Terlalu Sering Minta Bantuan Google dan AI Bikin Kreativitas Tumpul
Minggu, 07 Desember 2025 11:00 WIBOleh Tim Redaksi
Dulu, buku disebut sebagai jendela dunia karena membuka wawasan, mengajak pembacanya melanglang buana, dan memicu imajinasi tanpa batas. Kini, peran itu sedikit banyak diambil alih oleh Google, mesin pencari yang menjadi pintu pertama kita mengakses informasi. Dengan sekali klik, kita bisa menemukan berita, opini, gambar, atau video yang membantu memantik kreativitas. Tapi, benarkah kemudahan ini mendorong kita lebih kreatif?
Sebuah studi terbaru dari psikolog kognitif Daniel Oppenheimer dan Mark Patterson (2025) memberi kejutan. Dalam eksperimen yang dipublikasikan di Memory & Cognition, mereka membagi partisipan menjadi dua kelompok: satu dengan akses internet, satu lagi tanpa. Hasilnya kontras: kelompok yang tidak menggunakan Google menghasilkan ide lebih banyak, lebih beragam, dan lebih efektif. Temuan ini mendukung hipotesis cognitive fixation, yaitu kecenderungan kita terpaku pada contoh yang sudah ada saat mencari ide di Google. Bukan sekadar menjiplak, tapi terjebak dalam pola familiar hingga gagal mengeksplorasi yang baru.
Google sangat berguna untuk tugas konvergen—mencari fakta, misalnya. Tapi untuk kreativitas yang butuh pemikiran divergen, akses instan ini malah bisa kontraproduktif. Oppenheimer dan Patterson menekankan pentingnya menunda alat digital jika tujuan kita adalah mencipta, bukan sekadar mencari. Paradoksnya, semakin mudah kita mencari ide, semakin jarang kita mencipta sendiri. Kita lebih sering mengetik daripada merenung, lupa bahwa proses kreatif sering lahir dari kekosongan.
Setelah Google, muncul AI generatif seperti ChatGPT, Copilot, atau Gemini. Mereka menawarkan hasil instan teks, puisi, slogan yang tampak revolusioner. Tapi, apakah benar begitu? Studi PsyPost (Mei 2025) menunjukkan manusia masih unggul dalam kreativitas divergen, yaitu menghasilkan banyak ide unik dari satu stimulus. Dalam eksperimen, manusia mengalahkan AI dalam jumlah, variasi, dan kebaruan ide. AI hebat mengenali pola, tapi cenderung mengulang apa yang sudah ada disebut generative stagnation. AI menghitung kemungkinan kata berikutnya, bukan "berpikir" kreatif.
Meta-analisis internasional (2025) mendukung temuan ini: AI generatif tidak lebih kreatif dari manusia, dan kolaborasi dengan AI malah mengurangi keberagaman ide. AI lebih cocok sebagai asisten, bukan pemicu kreativitas sejati. Zhang, dkk. (2025) menambahkan, AI belum meniru kemampuan berpikir kreatif otentik manusia yang muncul dari AI adalah hasil prediktif, bukan proses inovatif.
Lalu, apa kuncinya? Kreativitas sejati lahir dari kekosongan. Ruang kosong memungkinkan otak berputar, berimajinasi tanpa rambu, sesuatu yang sulit jika jari sudah lebih dulu mengetik di Google atau memberi prompt pada AI. Studi Oppenheimer & Patterson (2025) membuktikan, kelompok tanpa akses internet menciptakan ide lebih orisinal dan "hidup". Mereka tidak terpaku pada jawaban populer, tapi membentuk ide dari pengalaman dan imajinasi autentik.
Google dan AI adalah alat, bukan musuh. Manfaatnya tergantung bagaimana dan kapan kita menggunakannya. Untuk kreativitas, mereka lebih berguna di fase akhir, bukan di awal. Titik awalnya tetap di kepala kita, dalam hening yang menunggu digerakkan. Saatnya merenung, bukan hanya mengetik. (red/toh)































.md.jpg)






