Memahami Dan Menyikapi Perbedaan Hari Raya (Bag. 2)
Perbedaan Metode Hisab dan Rukyat
Rabu, 16 September 2015 20:00 WIBOleh Drs.H. Sholikhin Jamik, SH.
Oleh Drs.H. Sholikhin Jamik, SH.
Sidang Isbat Kementrian Agama RI pada tanggal 13 September 2015, seperti yang sudah diprediksi, memutuskan bahwa Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 24 September 2015. Karena saat matahari terbenam, hilal menurut perhitungan hisab sudah di atas ufuk. Tapi bila dilihat secara mata telanjang (rukyat) belum bisa, karena masih di bawah 2º..Sementara itu Muhammadiyah tetap sesuai mahlumatnya, hari raya Idul Adha jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015.
Sebagaimana yang kita ketahui, acuan Idul Adha itu bukan pelaksanaan wukuf di padang Arofah sesuai kalender Arab Saudi. Tapi Acuan Idul Adha adalah kalender Hijriah yang ditetapkan di mana negeri itu berada sesuai perhitungan hisab atau rukyat ( melihat hilal dengan mata telajang). Maka sangat mungkin berbeda antara kalender Hijriah di Arab Saudi dengan Negara-negara lain di dunia. Hal ini disebabkan ( menyambung dengan tulisan yang pertama ):
- Adanya perbedaan dasar / metode dalam menentukan awal bulan, yaitu dengan menggunakan hisab dan rukyat.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal. Yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya. Perintah rukyat secara umum disebutkan dalam hadis, “Berpuasalah kamu karena telah melihat hilal, dan beridul fitrilah karena telah melihat hilal” [Diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis]. Melihat hilal itu ada dengan cara rukyat ( melihat dengan mata telanjang) dan ada dengan cara hisab ( perhitungan/rukyat bil ilmi).
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada Kalender Hijriyah. Yang beraliran hisab beralasan bahwa Ilat perintah rukyat ini disebutkan terpisah dalam hadis lain, walaupun keduanya masih sama-sama dalam kitab puasa. Hadis yang menerangkan ilat perintah rukyat itu adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi, dalam arti tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab,” [Riwayat Jamaah Ahli Hadits].
Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradawi, perintah rukyat (melihat hilal) itu adalah perintah berillat dan illatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan perhitungan hisab. Maka, ketika orang sudah banyak yang tidak ummi Rasyid Ridha menyimpulkan bahwa : “Hukum keadaan ummi berbeda dengan hukum keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.” Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat.”
Rasyid Ridha, az-Zarqa, dan al-Qaradawi menyatakan bahwa rukyat itu bukan bagian dari ibadah itu sendiri dan bukan tujuan syariah, melainkan hanya sarana (wasilah) saja. Oleh karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih akurat, maka kita harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara khusus al-Qaradawi menegaskan, "mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan sarana yang tidak menjadi tujuan syariah sendiri!”
Peredaran bulan mengelilingi bumi, bumi mengelilingi matahari dan seterusnya merupakan hal yang pasti (sunatullah), sehingga manusia dapat menghitungnya. Bahkan, gerhana Matahari yang akan terjadi puluhan tahun yang akan datang pun manusia bisa menghitungnya. Firman Allah SWT QS Yunus: 5, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.”
Kesimpulannya, didalam suatu Negara / Daerah yang metode penentuan awal bulan / hari raya ada yang menggunakan Hisab dan sebagian menggunakan ru’yat, maka kemungkinan yang bisa terjadi adalah, pertama awal bulan bisa sama, kemungkinan kedua awal bulan ( hari raya ) tidak sama.
Cara menentukan awal bulan dengan methode hisab ( perhitungan) dengan rukyat ( melihat hilal dengan mata telanjang) inilah yang menyebabkan pemerintah dengan Muhammadiyah berbeda karena metode dan kriteria yang digunakan berbeda. Pemerintah menggunakan kriteria bahwa hisab sebagai pemandu dan dari hasil hisab hilal harus diatas 2 derajat, sehingga dimungkinkan hilal bisa dilihat dengan mata telanjang. Kerena Pemerintah mengunalan method rukyat, Sementara Muhammadiyah landasannnya hisab murni, berapapun ketinggian hilal asal sudah diatas ufuk, maka besuknya sudah awal bulan. Muhammadiyah tidak memperhatikan berapa derajat posisi hilal. Yang penting hilal sudah diatas ufuk atau horizon atau o derajat lebih. Saat ini posisi hilal masih setengah derajat ( tidak mungkin bisa di rukyat (dilihat dengan mata telanjang). Apabila hilal menurut perhitungan hisab diatas dua derajat penulis yakin Muhammdiyah dan pemerintah akan sama hari raya idul adha nya seperti Idul Fitri kemarin.
Dengan uraian tersebut di atas, karena jelas sudah berbeda maka cara menyikapinya adalah : Jangan sampai ada kelompok yang merasa paling benar dengan menyalahkan yang lain. Karena perbedaan mustahil bisa dihindari, bahkan dalam satu negeripun kadang bisa berbeda. Yang penting, umat Islam dalam beribadah itu mengerti ilmunya. Bukan asal mengikuti tanpa ada ilmunya ( taklid buta ).
)* Penulis adalah alumni kursus hisab dan rukyat, yang diadakan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur tahun 2006.