Pesan Natal dan Semangat Toleransi Menurut Sari Koeswoyo
Rabu, 26 Desember 2018 19:00 WIBOleh Imam Nurcahyo
Oleh Muliyanto
beritabojonegoro.com - Seperti tahun-tahun sebelumnya, Natal kali ini penuh dengan kegembiraan. Pesan-pesan damai dan toleransi, ramai diperbincangkan. Maka dari itu, di momen perayaan Natal tahun ini, Sari Koeswoyo, mengajak untuk kembali menumbuhkan semangat toleransi antar umat beragama.
Seniman wanita yang lahir dari keluarga yang berbeda budaya dan agama ini memang sangat paham pentingnya toleransi beragama. Dia merasakan betul bagaimana damainya hidup di lingkungan yang penuh dengan toleransi. Ayahnya, Yok Koesowoyo adalah seorang muslim dan masih ada garis keturunan dari Sunan Drajat Lamongan. Sedangkan ibu kandungnya, yang meninggal dalam kecelakaan adalah seorang kristiani, begitu juga ibu sambungnya yang berasal dari Perancis. Namun, keluarga ini tetap tentram dan damai. Sebab, mampu mengimplementasikan nilai-nilai toleransi yang memang menjadi bagian dalam butir-butir Pancasila yang disepakati bersama para pendiri bangsa.
Sari Koeswoyo kecil hidup berpindah-pindah, di Perancis dan Indonesia. Dia kemudian mengenal dua budaya yang berbeda. Di Eropa, dia tahu bagaimana orang-orang saling menghormati dan menghargai. Saat di Indonesia dia juga dikenalkan dengan budaya Jawa yang juga mengakomodasi ajaran toleransi. Salah satunya adalah tepa selira dan ngewongke uwong. Dua hal itu juga yang kemudian dipegang Sari Koeswoyo, untuk menghadapi kehidupan yang penuh perbedaan. Terutama perbedaan suku dan agama, yang menjadi momok bagi persatuan dan kesatuan suatu kelompok atau komunitas yang beragam.
“Tepa selira itu arti kasarnya adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain. Artinya, kita harus memikirkan perasaan orang lain sebelum berbuat sesuatu. Agar tidak mudah menyakiti orang lain. Nguwongke uwong ini artinya adalah memanusiakan manusia. Intinya juga sama, harus menghormati orang lain bahwa mereka adalah manusia juga,” tutur Sari, Rabu (26/12/2018) kepada beritabojonegoro.com.
Ditambahkan oleh Sari, toleransi itu sangat besar manfaatnya. Saat belajar dan bekerja di Amerika, Sari tidak pernah merasa dikucilkan oleh teman-temannya. Meskipun mereka tahu, Sari berasal dari budaya dan agama yang berbeda. Sehingga, Sari juga bisa bekerja dan belajar dengan maksimal, seperti di lingkungannya sendiri.
“Boleh dibilang, salah satu tolok ukur toleransi adalah minoritas tak merasa takut dan yang mayoritas tak merasa sok berkuasa. Biasa-biasa saja,” tuturnya mengimbuhkan.
Sari Koeswoyo berharap, di momen peringatan Natal dan tahun baru 2019 ini, gerakan-gerakan yang dapat merusak nilai-nilai toleransi, lebih bagus diminimalisir. Sebab, hal itu dapat menghambat kemajuan suatu bangsa. Andai semua orang bisa memahami arti toleransi, maka bangsa Indonesia juga bisa terus membangun dan menjadi bangsa yang lebih besar. “Tidak lagi memikirkan hal-hal yang tidak penting, seperti berdebat setiap tahun,” katanya.
Ke depan, toleransi juga bukan sekedar kampanye di forum-forum dan festival-festival yang formalistik. “Lebih dari itu, toleransi adalah budaya bangsa dan jiwa pembangunan.” pungkasnya. (red/imm)