Situs Budaya Makam Wong Kalang di Hutan Jati Malo Bojonegoro, Kondisinya Tidak Terawat
Kamis, 03 September 2020 10:00 WIBOleh Dan Kuswan SPd Editor Imam Nurcahyo
Bojonegoro - Di kawasan hutan jati milik perhutani di wilayah Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro, terdapat situs makam Wong Kalang atau Orang Kalang, yang hidup di era megalitikum atau zaman prasejarah, sebelum masuknya agama Hindu-Budha di Nusantara. Namun sayang, kondisi situs budaya tersebut saat ini cukup memprihatinkan karena tidak terrawat dan ditumbuhi semak belukar.
Menurut informasi yang didapat awak media ini, di kawasan hutan di wilayah Kecamatan Malo, terdapat 9 situs makam Wong Kalang, yang terbagi di 2 wilayah atau desa, yaitu 7 situs makam berada di kawasan hutan jati turut wilayah Desa Tanggir dan 2 situs lainnya berada di hutan jati turut wilayah Desa Trembes.
Saat awak media ini bersama Camat malo, Djamari, berkunjung di situs makam Wong Kalang di Desa Tanggir Kecamatan Malo, Rabu (02/09/2020), tepatnya di Petak 72 F, RPH Kampak, BKPH Pungpungan, KPH Parengan, di tempat tersebut terdapat 7 situs makam Wong Kalang. Namun sayang, di lokasi tersebut keberadaannya nyaris tidak menunjukkan sebagai tempat adanya situs peninggalah zaman prasejarah. Di lokasi tersebut hanya ditandai dengan 2 buah papan petunjuk dari banner, bahwa di lokasi tersebut terdapat situs budaya Kubur Kalang.
Situs makam Wong Kalang atau Orang Kalang, di kawasan hutan jati di wilayah Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro.
Djamari menerangkan bahwa, ciri khas makam Wong Kalang yaitu adanya kubur batu, yang merupakan tradisi masyarakat pada era megalitikum. Menurutnya, saat itu proses pemakaman dilakukan dengan cara dikubur dan kemudian dikelilingi atau dipagar dengan batu-batu lempengan dan ditutup hingga bentuknya menyerupai keranda atau peti.
"Makam Wong Kalang ini biasanya dalam satu kuburan dipergunakan oleh beberapa kelompok keluaraga." kata Djamari.
Djamari menambahkan bahwa keberadaan situs Makam Wong Kalang di Kecamatan Malo tersebut sudah beberapa kali dulakukan penelitian oleh beberapa lembaga, namun mengenai hasilnya pihaknya belum mengetahui, hanya saja melihat kondisi situs budaya tersebut saat ini yang tidak terurus dan cukup memprihatinkan, pihaknya berharap agar supaya situs budaya Kubur Kalang di Kecamatan Malo, termasuk di wilayah lain di Kabupaten Bojonegoro, dapat dirawat sehingga tetap dijaga kelestariannya.
"Jangan sampai hilang. Saya khawatir nanti batu-batu ini bisa hilang diambil oleh orang yang tidak bertanggungjawab, karena mereka tidak tahu kalau batu-batu berjajar ini adalah situs sejarah Kubur Kalang." kata Djamari.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bojonegoro Budiyanto SPd, saat beri keterangan, Kamis (03/09/2020).
Terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bojonegoro Budiyanto SPd, ditemui awak media ini di kantornya, Kamis (03/09/2020) menjelaskan bahwa dari data yang ada, Makam Kalang ini sudah pernah di survey oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1979, ditindaklanjuti penggalian pada tahun 1982, di Desa Kawengan. Kemudian ditindaklanjuti di Desa Tanggir tahun 1990.
Kemudian dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga melakukan upaya tahun 2017. yang saat itu bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, juga dengan UGM Yoyakarta, melaksanakan survey dan zonasi di Desa Tangir Kecamatan Malo.
"Dari data itu didapati bahwa memang perlu ada zonasi pengamanan wilayah. Mungkin ada sekitar 30-an makam di Bojonegoro, persebarannya mulai Kawengan sampai Tanggir.
