iba dan takjub sekaligus.
Nash adalah seorang mahasiswa pasca sarjana yang cemerlang sekaligus eksentrik di Universitas Princeton. Di usia 20-an tahun Nash menemukan prinsip matematika yang menjadi dasar teori permainan. Namun karirnya yang cemerlang hancur ketika ia didiagnosis penyakit skizofrenia di usia 31 tahun. Kesehatan Nash semakin menurun di usianya yang ke 60 tahun. Ketika keberadaannya nyaris terlupakan sebuah keajaiban terjadi, yaitu: kesembuhan yang tak disangka-sangka dan pada saat yang bersamaan panitia nobel memutuskan memberi penghargaan atas prestasi yang gemilang di masa lampau, sebuah penghargaan yang pernah diimpikan Nash semasa muda.
Membaca buku ini menghanyutkan kita, pembaca, pada perasaan kesepian dan keterasingan yang dirasakan sang tokoh.
Pada buku ini juga sedikit disinggung beberapa tokoh-tokoh genius lainnya yang mengalami sakit serupa. Disebutkan bahwa kebanyakan mereka yang terkena skizofrenia adalah salah satunya, orang-orang yang mempunyai IQ tinggi. Membuat saya bertanya “Apakah mereka yang dilahirkan dengan otak cemerlang rentan terhadap penyakit kejiwaan?”
Entahlah. Saya tak bisa menjawabnya. Yang pasti mari kita hidup dengan sederhana dan tahu diri. Tidak perlu memaksakan. Tidak perlu serius-serius amat. Kita harus tahu kapan harus serius dan kapan harus santai. Ada porsinya sendirei-sendiri. Buku ini saya sarankan untuk Anda baca.