Catatan Ringan dari Forum Buntwani Johannesburg
Merawat Demokrasi Dengan Karya
Minggu, 30 Agustus 2015 19:00 WIBOleh Drs. H. Suyoto, M.Si.
Oleh Kang Yoto
UNDANGAN dari Arfika Selatan memancing rasa penasaran tersendiri. Pertama, demokrasi Afrika Selatan hanya kurang lebih lima tahun lebih awal dari Indonesia dan kini tampak sudah matang. Tentu menarik belajar pengalaman Afrika Selatan. Kedua, acara yang saya hadiri sendiri sungguh menarik, Buntwani “The Next Step in Innovation for Good Governance: Moving the dialogue forward from potential to impact” 25-26 August 2015 di Misty Hills Country Hotel, Johannesburg, South Africa. Kegiatan ini dilaksanakan kerja bareng: TechSoup Global, Open Institute and Making all Voices Count. Kegiatan berlangsung sangat dinamis dan difasilitatori oleh Allen Gunn. Bagi saya mendapatkan pengetahuan dan jaringan untuk peningkatan kapasitas pemerintahan saya yakin sangat bermanfaat bagi Bojonegoro.
Saya sengaja datang dua hari sebelum dimulai, untuk mendapatkan kesempatan istirahat dan ada waktu sehari untuk melihat perkembangan Johannesburg. Saya memilih mengunjungi Museum Apartheid. Dengan cara ini dapat lebih cepat memahami sejarah Arfika Selatan. Terutama, apa latar belakang politik Apartheid dan proses demokratisasi yang melahirkan tokoh menonjol Nelson Mandela.
Di depan Museum Apartheid, pintu masuk untuk orang kulit putih dibedakan dangan non kulit putih (Robin Backer, Kang Yoto dan Anna Seicicka (Techsoup Polandia)
Sejak memerdekakan diri dari Inggris, orang orang kulit putih yang umumnya keturunan Inggris dan Belanda, berjumlah kurang lebih 11 persen. Mereka membentuk pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu yang hanya diikuti laki-laki kulit putih. Hampir dalam segala hal terdapat pembedaan dengan tegas dan pengistemewaan orang kulit putih. Sistem inilah yang disebut dengan apartheid. Sistem ini berakar pada sejarah yang dimulai abad ke 16 atau abad ke 17 (1662). Nenek moyang orang kulit putih dari Inggris dan Belanda datang untuk membuka pertambangan berlian, emas dan chrome. Mereka datang membawa pekerja dari Asia. Penduduk asli terpinggirkan karena tidak memiliki kemampuan dan peralatan. Pemerintah kolonial Inggris tentu saja memberikan dukungan militer. Dominasi ekonomi dan politik kulit putih memang membawa ekonomi Afrika Selatan menjadi paling maju di antara negara-negara Afrika lainnya, meskipun kesenjangan antara kaya dan miskin masih sangat tinggi. Penduduk non kulit putih yang mayoritas berkulit hitam lebih banyak hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki hunian yang layak, tingkat pendidikan rendah dan mendapatkan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Semua bentuk perlawanan terhadap rezim apartheid akan menyebabkan penjara bagi pelakunya. Termasuk Nelson Mandela yang sempat menghuni penjara selama 27 tahun dan baru dibebaskan oleh Presiden F.W. De Klerk tahun 1990. Proses negoisasi demokrasi memakan waktu hampir 3 tahun, hingga menghasilkan pemilu demokratis pertama tahun 1994. Pemilu itu diikuti oleh seluruh penduduk usia 18 tahun ke atas laki maupun perempuan. Apapun warna kulitnya. Berdasar undang-undang baru yang dirancang untuk menghormati HAM. Pemilu ini dimenangkan partainya Mandela dan mengantarkannya menjadi Presiden. Namun perjuangan Mandela setelah berkuasa tidak kalah beratnya dibanding dengan perjuangannya saat mendekam di penjara.
Tantangan terberat Mandela adalah tuntutan balas dendam dan kehendak dominasi oleh kulit hitam. Namun Mandela menjawab dengan tegas, "Tujuan membangun demokrasi bukanlah mengubah dominasi dari kulit putih ke kulit hitam. Demokrasi itu untuk hidup berdampingan dengan saling respek dan menghargai." Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Salah satu kalimatnya yang terkenal: "Masa lalu dapat dimaafkan walau tidak untuk dilupakan." Selama memerintah, Mandela membangun 700.000 rumah layak untuk orang miskin. Memberi fasilitas kesehatan gratis kepada anak-anak dan melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Tentu, yang paling menonjol adalah keberhasilan Mandela dalam menyembuhkan luka masa lalu dan menyatukan rakyat Afrika Selatan apapun kulit dan keyakinannya. Saat ini, pergi kemanapun di kota besar akan bertemu orang berlalu lalang, berbeda warna kulit dan keyakinan dalam damai.
