Resensi Buku
Human Kind, Sejarah Penuh Harapan
Selasa, 14 September 2021 15:00 WIBOleh Muhammad Roqib
Apakah hakikatnya manusia itu baik ataukah jahat. Apakah manusia pada zaman prasejarah, yakni zaman manusia pemburu dan pengumpul suka berperang dan saling membunuh. Apakah benar demikian. Lalu, mengapa setelah ada peradaban, manusia bermukim, bertani, mendirikan kota dan negara, ada perang dan bahkan ada pemusnahan etnis Yahudi (holocaust) dan kekerasan. Apakah hakikatnya manusia itu egois, mementingkan diri sendiri, dan tidak percaya dengan orang lain.
Hakikat manusia di dalam sejarah hidupnya ini ditulis dengan sangat brilian oleh Rutger Bregman, ahli sejarah muda terkemuka asal Belanda, melalui bukunya dengan judul “Human Kind, Sejarah Penuh Harapan”.
Ia mendalami tentang hakikat manusia dengan mengajukan pertanyaan apakah manusia itu condong ke kebaikan atau kejahatan?. Pertanyaan itu, kata dia di buku ini, telah digeluti para filsuf selama ratusan tahun.
Dua filsuf terkemuka yang menggeluti soal hakikat manusia ini adalah Thomas Hobbes (1588-1679), orang Inggris, dengan karyanya yang terkenal berjudul “Leviathan” terbit pada tahun 1651. Selain itu, filsuf Prancis yakni Jean-Jacques Rousseau (1712-78).
Keduanya tak pernah bertemu. Waktu Rousseau lahir, Hobbes sudah meninggal selama tiga puluh tahun. Meski begitu, keduanya terus diadu di ring tinju filosofis. Di satu sudut, Thomas Hobbes : pesimis yang ingin kita percaya hakikat manusia itu jahat. Di sudut lain, Rousseau : orang yang menyatakan bahwa di dalam hati, kita semua baik.
Menurut Hobbes dalam bukunya Leviathan itu, pada zaman dahulu (pemburu dan pengumpul), kita bebas merdeka. Kita bisa melakukan apapun yang kita inginkan, dan konsekuensinya mengerikan. Kehidupan manusia dalam keadaan alami itu, menurut kata-kata Hobbes, “sendirian, payah, kejam, brutal, dan pendek”. Alasannya sederhana, menurut Hobbes, menusia didorong rasa takut. Takut orang lain. Takut mati. Kita ingin keamanan dan punya “hasrat abadi dan terus menerus untuk selalu berkuasa, yang baru berhenti kala mati”.
Hasilnya?. Menurut Hobbes, “suatu kondisi perang semua melawan semua.” Bellum omnium in omnes. Namun demikian jangan khawatir, kata Hobbes, meyakinkan kita. Anarki bisa dijinakkan dan kedamaian ditegakkan, jika kita semua mau bersepakat mengurangi kebebasan. Taruh diri kita, jiwa dan raga, dalam tangan satu penguasa. Nama penguasa mutlak itu mengikuti monster laut dalam Alkitab : Leviathan. Nama itu yang dipakai untuk judul bukunya.
Buku Human Kind, Sejarah Penuh Harapan, karya Rutger Bregman. (foto: M Roqqib)
Pemikiran Hobbes memberi dasar filosofis untuk argumen yang akan diulang ribuan, jutaan kali sesudahnya, oleh direktur dan diktator, gubernur, jenderal dan penguasa otoriter. “Beri kami kekuasaan, atau segalanya akan hancur”.
Pandangan Rousseau sebaliknya. Ia mengatakan, bahwa manusia secara alami baik, dan lembaga-lembagalah yang membuat manusia jahat. Pada zaman dahulu, kata Rousseau, sebelum ada birokrat dan raja, ia percaya segalanya lebih baik. Ketika manusia ada dalam keadaan alami, kita masih penuh belas kasih. Kita kemudian menjadi sinis dan egois. Dulu pada saat leluhur kita masih sebagai pemburu dan pengumpul kita sehat dan kuat. Kini kita malas dan lemah. Menurutnya, peradaban adalah satu kesalahan maha besar. Seharusnya kita jangan membuang kebebasan kita. Menurut Rousseuau, pada saat manusia menentukan satu petak tanah miliknya, mereka lalu menetap, bermukim, berocok tanam, mendirikan kota dan negara, pada saat itulah manusia mulai egois.
