Bengawan Solo Riwayatmu Kini (bagian 4)
Bengawan Solo Bak Perawan yang Terluka
Jumat, 09 Oktober 2015 09:00 WIBOleh Ahmad Bukhori
Oleh Ahmad Bukhori
Kota – Sungai Bengawan Solo yang membelah wilayah Bojonegoro boleh dibilang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Airnya diambil untuk air baku air minum dan pengairan persawahan, ikannya dijala atau dijaring lalu jadi santapan yang nikmat di rumah-rumah dan warung makan, endapan di sungai diambil lalu dibikin batu bata merah oleh para perajin, dan pasirnya juga dikeduk untuk membangun rumah-rumah warga Bojonegoro.
Namun sayang, pengambilan pasir yang berlebihan memakai mesin penyedot pasir dampaknya merusak ekosistem sungai. Sebab, antara penyedotan pasir dengan pemulihannya tidak seimbang. Dampaknya, terjadi kerusakan di dasar sungai karena banyak cekungan sedalam 10-20 meter, kerusakan tepian sungai yang ambrol dan longsor, dan semakin lebarnya bentangan sungai terpanjang di Pulau Jawa itu.
Belum lagi, masih banyak warga yang membuang sampah, limbah pabrik atau limbah industry, serta buang hajat seenaknya di sungai itu. Kondisi itu semakin memperparah kerusakan yang terjadi di sepanjang Sungai Bengawan Solo.
Menurut Kepala Unit Pelayanan Teknis Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo, Mucharom, kerusakan di daerah hilir Sungai Bengawan Solo lebih parah bila dibandingkan di daerah hulu sungai. Kerusakan paling parah terjadi mulai di Kecamatan Padangan hingga di Kecamatan Trucuk.
Kerusakan bantaran Bengawan Solo misalnya terlihat di kawasan Dusun Baru RT 11 hingga RT 14 RW 03, Desa Banjarjo, Kecamatan Padangan. Puluhan rumah di daerah bantaran itu nyaris ikut terseret bantaran sungai yang ambrol dan longsor. Banyak rumah yang sebelumnya di pinggir sungai itu telah dibongkar dan dipindah. Kebetulan, daerah bantaran itu berada di kelokan sungai sehingga pada saat air penuh daerah itu dilimpas derasnya aliran sungai.
Bantaran sungai itu ambrol dan longsor sepanjang 500 meter dengan lebar 60 meter. Kedalaman longsornya sekitar 20 meter. Rumah warga yang terancam terseret longsor yakni rumah Ngainah, Simah, Kami, Pasiyan, Tinem, Bibit, Maryoto, Wardoyo, Sadi dan Slamet. Setiap rumah di pinggiran sungai itu dihuni oleh dua sampai tujuh orang.
Bantaran sungai yang ditempati warga dan mengalami longsor juga terjadi di Desa Brenggolo, Kecamatan Kalitidu. Beberapa rumah warga telah dibongkar dan pindah ke lokasi lain. Pihak desa menyediakan lahan memakai tanah kas desa.
Rumah-rumah warga di Kelurahan Jetak, Kecamatan Bojonegoro, juga ambrol di bagian belakangnya dan masuk ke sungai. Permukiman padat penduduk itu sebagian rumahnya berada persis di bibir sungai. Untuk mencegah agar longsor tidak semakin parah, pihak Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Bojonegoro membangun bronjong di sepanjang tepian sungai. Akan tetapi, bronjong itu juga tidak bisa menahan derasnya aliran sungai pada saat banjir.
Beberapa waktu lalu, warga Kelurahan Banjarjo, Kecamatan Bojonegoro, juga nyaris bentrok dengan warga Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk. Penyebabnya, warga kelurahan Banjarjo tidak terima banyak penambang pasir dari Desa Trucuk yang mengakibatkan terjadinya longsor di daerah bantaran sungai di Kelurahan Banjarjo.