Budiyanto menjelaskan bahwa guna pelestarian situs budaya tersebut, pihaknya juga telah melakukan sejumlah upaya di antaranya bekerja sama dengan akademisi dan juga balai pelestarian cagar budaya, juga bekerja sama dengan pemilik lahan.
"Kalau tidak salah KPH Parengan, bagaimana nanti pemilik lahan kita ajak kerja sama, bagaimana mengamankan dan juga memelihara itu, dan nanti dari sisi kebudayannnya tetep akan kami adakan kajian-kajian dan survey, untuk lebih lanjut pencarian bukti-bukti tentang keberadaannya dan isinya apa.
"Kebanyakan makam-makam dari batu-batu putih, yang arahnya beda dengan makam-makam Jawa atau Islam. Konon Kalang ini suku-suku yang hidup di hutan. Sudah ada mulai abad 9 sampai 10 masehi. Dari Mataram Kuno sampai Majapahit, hingga terakhir Mataram Islam itu masih ada keberadaannya." kata Budiyanto.
Budiyanto menyampaikan bahwa ke depan setelah dilakukan zonasi, pihaknya merencanakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka menggali sejarah Bojonegoro lebih luas dan juga sebagai destinasi wisata hetitage, sehingga nanti dapat mengembangkan destinasi wisata minat khusus bagi para peneliti dan sebaginya, ternyata di Bojonegoro ada peninggalan makam atau kuburan purbakala.
"Rencananya kita akan kerjasama lagi dengan BPCB dan mungkin dengan perguruan tinggi yang ada arkeologi. Setelah ada penelitian perlu diadakan penggalian untuk pembuktian usia dan masanya," kata Budiyanto.
Situs makam Wong Kalang atau Orang Kalang, di kawasan hutan jati di wilayah Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro.
Dikutip dari Wikipedia, Suku Kalang atau Wong Kalang adalah salah satu subsuku di masyarakat Jawa. Mereka ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Tetapi karena satu dan lain hal, mereka dikucilkan oleh masyarakat mayoritas saat itu. Pengucilan tersebut yang mengawali sebutan "kalang".
Kata "kalang" berasal dari bahasa Jawa yang artinya "batas". Lingkup sosial orang-orang ini sengaja dibatasi (atau dikalang) oleh otoritas atau masyarakat mayoritas waktu itu. Orang Kalang sengaja diasingkan dalam kehidupan masyarakat luas, karena dulu ada anggapan bahwa mereka liar dan berbahaya.
Istilah "kalang" pertama ditemukan dalam prasasti Kuburan Candi di Desa Tegalsari, Kawedanan Tegalharjo, Kabupaten Magelang, yang berangka tahun 753 Saka (831 Masehi). Jadi diduga, suku ini telah ada sejak Jawa belum mengenal agama Hindu.
Situs makam Wong Kalang atau Orang Kalang, di kawasan hutan jati di wilayah Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro.
Menurut mitos orang kalang adalah maestro pembuat candi yang secara fisik berbadan kuat dan tegap. Ada kemungkinan berasal dari Khmer atau Kamboja dimana orang kuat di negeri tersebut diterjemahkan sebagai manusia k'lang (មនុស្សខ្លាំង). Dimana seperti kita ketahui candi di negeri Khmer mempunyai kemiripan dengan dengan candi di Jawa.
Setelah Hindu masuk, Wong Kalang semakin tersisih oleh sistem pengastaan, karena ketidakjelasan nenek moyang mereka. Orang Kalang pun dipaksa tinggal di daerah-daerah pengasingan, seperti pantai yang berpaya-paya, tepi sungai, lereng-lereng gunung yang tinggi, serta tanah-tanah tandus. Sebagian lainnya hidup nomaden dari hutan ke hutan. Lingkungan yang keras itu menempa mereka menjadi pekerja keras. Sehingga, pihak otoritas Kerajaan Majapahit waktu itu memanfaatkan tenaga mereka untuk proyek-proyek fisik berskala besar, antara lain sebagai penebang pohon, juru angkut, terkadang juga prajurit tempur di medan peperangan. (dan/imm)