Bengawan Solo Riwayatmu Kini (bagian 7)
Sejak Dulu, Petani Mengandalkan Pengairan dari Bengawan Solo
Sabtu, 17 Oktober 2015 11:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh Nasruli Chusna
Bojonegoro – Petani yang mempunyai lahan persawahan di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo menggantungkan pengairan saat musim tanam padi dari air Bengawan Solo. Seperti halnya petani gandum di sepanjang Sungai Nil di Mesir, petani di daerah bantaran Bengawan Solo ini juga selalu bisa memanen padi meski pun pada saat musim kemarau. Tanah di daerah bantaran sungai yang subur dan persediaan air yang cukup membuat petani bisa memanen padi saat musim kemarau maupun musim hujan.
Namun, seiring perubahan iklim dan perubahan alam, perebutan sumber mata air saat ini semakin pelik. Begitu pula yang terjadi di Sungai Bengawan Solo. Selain dimanfaatkan untuk pengairan persawahan, air Bengawan Solo kini juga disedot untuk keperluan industri minyak dan gas bumi (migas) Banyu Urip, Blok Cepu di Bojonegoro. Bila tidak ada pengaturan yang baik mengenai pemanfaatan air Bengawan Solo ini, bukan tidak mungkin di masa mendatang terjadi konflik antara petani yang memerlukan pengairan persawahan dengan kepentingan industri minyak.
Tradisi memanfaatkan air Bengawan Solo untuk pengairan persawahan ini sudah dilakukan oleh petani di daerah bantaran Bengawan Solo sejak turun temurun. Sejak masa Majapahit, masa Kolonial Belanda, hinga masa sekarang, air Bengawan Solo mengalir memenuhi kebutuhan pengairan pertanian itu. Namun, apabila dilihat sekarang debit air Bengawan Solo saat musim kemarau sudah banyak berkurang dibandingkan masa lalu. Dulu, meskipun musim kemarau tidak ada warga yang bisa membangun jembatan dari bambu untuk menyeberangi sungai terpanjang di Pulau Jawa itu. Namun kini lihatlah, saat musim kemarau terlihat jelas bebatuan dan endapan pasir di dasar sungai itu.
Proses pengambilan air dari Bengawan Solo ke persawahan akrab disebut arealan atau irigasi. Mekanismenya sendiri ada dua macam. Yang pertama adalah bergabung di Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA), dimana biasanya dikelola oleh pemerintah desa. Yang kedua memakai jasa irigasi yang dikelola oleh perorangan.
Seorang petani asal Desa Ngulanan, Kecamatan Dander Parwidi (28), mengaku belum punya pilihan lain kecuali mengandalkan irigasi dari air Bengawan solo. Padahal sawahnya terletak sekitar 4 kilometer dari bibir Bengawan solo. Dengan begitu dia bisa memperoleh 3 kali panen
padi setiap tahunnya.
"Kalau di sini belum ada HIPPA, rata-rata masih ikut perorangan," kata pemuda yang saban hari juga berprofesi sebagai agen elpiji dan air isi ulang itu.
Untuk mendapat aliran air Bengawan, terang Parwidi, diperlakukan sistem proliman. Atau seperlima dari hasil panen. Artinya jatah 20 persen dari panen adalah milik jasa sedot air dari Bengawan. Meski berat, lanjut dia, para petani tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan air. Apalagi saat musim kemarau bagi petani yang hanya mengandalkan hujan.
Sistem tersebut juga berlaku bagi petani yang mengambil air lewat jasa irigasi yang disediakan oleh HIPPA. Di beberapa tempat HIPPA dikelola oleh pemerinta desa. Sebab itu HIPPA diharapkan menjadi salah satu sumber pendapatan desa.
Seperti halnya berlaku di Desa Ngraho, Kecamatan Gayam. Ongkos penyaluran air lewat jasa HIPPA sebesar 20 persen dari hasil panen. Dengan demikian pembayaran akan dilakukan jika petani telah memanen hasil tanamnya.
"Orang sini biasa menyebutnya patang jangkah lima jangkah. Maksudnya dari lima jangkah luas sawah, HIPPA berhak memiliki satu jangkah," kata Kepala Desa Ngraho, Samad.
Dengan demikian pihak HIPPA harus menanggung terlebih dulu biaya operasional seperti bahan bakar dan akomodasi operator. Sistem itu, lanjut Samad, sudah berlangsung sejak dulu kala. Menurutnya di daerah-daerah lain juga menggunakan sistem yang sama.
Pria yang akrab disapa Bang Samad itu mengaku harus berpikir keras untuk menyediakan permodalan awal dalam pengelolaan HIPPA. Sebab itu dia sempat mengajak beberapa orang untuk menggadaikan sertifikat tanah. Akhirnya uang pinjaman itu yang digunakan untuk dana awal pengelolaan HIPPA di masa kepemimpinannya yang sudah memasuki tahun kedua.
"Tahun pertama kemarin sempat merugi hingga Rp 175 juta, tapi Alhamdulillah sekarang bisa punya saldo sebesar 6 juta," ujarnya ketika ditemui beritabojonegoro.com. (rul)