Bantaran sungai di Kelurahan Banjarjo itu memang longsor sepanjang 300 meter dengan lebar 30 meter dan kedalaman 10 meter. Rumah-rumah warga yang berdinding tembok dan kayu itu hanya berjarak sekitar 2-5 meter dari bibir sungai. Apabila longsor terus melebar, maka dampaknya rumah warga juga ikut terseret longsor.
Rumah-rumah warga di Desa Kedungbondo, Kecamatan Balen, yang berada di tepi Bengawan Solo juga terancam terseret longsor. Rumah berdinding kayu dan sasak bamboo itu jaraknya hanya sekitar 2-3 meter dari bibir sungai.
Jayus, 70, warga RT 15 RW 02, Desa Kedungbondo, Kecamatan Balen, mengungkapkan, longsor bantaran Bengawan nyaris memakan bagian belakang rumahnya. Ia selalu was-was apabila terjadi banjir pada saat musim hujan. Sebab, setelah banjir biasanya longsor bertambah lebar.
Sungai Bengawan Solo yang mengalir di wilayah Bojonegoro di sisi lain juga menawarkan pesona dan keindahan alami yang menakjubkan. Lihat saja, pada saat sore hari pada musim kemarau, air itu terlihat tenang mengalir. Mentari sore yang memerah dan akan tenggelam memantul dengan indah di permukaan sungai.
Lihat pula, setiap pagi anak-anak sekolah, para pedagang dengan barang dagangannya, serta orang-orang yang tinggal di seberang utara sungai selalu naik perahu penyeberangan. Hilir mudik perahu kayu yang rata-rata berukuran lebar 3 meter dan panjang 10 meter itu menyeberangkan penumpang dan barang menyeberangi sungai itu. Pada saat musim hujan, saat banjir, maupun saat musim kemarau, perahu itu seolah tak pernah berhenti menyeberangkan para penumpang.
Sungai Bengawan Solo yang mengalir di Bojonegoro juga menawarkan keindahan alami yang tidak sama dengan sungai-sungai di perkotaan. Lihat saja Sungai Ciliwung di Jakarta yang terlihat seperti tong sampah raksasa. Permukiman kumuh berderet di sepanjang Sungai Ciliwung itu. Memang, Pemerintah DKI Jakarta telah berusaha mati-matian memperindah dan merawat Sungai Ciliwung itu, tetapi usaha itu belum membuahkan hasil yang memuaskan. Lihat pula Kalimas di Surabaya. Sering terlihat Kalimas itu dipenuhi tumpukan sampah rumah tangga yang ikut mengapung mengikuti aliran sungai. Lihat pula deretan rumah-rumah kumuh yang berada di pinggiran Kalimas itu. Sungguh tidak sedap apabila dilihat. Lihat pula Sungai Brantas di Malang banyak berdiri permukiman kumuh di tepian sungainya.
Sungai Bengawan Solo di Bojonegoro ini boleh dibilang masih perawan. Masih alami. Memang, terjadi kerusakan di sana sini akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tetapi, Pemkab Bojonegoro mulai berniat merawat sungai itu. Misalnya, mengadakan Festival Bengawan Bojonegoro yang digelar setiap tahunan. Namun, acara kebudayaan itu semestinya ditindaklanjuti dengan pengaturan pengambilan sumberdaya yang ada di sungai mulai bebatuan, pasir, air, tanah endapan, dan kekayaan lainnya yang tersimpan di sungai itu. Di masa mendatang, yang akan diperebutkan adalah sumber daya air antara perusahaan raksasa, perusahaan daerah, dan juga petani yang membutuhkan air itu untuk pengairan persawahan. Sanggupkah pemerintah daerah dan pemerintah provinsi mengelola sungai yang merupakan anugerah alam tak ternilai itu. Semoga bisa. (ori/kik)
Foto rumah di tepi Bengawan Solo di Padangan yang nyaris terseret longsor