Bengawan Solo Riwayatmu Kini (bagian 1)
Kerusakan Hilir Bengawan Solo Memprihatinkan
Senin, 05 Oktober 2015 21:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh Nasruli Chusna
Kota – Kerusakan ekosistem Sungai Bengawan Solo di daerah hilir akibat kegiatan tambang pasir ilegal sudah mencapai pada tahap level merah atau membahayakan. Bila kegiatan tambang pasir ilegal itu dibiarkan terus menerus, maka dampaknya masyarakat di sekitar Bengawan Solo akan mudah terkena longsor, kerusakan lingkungan dan juga krisis air.
Menurut Kepala Unit Pelayanan Teknis Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo Mucharom, sebelumnya pihaknya dengan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bojonegoro sudah melakukan kajian hukum bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang pada 2014. Namun, kata dia, kajian hukum itu terpaksa dihentikan setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dicabut oleh pemerintah.
“Jadi sekarang undang-undangnya vakum. Belum ada penggantinya. Itu yang menyebabkan penindakan terhadap penambang pasir ilegal di Bengawan Solo juga terkendala. Sebab, payung hukumnya belum ada. Sementara, memakai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, tetapi itu tidak mengatur tentang usaha penambangan,” ujar Mucharom pada BBC, sebutan BeritaBojonegoro.com.
Tetapi, kata dia, jelas usaha penambangan pasir memakai mesin mekanik dilarang karena merusak lingkungan sungai. Pasir yang disedot memakai mesin mekanik di dasar sungai itu bisa menimbulkan cekungan di dasar sungai sedalam 10-20 meter. Dampaknya, pasir, tanah, dan endapan yang ada di pinggiran sungai ikut tersedot ke cekungan itu. Itulah yang mengakibatkan terjadinya longsor di bantaran sungai. Kerusakan sungai itu juga membahayakan sejumlah jembatan yang membentang di atas Bengawan Solo seperti halnya jembatan Padangan-Kasiman, Jembatan Kalitidu-Malo, dan jembatan Glendeng.
Menurutnya, kerusakan di hilir Sungai Bengawan Solo lebih parah jika dibandingkan dengan di daerah hulu sungai. Penyebabnya, masifnya kegiatan tambang pasir ilegal memakai mesin penyedot pasir tersebut. Titik longsor dan kerusakan merata di sepanjang sungai mulai di daerah Padangan sampai Trucuk. “Permukiman penduduk di dekat sungai juga terancam ikut terkena longsor. Seperti yang terjadi di Padangan dan Bojonegoro,” ujarnya.
Sementara itu, setelah polisi gencar melakukan operasi tambang pasir ilegal, tampak sejumlah titik pengambilan pasir memakai mesin mekanik ditutup. Seperti terlihat di Desa Kebonagung, Kecamatan Padangan, dan juga di Desa Tembeling, Kecamatan Malo. Akan tetapi, masih ada pula beberapa titik yang beroperasi. Mesin diesel penyedot pasir masih dioperasikan dan mengambil pasir di bengawan.
Sementara itu menurut Kapolres Bojonegoro, AKBP Hendri Fiuser, Sik, M Hum, pihaknya kini gencar melakukan operasi tambang pasir ilegal di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Sebab, kata dia, selain kegiatan tambang itu melanggar aturan, juga dampaknya merusak lingkungan hidup.
Terakhir polisi menangkap MM, 43, warga Dusun Krajan, Desa/Kecamatan Malo. Ia terbukti menjadi pemilik usaha penambangan pasir ilegal di kawasan Desa Brenggolo, Kecamatan Kalitidu.
Dalam menjalankan usaha tambang pasir itu, tersangka MM menggunakan alat mekanik atau mesin sedot diesel tanpa dilengkapi izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), maupun izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Tersangka MM dijerat Pasal 158 Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Disebutkan dalam undang-undang itu bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. (rul/kik)