Buku Kumpulan Esai Sastra Perkelaminan Karya Binhad Nurrohmat
Sensualitas dalam Karya Seni (Sastra)
Minggu, 15 November 2015 09:00 WIBOleh Mujamil E. Wahyudi
[Identitas Buku. Judul Sastra Perkelaminan Penulis Binhad Nurrohmat Penerbit Pustaka Pujangga Lamongan Tebal 182 Halaman]
Oleh Mujamil E. Wahyudi
SAAT berkunjung di Cendrawasih, sebuah perpustakaan milik Komunitas Lesung (Literary for Submerging Culture), di Sumbang, Bojonegoro, saya mencoba memilah dan memilih buku yang kiranya dapat menimbulkan spirit dan gairah dalam membaca. Tak lama saya memilah dan memilih ketemulah buku setebal 182 halaman berjudul "Sastra Perkelaminan", karya Binhad Nurrohmat.
Di dalam buku ini terdapat 27 pokok pembahasan. Di antaranya adalah "Perempuan Menggoda Seni". Dalam pembahasan ini, Binhad mencontohkan, misalnya tidak ada tubuh peremluan di dunia ini, nasib seni sudah pasti tak seperti saat ini. Citra molek dan sensualitas tubuh perempuan telah menyulut dan merangsang ide-ide penciptaan karya. Baik karya berupa patung, lukisan berobjek tubuh perempuan seksi, film dan musik legendaris yang menampilkan sosok yang cantik dan menawan dengan desahan-desahan lembut seorang perempuan. Dan sastra pun, tak tahan menolak godaan citra dan tubuh perempuan yang kerap begitu luhur dan magis itu.
Figur seorang perempuan, kini semakin menyesaki layar televisi dan majalah. Tubuh, senyum, geraian rambut dan raut wajah perempuan yang meggairahkan mejeng begitu lamanya di papan-papan ilkan yang seluas lapangan tenis meja itu, yang berjajar di pinggiran jalan besar. Boleh jadi, semua itu dilakukan juga demi alasan seni.
Penjelasan Binhad, dalam buku ini, seni semestinya berterima kasih kepada perempuan karena telah banyak berhutang kepada citra dan tubuh perempuan, sebagaimana orok yang menetek kepadanya. Jika boleh mengiaskan dengan Psikoanalisis Sigmund Freud, citra dan tubuh perempuan itu semacam libido yang banyak menentukan bentuk, pikiran, maupun tindakan seni.
Atau barangkali, sebagai pandangan sosiologis, filosofis, maupun mitologis tentang perempuan sebagai sosok ibu yang terus-menerus menjaga kelestarian silsilah spesies manusia di muka bumi ini.
Bindah juga membahas tentang latar belakang penciptaan karya Teguh Winarsho AS dalam kumpulan cerpen Tato Naga (2005) yang tak terhindarkan dari pengaruh citra dan tubuh perempuan itu. Teguh berjenis kelamin laki-laki, maka biarkanlah jika dia berhasrat kepada seorang perempuan. Toh itu menunjukan perbuatan yang normal belaka.
Dunia cerpen Teguh, tak menempatkan tubuh perempuan secara filosofis maupun mitologis, melainkan tubuh perempuan hadir secara biologis dalam hubungan-hubungan sosial sehari-hari yang konkrit, sederhana, maupun agak ruwet. Dunia cerpen teguh mengumbar realisme-aksional dalam hubungan lelaki-perempuan maupun alam pikiran tokoh perempuan yang masih terasa lazim maupun menyimpang secara seksual maupun sosial.
Misalnya juga, dalam cerpen "Menari Srinti" (2002) menggambarkan sikap lugu seorang perempuan yang menjadi langganan kencan gelap seorang lurang dikampungnya sendiri. Ada ironi dalam urusan tata krama hubungan maupun sikap sosial masyarakat yang udik tertampang gamblang disini. Gadis Srinti yang kedapatan hamil tiga bulan itu, dia kebingungan cerita kepada lurah tersebut.
Namun, pada akhirnya Gadis Srinti itu cerita kepada lurahnya itu. Setelah tau, lurah itu malah memaksa Srinti untuk aborsi. Nah inilah contoh watak dan nafsu kekuasaan yang mampu membungkam atau setidaknya menunda naluri keterusterangan dan keterbukaan objek yang berada dibawah kekuasaan. Dalam cerpen itu, perempuan merasa menjadi korban lelaki dan kekuasaan.
Berbeda dengan cerpen "Perempuan Suci" (2003), dalam buku itu Maisesa adalah seorang pelacur yang hamil di luar nikah dan memiliki anak tanpa suami. Maisesa yang merasa sebagai perempuan suci itu, tak merasa hancur harga dirinya. Dia malah bangga meski orang-orang dikampunya menghinanya habis-habisan.
Pelacur itu melahirkan anak yang bernama Gandring. Ketika ada orang yang mau mengadopsi Gandring, ia menolaknya. Setelah Gandring itu tumbuh besar, menjadi laki-laki tampan yang mengikat banyak perempuan, Maisesa tak rela ada orang lain merebut tubuh maupun cinta Gandring. Maisesa bernafsu kepada Gandring itu. Maisesa ingin memiliki Gandring seutuhnya, dan bahkan menidurinya.
Maisesa merupakan simbol perempuan yang menanggalkan dan bahkan melawan penilaian dan label sosial yang konserfativ terhadap perempuan. Dia subjek yang kuat dan menang, tak seperti Srinti. Paradoks tubuh perempuan tampail mencolok lewat dua tokoh perempuan itu. Keduanya sama-sama dijadikan objek pemuas nafsu.
Srinti merasa dirugikan dan bahkan terancam eksistensinya sebagai perempuan dan manusia. Tetapi Maisesa justru sebaliknya, ia berhasil menolak penilaian sosial terhadap tindakan dan tubuhnya baik secara sosial maupun moral konserfativ yang konon dibentuk oleh cara pandang sebagian laki-laki.
Lelaki dan perempuan seyogyanya memiliki potensi yang sama. Artinya sama-sama pintar menggoda demi tercapainya sebuah tujuan. Meski ada juga perempuan yang tak kuasa keluar dari kubangan lumpur kekalahan, sebagaimana nasib Gadis Srinti di atas yang dikencani, dihamili dan dipaksa aborsi oleh lurahnya.
Dan jika benar ada yang menyebut Politik Rayuan, maka bisa jadi perempuan dengan kemolekan tubuhnya menebarkan strategi penaklukan dan merayu titik lemah lelaki dan menaklukannya dengan tanpa kekerasan. Politik Rayuan tersebut akan memungkinkan menempatkan eksistensi perempuan sebagai subjek. Bukan yang dinikmati lelaki, melainkan sebagai penikmat tubuh lelaki juga.(*)