Ponpes Attanwir, Lahir untuk Menerangi Masyarakat Sekitar
Selasa, 01 September 2015 07:00 WIBOleh Mujamil E. Wahyudi
Oleh Mujamil E Wahyudi
Sumberejo – Pondok pesantren (Ponpes) Attanwir di Desa Talun, Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Bojonegoro, boleh dibilang sudah akrab di telinga sebagian masyarakat Bojonegoro. Kiprah ponpes ini dalam mendidik dan memajukan para santri sudah tidak bisa diragukan lagi. Nah, bagaimana sih sejarah lahirnya Ponpes Attanwir yang melegenda ini?
Ponpes Attanwir terlahir dari sebuah musala sederhana berdinding kayu jati yang dibangun pada tahun 1925. Pendirinya adalah Haji Idris. Musala yang kemudian menjadi pondok itu dipersiapkan untuk anak angkatnya yakni H Muhammad Sholeh yang pada saat itu masih belajar di Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik.
Pada tahun 1933, Muhammad Sholeh mulai merintis kegiatan mengajar anak-anak di musala yang telah dipersiapkan itu. Dimulai dari mengajar membaca Al-Qur’an, tulis menulis huruf arab, cara-cara beribadah dan sebagainya. Waktu mengajarnya saat itu ialah sore hari, mulai setelah asar hingga isya’ pada setiap hari. Kegiatan tersebut dilakukan seorang diri dengan penuh ketelatenan, keuletan dan kesabaran serta keikhlasan beliau.
Diberi nama Attanwir ini diharapkan supaya pondok pesantren tersebut nantinya bisa menjadi pelita yang mencerahkan sinar kebenaran untuk menerangi hati masyarakat sekelilingnya yang kala itu bisa dikatakan masih diliputi kegelapan, khususnya masalah aqidah Islamnya. Attanwir itu sendiri mempunyai arti bercahaya atau memberi sinar.
Setelah beberapa waktu berjalan, hasilnya sudah mulai tampak, kala itu kalau yang semula belajar hanya anak-anak Desa Talun yang jumlahnya kurang dari 10 anak, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, anak-anak dari desa sekitarnya mulai berdatangan ikut belajar hingga jumlah muridnya mencapai 40 anak lebih. Dan tidak ketinggalan para orang tua mereka juga mulai ikut belajar dengan kesadaran diri mereka.
Semakin lama jumlah pemeluk Islam di Desa Talun semakin bertambah sehingga musala yang ditempati kegiatan belajar-mengajar dan berjamaah salat tidak mampu menampung mereka yang jumlahnya setiap waktu terus bertambah. Kemudian dibelilah sebuah rumah oleh beliau dari kayu jati dengan ukuran yang lebih besar dan selanjutnya diwakafkan untuk masjid. Sedang musala yang digunakan tempat mengajar digunakan asrama santri putra. Sementar kegiatan belajar-mengajar masih berjalan sebagaimana biasa dan hanya ditangani sendiri oleh K.H. M. Sholeh kala itu.
Sejalan dengan perjalanan waktu, jumlah santri pun bertambah banyak, tidak hanya santri putra saja, namun santri putri pun jumlahnya semakin bertambah, dan di antara mereka ada yang datang dari luar desa atau daerah, sehingga ditambahlah beberapa kamar atau gotakan untuk tempat mereka. Demikian pula tenaga pengajar pun juga ditambah.
Dalam perkembangannya Pondok Pesantren Attanwir berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia modern, tanpa meninggalkan ciri khas sebagai lembaga pendidikan pesantren ala Ahlu Sunnah Waljama’ah. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, Ponpes Attanwir mempunyai fungsi ganda yakni fungsi dakwah dan fungsi pendidikan. Artinya selain bisa belajar tentang ilmu agama Islam, juga bisa belajar ilmu umum lainnya. Dan dalam pelaksanaannya selalu diupayakan sesuai dengan kemampuan serta perkembangan situasi dan kondisinya.
