Cerita Soegija, Humanisme dalam Perang
Minggu, 25 Desember 2016 09:00 WIBOleh Muliyanto
Oleh Muliyanto
SIAPA Soegija? Namanya Mgr. Alb. Soegijapranata SJ.
Dia adalah uskup pribumi pertama di Indonesia. Dia hidup di zaman perang, tepatnya saat pendudukan Jepang kisaran tahun 1940-an. Sebagai tokoh agama di tengah ketidaknyamanan kondisi masyarakat terdampak perang, hidupnya heroik, meski tak mengangkat senjata. Nah, mengenai Soegija, Anda bisa menonton film garapan paling anyar (sebab belum membuat film lagi setelah film ini di tahun 2012) sutradara Garin Nugroho.
Soegija di film ini diperankan oleh Nirwan Dewanto, penjaga gawang rubrik sastra Koran Tempo itu. Soegija hidup dan tinggal di tengah perang kala itu, ketika para penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah makian serta todongan senjata Belanda. Di masa serba tertekan itu, sang Romo mendapat kehormatan menjadi pribumi pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah, meski pihak penjajah juga berubah, dari Belanda jadi Jepang.
Soegija memang tidak berperang angkat senjata, namun selalu punya andil. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Dan dia piawai berdiplomasi. Melindungi orang-orang yang jauh dari lingkup kekuasaan, orang-orang kampung itu, dengan tulus. Meski katolik, dia tidak tebang pilih dalam memberikan perlindungan. Tak peduli agama tak peduli latar belakang, dia sapa dan tolong.
Film ini menampilkan humanisme yang sesunguhnya. Sosok Soegija adalah satu contoh karakter dan sikap yang kita butuhkan dalam hidup di republik ini, yang terdiri dari unsur beragam.
Film ini juga banyak menampilkan otokritik untuk bangsa. Film ini juga merupakan usaha menilik atau memerhatikan sosok pejuang atau pahlawan di luar mereka yang mengangkat senjata. Perjuangan atau perbuatan heroik tidak harus melulu angkat senjata atau perang. Tapi bukan berarti antipati terhadap perang. Seorang hero tetap harus ambil bagian. Namun untuk soal cara, itu soal lain. Soegija sendiri berujar: "Kita semua terlibat di dalam perang, penderitaan, kesakitan, dan kematian, kesepian. Duka dan kesakitan juga menimpa sekarang.”
Di penghujung film, ada kalimat menarik kutipan Soegija. “Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara.” (mol/moha)