Sepanjang perjalanan kembali ke Indonesia, penulis tiba-tiba berpikir bahwa demokrasi Indonesia tidak kalah hebat. Mandela membangun demokrasi dengan musuh yang secara simbolik sangat jelas: apartheid / kulit putih. Kita membangun demokrasi melawan watak dan sikap otoriter, radikal, ingin benar dan menang sendiri yang justru dari sesama saudara. Saudara yang kulit dan agamanya sama. Siapa yang dilawan sebenarnya tidak jelas. Tugas transformasi membangun terwujudnya Bhineka Tunggal Ika, penghargaan terhadap kemanusian dan keadilan, moralitas atas dasar ketuhanan dan permusyawaratan yang dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan memerlukan usaha keras dan panjang.
Namun baik Afrika Selatan maupun Indonesia (baca: Bojonegoro) saat ini sama-sama menghadapi tantangan bagaimana merawat demokrasi dan menjadikannya efektif untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, keadilan dan kemajuan berkelanjutan. Demokrasi di mana Pemerintah hadir di semua masalah rakyat, pemimpin nyambung dengan yang dipimpin dan penggunaan kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk lnilah, pertemuan Buntwani terasa sangat relevan. Pertemuan dihadiri 60-an orang dari berbagai dunia terutama Afrika, Eropa, Asia dan USA, dengan latar belakang: pemerintah, CSO (baca: LSM) dan lembaga donor. Semangatnya sama; bagaimana mematangkan demokrasi. Pertemuan ini percaya bahwa keterbukaan data dan inovasi penggunakan teknologi informasi akan memperkuat efektifitas akuntabilitas publik, lahirnya berbagai terobosan yang mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Workshop yang saya ikuti kali ini berbeda dari biasanya. Tidak ada pembicara. Tidak ada paper dan tidak ada presentasi. Masing-masing dapat menawarkan pengalaman dan usulan, lalu berdiskusi kecil sesuai minatnya. Peserta yang datang adalah orang-orang terpilih yang sangat kompeten di bidangnya dan telah memiliki karya.
Usai acara: David (Vice Presiden Techsoup Afsel), Kang Yoto, Alen (fasilitator) Imran dan Ali (Pakistan).
Saya sendiri tertarik dengan pengalaman Bank Dunia dalam membanguan management banjir berbasis masyarakat dan peta drone, disamping open data berbasis masyarakat di Kenya. Apa yang dilakukan mirip dengan di Bojonegoro. Bedanya penggunagaan IT sudah lebih dahulu. Kepada Edward Charles Anderson, senior ICT Policy Specialist (kantor Tanzania), saya menyatakan tertarik dan dia menyanggupi memberikannya secara cuma-cuma. Ptatform Ushahidi, perusahaan non profit di Nairobi juga sangat menarik. Selain membuka open source secara gratis, Daudi Were, salah seorang pendirinya membuat terobosan yang luar biasa; berbisnis tanpa harus memulainya dengan uang. Dia buktikan lewat Ushahidi.
Secara berantai, saya bercerita soal pembangunan demokrasi di Bojonegoro. Juga bagaimana penggunaan teknologi informatika. Awalnya saya hanya bercerita kepada seorang peserta dari Belanda soal: saya memberikan nomor hand phone kepada rakyat Bojonegoro, dialog publik hari jumat dan LAPOR sebagai upaya membangun hubungan horizontal dengan publik. Publikasi data-data pemerintah di web dan open data Indonesia. Penggunaan WA untuk group Kepala Satker dan group diskusi untuk pengembangan beberapa agenda.
Demokrasi di Bojonegoro dibangun bersama-sama. Tidak hanya oleh pemimpinnya, tapi juga rakyat dan seluruh stake holder. Kawan Belanda ini menceritakan kepada yang lain, lalu berturut mendatangi saya Dr George Mukundi, Lucia dari Making All Voice Account, Jeb dari USA, Ketie Benner, kawan Jeb dari New York Times. Daudi dari Ushahidi bahkan meminta saya menyampaikannya kembali dalam ngobrol kecil. Saya malu ketika di sesi penutupan peserta dari Muzambique merasa sangat terinspirasi soal Bojonegoro dan akan membawa kisahnya ke negerinya. Dr George Mukundi, African United Council berbicara agak panjang di sesi penutupan hanya untuk mengatakan terimakasihnya atas pencerahan demokrasi model Bojonegoro. Di perjalanan pulang, ia kirim pesan lewat WA kepada saya: "Many thanks Mayor, You were my greatest inspiration this entire meeting and hope keep in touch and invite you to our experiences sharing and hope some day will see you...."
Sambil menunggu jemputan, di lobby Misty Hotel (bukalah di internet soal hotel ini. Sebuah hotel di bukit yang sangat menyatu dengan alam) terdengar lirih gema Michael Jackson: We Are Not Alone... Dunia benar-benar flat, horizontal dan tidak berjarak. Bojonegoro bagian dari dunia! lilin kecil yang kita nyalakan untuk merawat dan menggunakan demokrasi untuk membuat hidup bersama lebih baik terlihat oleh dunia.
Nyanyian kecil ... wujudkan masa depan nan jaya. .. saling mencinta senafas dan sejiwa... terdengar juga dari sudut kecil Afrika Selatan. Mari kita rawat lilin itu dan biarkan nyanyian kecil itu terus terdengar....
Kang Yoto
Antara Johannesburg - Doha Qatar, 27 Agustus 2015