Dengan semakin berkembang dan majunya dunia pendidikan serta meningkatnya tuntutan masyarakat, maka keberadaan Pondok Pesantren Attanwir ini juga dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat tersebut, yakni dengan membuka madrasah diniyah khusus untuk anak putri, dan waktu belajarnya sore hari dengan masa belajar 3 tahun. Pada tahun pertama (1951) ada 40 anak, pada tahun berikutnya sudah mencapai 100 anak. Sedangkan santri putra untuk sementara masih tetap diajar malam hari.
Berkat ketekunan dan keikhlasan K.H. M. Sholeh, kesadaran umat semakin meningkat, keimanannya semakin mantap, dukungan terhadap pesantren pun juga semakin besar. Sehingga pada tahun 1952, sistem pendidikan ditingkatkan lagi, dari diniyah menjadi ibtidaiyyah (6 tahun) untuk putra putri dengan waktu belajar pagi hari.
Seiring dengan bertambah banyaknya santri, maka pelaksanaan belajar-mengajar tidak mungkin lagi ditangani sendiri oleh beliau, seperti yang sudah berjalan kala itu, maka untuk kelancarannya diperlukan tambahan pembantu, baik untuk membantu mengajar maupun membantu mengurusi kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan pesantren. Untuk mengatasi kebutuhan tersebut, didatangkan pengajar atau ustadz-ustadzah dari daerah lain, di antaranya dari Yogyakarta, Solo, Jombang dan daerah lainnya, karena pada waktu itu tenaga pengajar dari daerah sendiri masih sulit.
Dalam perjalanan selanjutnya kepercayaan umat kepada pesantren semakin dan terus bertambah. Dan santri atau murid pondok tersebut yang datang bertambah banyak baik dari dalam maupun luar desa, sehingga sarana untuk kegiatan belajar mengajar dan tempat beribadah perlu ditambah dan diperluas. Menjelang tahun 1957, dengan bantuan bimbingan dan petunjuk H. M. Maskun dan H. Idris, beliau sepakat untuk membuat masjid yang permanen dengan ukuran 16 x 11 meter persegi yang bertempat di atas tanah masjid yang lama. Dan pada tahun 1958 bangunan masjid itu bisa terwujud. Bentuk dan model bangunannya hingga sekarang masih tetap seperti sediakala belum ada perubahan, hanya ada penambahan teras di sebelah selatan untuk muslimat dan teras depan dan diberi nama Masjid “Al-Muttaqin”.
Pada tahun 1960, Pondok Pesantren Attanwir membangun tambahan gedung baru dengan ukuran luas 21 x 7 meter persegi, dan dalam peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan oleh Bupati Bojonegoro. H. R. Tamsi Tedjo Sasmito. Gedung baru itu terletak di sebelah selatan masjid dan digunakan untuk Madrasah Mu’allimin Al-Islamiyah (4 tahun), yang kemudian diubah menjadi madrasah tsanawiyah (3 tahun) dan madrasah aliyah (3 tahun). Dengan pengertian bahwa masa belajar di madrasah 6 tahun (Tsanawiyah dan Aliyah), maka dianggap belum tamat apabila belum menamatkan kelas tiga aliyah.
Mulai tahun 1982, pihak ponpes mulai merehap bangunan-bangunan lama dan sekaligus menata penempatan gedung-gedung tersebut. Di samping itu juga dapat membangun beberapa gedung baru, baik untuk madrasah maupun untuk asrama (pondok putra-putri) termasuk perkantoran dan sarana lainnya.
Dengan wafatnya K.H. M. Sholeh tahun 1992, kepengasuhan ponpes tersebut diamanatkan kepada K.H Sahal Sholeh sampai wafat beliau tahun 2006. Kemudian kepengasuhan diserahkan kepada K.H. Chumaidi dan dibantu oleh H. A. Fuad Sahal. Namun pada tahun 2012, K.H Ali Chumaidi wafat dan kepengasuhan dilanjutkan oleh K.H. A. Fuad Sahal hingga sekarang.
Bersamaan dengan itu kesadaran masyarakat tersebut semakin meningkat, ada yang dengan ikhlas mewakafkan tanahnya dan ada pula yang tanahnya rela dibeli pondok, sehingga saat ini luas lokasi pondok lebih dari 2 hektare. Sedang luas bangunannya kurang lebih mencapai 4.430 meter persegi. (yud/kik)
Sumber foto attanwir.or.id