Kesenian Sandur Kini Bebas Tampil di Bojonegoro
Rabu, 25 Mei 2016 08:00 WIBOleh Heriyanto
Oleh Heriyanto
Kota – Kesenian rakyat Sandur dari Bojonegoro kini bisa tampil bebas di berbagai tempat. Pada masa Orde Baru dulu kesenian Sandur itu tidak boleh dipentaskan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro mendapatkan predikat sebagai kota yang ramah terhadap hak asasi manusia (HAM) atau human right city salah satunya karena memperbolehkan pelaku seni Sandur berkarya dan tampil di tengah masyarakat.
Kesenian Sandur dari grup Sandur Kembang Desa misalnya baru saja pentas di halaman Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), Jalan Teuku Umar Bojonegoro pada Sabtu (21/05) malam. Dahulu, kesenian rakyat dengan jumlah pemain sekitar 25 orang ini digelar untuk mengucapkan syukur, usai panen raya tiba. Ceritanya, seputar imbauan soal sosial, lingkungan, seperti melarang menebang hutan, dan mengajak melakukan perbuatan baik sesama manusia.
Menurut Kepala Bidang Usaha Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bojonegoro, Imam Wahyu, kesenian sandur itu ibarat teater tradisional. Tokoh utamanya ada lima orang berikut panjak hore (yang memegang musik dan menyanyi). Sedangkan lima orang tokoh yaitu Pangsil yang menggambarkan orang kaya dan sombong. Kemudian, ada Petak, Balong dan Cawik (perempuan) di mana tiga orang ini, menggambarkan rakyat biasa dan lugu, dan satu lagi yaitu Germo, atau pengatur lakonnya.
Imam Wahyu mengisahkan, teater tradisional Sandur sempat vakum cukup lama sekitar 25 tahun lamanya terutama tahun 1965 hingga tahun 1990-an. Namun tidak dijelaskan soal penyebab kenapa kesenian rakyat ini tidak dipertunjukkan. Dia menyebutkan, di dalam pertunjukan ini, ada seni Jaran Kepang, dimana ada demo orang makan kaca, bakar kemenyan hingga orang kesurupan.
Ia menambahkan, kesenian ini baru tampil setelah dirinya bersama para seniman di Bojonegoro menggagas seni Sandur bisa tampil kembali. Akhirnya Sandur bisa kembali tampil di acara Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamala Pancasila (BP-7) di Bojonegoro sekitar tahun 1996. “Jadi, saya yang kembali menampilkan,” tandasnya.
Pegiat Budaya Bojonegoro, Aries Harijanto, mengatakan, kesenian Sandur sempat vakum beberapa tahun silam. Nasibnya sama dengan kesenian lain seperti Wayang Potehek, dan lainnya. Menurutnya, pertunjukan kesenian ini menggambarkan kemakmuran karena tampil usai panen raya. “Ini kesenian rakyat yang perlu dilestarikan,” ujarnya.
Sementara itu menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol Linmas) Kusbiyanto mengatakan, bahwa Bojonegoro kini telah mendapatkan status dengan predikat Human Rights City atau sebagai Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM) oleh pemerintah Republik Indonesia pada 11 Desember 2015 lalu. Kabupaten ini termasuk 138 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota di Tanah Air yang dinilai ramah HAM.
Soal kesenian tradisional Sandur, lanjut Kusbiyanto, secara tertulis pemerintah tidak pernah melarang. Hanya saja kesenian Sandur diakui jarang tampil sejak tahun 1965 hingga tahun 1990-an. Bisa jadi karena orang takut dituding macam-macam, meski hal itu tidak ada. Tentu, Bojonegoro dengan Kota ramah HAM, tetap menghormati produk kesenian rakyat karena berisi pesan-pesan moral yang baik.”Tetap kita jaga itu,” tandasnya. (her/kik)