PLN Tak Tertarik Mahalnya Gas JTB, Pertamina Kembali Lakukan Kajian
Jumat, 16 Juni 2017 12:00 WIBOleh Piping Dian Permadi
Oleh Piping Dian Permadi
Bojonegoro Kota - Hingga pertengahan bulan Juni 2017 ini, belum ada satupun pembeli yang berminat terhadap gas Jambaran Tiung Biru (JTB). PLN yang digadang-gadang bakal menandatangani kesepakatan pembelian gas, menyatakan menolak harga yang ditawarkan oleh Pertamina sebesar USD 7 per MMBTU dari sumur di Kabupaten Bojonegoro.
Harga tersebut belum termasuk biaya angkut gas ke pembangkit (plan gate) milik PLN di Kabupaten Gresik. PLN harus kembali mengeluarkan biaya angkut gas melalui pipa (toll fee) sebesar USD 1 per MMBTU untuk sampai ke pembangkit. Jika di total, PLN membutuhkan dana USD 8 per MMBTU untuk membeli gas dari sumur sampai ke plan gate milik PLN di Gresik.
Publik Goverment Affair and Relation Pertamina EP Cepu Kunadi mengatakan, ada beberapa faktor kenapa harga gas di JTB mahal. Menurutnya kandungan gas H2S dan CO2 cukup tinggi sekali, sehingga biaya prosesnya menjadi tinggi dan dibutuhkan peralatan khusus untuk melakukan eksploitasi gas di sana.
"Jadi berbeda dari pabrik - pabrik gas lainya," kata Kunadi, Kamis (15/06/2017).
Diketahui harga gas dari sumur sampai ke plant gate di wilayah Jawa rata - rata tidak melebihi USD 7 per MMBTU. Perbandingan harga tersebut yang membuat gas di JTB tergolong mahal dan dinilai kurang ekonomis.
Disinggung apakah harga gas di proyek JTB masih bisa berkurang dari rencana pengembangan lapangan atau Plan of Development (PoD) sebesar USD 8 eskalasi dua persen per MMBTU, Kunadi belum bisa memaparkan secara rinci.
Karena, kata dia, mengenai harga itu saat ini masih dilakukan pengkajian oleh tim teknis dan tim komersial. "Kalau angka USD 8 kan angka yang diharapkan semula, supaya rate of returnnya agak tinggi," jelasnya.
Kalau ditawar USD 7 Pertamina menilai rate of returnnya semakin rendah, sehingga berpengaruh dengan selisih antara biaya operasi dan pendapatan. Pihak PLN pun mengalami kekhawatiran, jika membeli gas yang mahal, hal itu akan berdampak terhadap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik yang diproduksi nantinya.
Belum adanya pihak pembeli sampai saat ini membuat nasib proyek JTB terkatung-katung. Padahal awalnya, proyek ini diprediksi selesai pada tahun 2019 mendatang. (pin/kik)