Anak Pekerja Malam dan Kemiskinan di Bojonegoro
Rabu, 21 Oktober 2015 16:00 WIBOleh Rahmat Junaidi
Oleh Rahmat Junaidi
SUDAH cukup lama sebenarnya saya memperhatikan ini. Saat saya pulang di atas jam sembilan malam, terkadang mampir di beberapa warung kopi di seputaran Kecamatan Bojonegoro. Atau jika pulang malam dari Surabaya, di daerah Baureno maupun Sumberrejo, seringkali saya temui warung kopi yang mempekerjakan anak-anak perempuan. Jauh di dalam hati kecil saya, mengapa ini terjadi? Apakah tidak ada pekerja lelaki? Ataupun kalau wanita, tidak adakah yang sudah cukup dewasa?
Baik. Mungkin ini jawaban yang memungkinkan kalau kita analisis dari fenomena sosial secara global. Meski masih sangat parsial dan kualitatif. Mungkin jawaban yang lebih benar adalah jika dilakukan penelitian yang lebih evidence dan lebih lama. Tapi, paling tidak, saya berharap tulisan ini bisa membuka hati dan pikiran kita semua warga Bojonegoro tercinta.
Sebagai kerangka pemikiran, kita lihat dulu definisi pekerja anak. Yaitu sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil yang dapat memiliki konotasi eksploitasi atas tenaga anak-anak dengan gaji yang kecil. Serta adanya pengabaian perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.
Kalau kita lihat regulasi yang mengatur pekerja anak di Indonesia seperti Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki usaha dilarang mempekerjakan anak. Dan dalam ketentuan undang-undang tersebut, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun. Berarti 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja.
Nah, dari apa yang saya lihat saat saya mencoba mengahangatkan badan lewat minuman teh atau kopi, maka yang melayani anda di warung-warung tersebut di atas jam 21.00 adalah anak-anak gadis usia 15 tahun sampai 17 tahun. Wah, apa jadinya status kesehatan, fisik, mental dan sosial anak tersebut? Tentunya pembaca bisa membayangkan, yang belanja pada jam tersebut hampir keseluruhan atau sebagian besar adalah para lelaki dewasa.
Organisasi buruh Internasional ( International Labour Organisation) sendiri memberikan pedoman untuk beberapa faktor yang tidak diperbolehkan oleh seorang anak dalam bekerja :
- Pekerjaan yang membuat anak-anak mengalami penyalahgunaan fisik, psikologis atau pelecehan seksual.
- Pekerjaan di bawah tanah, bawah air, pada ketinggian yang berbahaya atau di ruangan yang sempit dan terbatas.
- Bekerja dengan peralatan dan mesin yang berbahaya atau yang melibatkan penanganan manual atau pengangkutan beban berat.
- Bekerja di lingkungan yang tidak sehat yang memungkinkan, sebagai contoh terpaparnya anak-anak tentang bahan-bahan kimia yang berbahaya atau proses kimia yang berbahaya, ataupun suhu, tingkat kebisingan, atau getaran yang dapat merusak kesehatan mereka.
- Bekerja di bawah kondisi yang sulit, seperti bekerja dengan jam kerja yang panjang atau di malam hari atau pekerjaan dimana seorang anak, tanpa alasan yang kuat, harus berada di tempat yang sempit dan terbatas.
Penyebab pekerja anak perempuan di waktu malam ini, tentu bermacam–macam. Tapi mungkin yang paling mudah kita sepakati adalah akibat masalah ekonomi atau kesejahteraan keluarga yang kurang, atau kita kenal sebagai kemiskinan. Sehingga kondisi itu mengharuskan anak-anak ini bekerja.
Kemudian permintaan pasar yang tinggi, tentu akan lebih menarik, lagipula dengan pemberian gaji yang lebih murah. Kemudian pada usia antara 15- 17 tahun ini merupakan usia yang labil, mudah meniru, menginginkan sesuatu barang yang dianggap sedang trend saat ini. Yang paling mudah kita tebak adalah telepon genggam ( handpone). Sementara itu, pekerjaan yang dilakukan dianggap tidak terlalu berat. Toh kalau ngantuk, siangnya kan bisa tidur! Sebab sudah tidak sekolah (putus sekolah). Lantas kemana peran orang tua ? Inilah pertanyaan yang sulit juga saya jawab.
Beberapa kali saya coba bertanya, sebagian besar anak-anak ini sebenarnya bukan orang asli Bojonegoro. Memang ada juga yang orang Bojonegoro, tetapi dari desa-desa yang cukup jauh dari pusat kota.
Mungkin banyak penyebab lainnya. Tetapi inilah keprihatinan kita. Wah, sebegitu banyak masalah sosial di sekitar kita.
Terus bagaimana kita menyikapi dan mungkin bisa memberi solusi ? Saya sendiri mungkin masih secara sangat normatif untuk memberikan solusi. Sehingga saya harapkan pembaca budiman akan bisa memberikan solusi yang lebih konkret. Solusi saya itu adalah; Pertama, meningkatkan pengumpulan data anak perempuan yang bekerja di waktu malam. Menurut saya tidak hanya anak perempuan, juga anak laki-laki, termasuk analisis usia pasti dari anak-anak itu. Maksud saya, jika kita sudah mengetahui data yang pasti, maka tentu akan lebih mudah untuk ditangani.
Kedua, peningkatan kesadaran. Sehingga anak-anak dan orang dewasa menyadari bahaya dari berbagai jenis pekerjaan.
Ketiga, mengembangkan kebijakan dan terus memperbarui peraturan terkait perlindungan anak. Terutama di tingkat lokal Bojonegoro.
Ketiga, mempromosikan penegakan hukum yang efektif melalui pelayanan inspeksi kerja terpadu dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.
Tentu kita semua harus menentang berbagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, terutama melalui pendidikan, perlindungan sosial dan berbagai strategi lainnya.
Menurut saya, anak pekerja perempuan malam hari merupakan salah satu pekerjaan yang beresiko dalam banyak hal. Dan hal ini tidak dapat diatasi secara terisolasi. Ini merupakan bagian dari permasalahan pekerja anak secara global, yang amat terkait dengan masalah kemiskinan keluarga dan kondisi pekerjaan. Oleh karenanya, penanganan masalah ini juga harus berakar pada tanggapan kebijakan yang lebih luas. Pendidikan adalah prioritas utama.
Dari riset secara nasional diperoleh data 67 juta anak-anak usia sekolah dasar, lebih dari separo adalah perempuan, dan 71 juta anak-anak setingkat sekolah menengah pertama tidak lagi sekolah. Banyak juga anak-anak yang telah terdaftar di sekolah tidak dapat hadir secara reguler, di mana sering dikarenakan jam kerja yang panjang dan juga karena biaya sekolah yang tinggi. Menyediakan akses ke pendidikan wajib belajar, gratis, dan berkualitas untuk semua anak hingga anak memasuki usia minimum bekerja adalah strategi kunci dalam menghadapi segala jenis eksploitasi anak. Kesempatan mendapatkan pelatihan keterampilan dan langkah –langkah terkait lainnya sangat penting untuk dapat membantu anak-anak yang sudah berada pada usia minimum bekerja, untuk mendapatkan akses ke pekerjaan yang layak dan produktif.
Bagaimana? Masalah sosial ini sudah ada di Bojonegoro tercinta. Maka mari kita bersama-sama bertindak sekarang !
*Penulis adalah Kabid Sosbud Bappeda Bojonegoro dan peneliti di Djanggleng Institute