Pemikiran Rousseau memberi dasar filosofis untuk argumen yang akan diulang ribuan, jutaan kali sesudahnya oleh para anarkis dan agitator, jiwa – jiwa bebas bergelora : “Beri kami kemerdekaan, atau segalanya hancur”.
Rutger Bregman lalu menelisik bukti-bukti sejarah mengenai hakikat manusia itu di dalam bukunya ini. Ia dengan bukti-bukti cukup meyakinkan menghasilkan kesimpulan bahwa kehidupan manusia pada zaman pemburu dan pengumpul tidak seperti yang diungkapkan oleh Hobbes. Manusia pada zaman pemburu dan pengumpul memang tidak menetap, berpindah-pindah atau nomaden, dan membentuk kelompok-kelompok. Namun, kelompok – kelompok itu saling berinteraksi satu dengan lainnya. Bahkan, anggota kelompok itu bisa berganti-ganti. Satu anggota kelompok bisa berjumpa dengan ribuan anggota kelompok lain pada saat mereka berpindah-pindah. Sedikit sekali ditemukan ada bukti terjadinya kekerasan atau perang pada zaman pemburu dan pengumpul ini.
Ia juga menunjukkan dan membandingkan temuan kerangka Homo Sapiens dan Homo neanderthalensis. Tengkorak dan kapasitas otak homo sapiens sebenarnya lebih kecil jika dibandingkan dengan tengkorak dan kapasitas homo neandhertalensis. Ini menunjukkan bahwa homo neanderthalensis lebih cerdas dan jenius. Namun mengapa homo sapiens yang bertahan dan homo neandhertalensis punah. Kesimpulan yang diungkap oleh Rutger Bregman cukup mengejutkan. Sebab, homo sapiens adalah manusia yang ramah, suka meniru, sehingga bisa berkembangbiak dan saling menolong dan menyelamatkan. Sementara, homo neandhertalensis, yang lebih jenius lebih suka hidup menyendiri, egois, dan lebih sukar berkembangbiak sehingga akhirnya punah.
Kalau manusia pada hakikatnya baik, lalu mengapa terjadi perang seperti perang dunia satu, perang dunia dua, dan bahkan pembantaian umat manusia. Untuk menjawab pertanyaan ini, Rutger Bregman, mengatakan, kejahatan terbesar dalam sejarah manusia tak dilakukan di suatu antah berantah primitif. Terjadinya malah di salah satu negara paling kaya dan maju di dunia (Jerman) – negerinya filsuf Hegel, Emanuel Kant, Goethe, Beethoven dan Bach. Bukankah masyarakat itu sudah berperadaban. Sekitar masa tahun 1950-an dan 1960-an itu, muncul suatu disiplin sains baru yang mulai memberi bukti meresahkan bahwa manusia modern memang cacat secara mendasar. Bidang itu bernama psikologi sosial. Para ahli psikologi sosial mulai mengulik, mengintip, dan mengorek untuk mencari apa yang mengubah manusia biasa menjadi monster.
Rutger Bregman membeberkan bukti penelitian bahwa pada perang dunia dua, para serdadu Jerman bertempur lebih gigih dan lebih kuat jika dibandingkan dengan serdadu Inggris atau sekutu. Jawabannya adalah para serdadu Jerman itu utamanya berjuang demi sesama. Sebagian besar bukan termotivasi sadisme atau sifat haus darah, melainkan karena kesetiakawanan. Mereka bertempuh mati-matian di medan tempur karena ingin membela kawan seperjuangannya, solidaritas dan perasaan senasib sepenanggungan. Kenyataannya, mereka tidak terlalu paham tentang nazisme atau ideologi yang dicetuskan Adolf Hitler itu. Adolf Hitler hanya memanfaatkan empati yang membutakan atau kesetiakawanan di antara para serdadu Jerman itu untuk mencapai tujuannya.
