Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Jemaat Bojonegoro
Gereja Tertua, Pernah Jadi Gedung Sandiwara, Pernah Mengelola RSUD
Rabu, 23 Desember 2015 21:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Kota – Sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah negara tahun 1945, gereja ini sudah berdiri. Terhitung hingga sekarang, sudah 110 tahun usianya. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Bojonegoro banyak menyimpan cerita yang layak digali dan dimengerti.
BeritaBojonegoro.com (BBC) menemui Pendeta Akris Mujiono di kediamannya, di samping timur gereja tertua di Bojonegoro tersebut, di Jalan Teuku Umar Bojonegoro untuk mendapatkan cerita.
“Benar. Gereja ini adalah yang tertua di Bojonegoro ini,” kata Pendeta Akris kepada BBC dengan senyum ramah. Dia menjelaskan bahwa gereja ini adalah embrio dari gereja-gereja yang ada di Bojonegoro. Pendeta Akris sendiri adalah salah satu pendeta muda di Bojonegoro ini. Dia yang memipin jemaat Bojonegoro Gereja Kristen Jawa Tengah Utara atau GKJTU ini.
Pada mulanya adalah Wilhem Barth. Dia seorang misionaris dari Salatiga Zending, sebuah perkumpulan misionaris Jerman dan Belanda di Salatiga. Di sana agama Kristen berkembang pesat. Sebuah gereja lahir di sana, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara. Gereja-gereja yang lahir kemudian di daerah-daerah lainnya juga dinamakan demikian. Termasuk yang di Bojonegoro.
“Namanya kenapa kok Jawa Tengah Utara, itu merujuk pada tempat kelahirannya. Semua gereja dimanapun yang lahir dari sana, namanya GKJTU,” kata pendeta Akris menjelaskan.
Pendeta Akris melanjutkan ceritanya tentang Wilhem Barth yang berasal dari Weiterode (Jerman) itu. Dia menempuh studi di seminari misi di Neukirchen, Jerman pada tahun 1894 – 1899. Kemudian diutugaskan pergi ke Jawa oleh Yayasan Misi “Neukichener Mission”. Tiba di Jawa pada tahun 1899, dia belajar bahasa Jawa dan menikah dengan Gesina Lopman pada tahun 1901. Pada akhir Maret 1903 keluarga muda ini ditempatkan di Bojonegoro, bersama anak putri mereka, Anna Margarete. Anna Margarete yang lahir di Kaliceret baru berusia beberapa bulan ketika dibawa ke Bojonegoro.
“Cerita itu bukan saya yang menggali. Saya baru tahun 2008 di Bojonegoro ini. Pendahulu saya di sini yang menelusuri sejarah gereja ini, mendapat arsip dari Belanda yang lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia,” kata Akris menjelaskan.
Berdasarkan catatan sejarah yang informasinya dari Belanda itu, diketahuilah GKJTU ini berdiri pada tahun 1903 oleh Wilhelm Barth itu. Namun bangunan seperti yang nampak saat ini, rupanya bukan bangunan asli. Bangunan aslinya sudah dibongkar pada tahun 1995 sampai 2003. Dulu semua bangunannya dari kayu jati tua. Sayang semua sudah dipotong-potong dan dimanfaatkan untuk kusen-kusen jendela dan pintu. “Saya belum di sini. Kalau saya, akan saya cegah. Sayang sekali,” terang pendeta berputra dua tersebut.
Dalam pelayanan gereja saat itu di masa awal-awal itu, Barth didukung oleh Asisten Residen Bojonegoro, seorang Kristen yang setia. Mereka bersama-sama mendirikan pelayanan medis dengan bermodal pengetahuan medis yang dia peroleh pada waktu pendidikan di seminari.
Untuk mempermudah perjuangannya, Barth membeli sejumlah tanah seluas 2 hektar di Desa Kadipaten Bojonegoro untuk melancarkan kelayanan sosialnya. Selain memberikan pelayanan untuk jemaatnya, Barth juga memberikan pendidikan dan kesehatan yang dibuka untuk masyarakat umum.
Antusiasme masyarakat luar biasa saat itu, kata Pendeta Akris. Pada tahun itu masyarakat belum memahami pengobatan modern. “Soalnya masyarakat saat itu masih kental Jawanya, pada yang mistis-mistis. Orang mengobati bisa sembuh dianggap mistis, sehingga banyak yang mendekat,” kata Akris menceritakan.
Namun pada Februari 1914, Salatiga Zending memindahkan Barth dari Bojonegoro. Sebagai penggantinya, dikirim Pendeta Johanna Niephaus.
Ada kabar yang menyebutkan bahwa RSUD milik Pemkab Bojonegoro saat ini, asal-usulnya dari GKJTU itu. Pendeta Akris meluruskannya. “Saat itu Pemerintah Hindia Belanda sudah punya rumah sakit sendiri. Tapi melihat pelayanan keseriusan pelayanan medis GKJTU, akhirnya menyerahkan rumah sakitnya pada kami untuk dikelola,” kata Pendeta Akris menjelaskan.
Apa yang diceritakan Pendeta Akris selaras dengan yang tertulis di Buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, terbitan Pemkab Bojonegoro tahun 1989. Dalam buku itu disebutkan bahwa, selain rumah sakit yang didirikan oleh Salatiga Zending (maksudnya GKJTU), Pemerintah Hindia Belanda juga memiliki rumah sakit sendiri. Dan pada 13 Desember rumah sakit milik pemerintah diserahkan kepada Salatiga Zending. Tidak disebutkan tahunnya dalam buku itu.
Situasi politik sekitar 1940-1950 benar-benar menyudutkan GKJTU. Perang dunia II dan perang kemerdakaan Indonesia membuat para misionaris Jerman dan Belanda ditarik dan dipulangkan ke negaranya oleh Jepang dan Sekutu saat itu. Mereka tidak bisa kembali ke Jawa. “Padahal kami tidak ada kepentingan apa-apa dengan Pemerintah saat itu, para pembawa agama Kristen dengan para penjajah kan beda,” jelasnya. Namuan Jepang yang saat itu datang menggantikan Belanda sebagai penjajah, tidak memandang itu. Bahkan gereja saat itu dijadikan sebagai tempat pementasan sandiwara oleh Jepang.
“Hanya saja, di Bojonegoro saat itu sudah mandiri. Karena sudah punya pendeta sendiri, pribumi. Namanya R. Soedjito,” terang Pendeta Akris.
Selama kurun waktu 110 tahun, mulai 1905 sampai 2015 sudah ada sepuluh pendeta yang melayani jemaat GKJTU Bojonegoro. Pendeta ke sepuluh yang memimpin adalah Akris Mujiyono yang sedang bertatap muka dengan BBC ini. Dia menggantikan Pendeta Permadi Emiritus tahun pada 2010.
Pendeta Akris mengaku, saat itu dia merupakan pendeta paling muda, karena diangkat sebagai pendeta pada usia di bawah 30 tahun.
"Saat ini, GKJTU melayani jemaat sekitar 200 orang," pungkas Pendeta Akris. (ver/moha)
Foto GKJTU, diambil dari www.gkjtujemaatbojonegoro.blogspot.co.id