Ia juga mengungkap penelitian bahwa pada perang dunia dua, hanya sedikit sekali serdadu yang menembakkan peluru ke arah musuhnya. Para serdadu enggan membunuh musuhnya. Jarak yang dekat, ketika berhadap-hadapan dan kontak mata terjadi, sebagai manusia normal para serdadu enggan untuk melepaskan tembakan dan mengenai tubuh musuhnya. Sebagian besar korban karena bom yang dijatuhkan oleh pesawat-pesawat di udara yang tidak tahu kondisi musuh di bawahnya. Jadi, jarak menentukan.
Manusia pada hakikatnya adalah baik. Kita bisa ambil pelajaran dari peristiwa blitz pada perang dunia kedua di London, Inggris. Saat itu, Jerman melakukan pengeboman besar-besaran di London. Bahkan, saking banyaknya bom yang diturunkan dan terjadi ledakan seperti kilatan blitz kamera. Siang malam London dibom oleh pesawat-pesawat terbang tentara Jerman. Adolf Hitler menduga saat itu warga London akan kehilangan harapan, terjadi anarki, dan kekerasan. Namun, ternyata yang terjadi sebaliknya. Warga London justru saling membantu mengurangi penderitaan di antara mereka, saling menolong dan menghibur, dan bahkan membuat humor-humor lucu seperti salah seorang pemilik kedai yang tetap membuka kedainya lalu memasang tulisan, “Pintu dan jendela kedai kami memang sudah hancur, tetapi silakan berkunjung dan menikmati roti kami, karena percayalah roti kami tetap yang paling enak,”. Warga London tidak putus harapan sama sekali dan bahkan bangkit dan bisa membuat lelucon dari peristiwa blitz itu.
Rutger Bregman juga mengisahkan bagaimana perjuangan Nelson Mandela, pejuang dan pahlawan Afrika Selatan melawan rezim apartheid yang menindas. Setelah dipenjara selama dua puluh tahun tahun, Nelson Mandela bukannya balas dendam. Sesaat setelah keluar penjara di hadapan ribuan pendukungnya, ia mengatakan, “ambillah senapan, pedang, pisau, dan semua senjata yang ada di rumah. Lalu, buanglah semuanya itu ke laut,” ujarnya.
Salah satu cara untuk mengatasi kebencian, rasa saling curiga dan tidak percaya, dan rasisme adalah kontak. Ketika orang kulit putih bisa berbaur dengan baik dengan orang kulit hitam atau sebaliknya, maka akan timbul kepercayaan dan saling berbagi. Oleh karena itu, selama dipenjara, Nelson Mandela mempelajari bagaimana kebiasaan dan budaya orang orang kulit putih di Afrika Selatan. Ia berusaha memahami pikiran dan perasaan orang-orang kulit putih di Afrika Selatan yang sebelumnya memusuhinya.
Nelson Mandela bukan hanya mengerti bahwa kekerasan dan balas dendam tidak akan mengakhiri konflik. Ia memperlakukan orang-orang yang sebelumnya memusuhinya dan memenjarakannya dengan baik, layaknya manusia bermartabat. Pada saat rekonsiliasi mengakhiri perang, Nelson Mandela mengatakan, “Tak akan ada pemenang jika kita berperang,” ujarnya.
Rutger Bregman pada akhir tulisannya yakin bahwa pada hakikatnya manusia itu baik. Umat manusia mempunyai sejarah penuh harapan. (*/kik).
Identitas buku :
Judul buku: Human Kind, Sejarah Penuh Harapan
Penulis: Rutger Bregman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit: 2019
Tebal halaman: 444 halaman
Penulis: Muhammad Roqib, SH MH *Penulis resensi buku adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik
Editor: Muhammad Roqib, SH MH
Publisher: Muhammad Roqib, SH MH