Resensi Buku: Guru Aini
Kamis, 16 September 2021 13:00 WIBOleh Frensi Agustina SPd
Novel pertama dari trilogi Guru Aini karya Andrea Hirata ini merupakan buku fenomenal yang menceritakan kisah tentang seorang guru yang sangat mencintai matematika semenjak duduk di kelas 3 SD bernama Desi Istiqomah karena terinspirasi gurunya yang bernama Bu Marlis.
Bu Guru Desi merupakan guru idealis yang luar biasa, cantik, semampai, genius, eksentrik dan berintelektual tinggi. Lulus SMA dengan nilai ijazah matematika sempurna 10, ia ingin mendedikasikan hidupnya menjadi guru matematika. Cita-citanya menjadi guru matematika karena ingin memberantas kebodohan matematika yang sering menjadi momok nilai merah di rapor siswa. Cita-citanya ini ditentang keras oleh orang tuanya. Sebagai lulusan terbaik orang tuanya menginginkan Desi kuliah di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Ekonomi. Namun Desi tetap berpendirian keras dan teguh sesuai dengan namanya Istiqomah.
Desi ingin melanjutkan kuliah ikatan dinas D3 Guru Matematika lalu diangkat menjadi pegawai negeri dan siap ditempatkan di seluruh wilayah Sumatera untuk mengabdi. Begitulah cita-citanya sangat mulia, ingin mendidik siswa agar menguasai ilmu matematika, yang selama ini sering menjadi hantu pelajaran tersulit dan menakutkan di dunia pendidikan. Akhirnya orang tuanya pun ikhlas karena tak dapat menggoyahkan pendirian Desi Istiqomah untuk menjadi guru ilmu istimewa matematika.
Kuliah selama tiga tahun berjalan dengan sangat baik. Desi pun lulus dengan predikat mahasiswa lulusan terbaik. Dia berhak memilih tempat dinas yang dia sukai di seluruh wilayah Sumatera. Namun Desi memilih mengikuti undian penempatan dinas, agar terkesan lebih menantang dan sama dengan teman-temannya yang lain. Desi mendapatkan undian di kota Bagan Siapi Api, namun segera ia tukar dengan temannya Salamah yang menangis ketika mendapatkan penugasan di pulau terpencil di Sumatera di Tanjong Hampar. Desi sangat tertantang dan siap terjun di wilayah terpencil sekalipun belum ada di peta Indonesia. Tekadnya yang teguh memberantas kebodohan matematika telah membuatnya semangat mengabdi ke pelosok negeri.
Orang tuanya sangat berat melepas Desi ke pulau terpencil yang mereka sendiri belum pernah mendengarnya, namun apa boleh buat Desi sudah bertekad kuat. Desi menuju Pulau Tanjung Hampar di ujung selatan Pulau Sumatera tepatnya di Kampung Ketumbi. Perjalanan Desi tidak mudah selama 6 hari 6 malam penuh perjuangan naik kapal muatan kayu selama-lama berhari-hari membuatnya mabuk laut dan ciut nyali. Desi merasa menyesal telah bertukar tempat dengan Salamah. Namun ketika melihat buku kalkulus yang selalu didekapnya, rasa lelahnya hilang menguap. Turun dari kapal masih menempuh perjalanan 100 km lagi menuju kampung Ketumbi. Bus reotpun mengangkut dirinya yang sudah lelah terseok-seok membawa tas ransel besar. Sesampai di kampung Ketumbi Desi disambut dengan ramah oleh warga yang langsung memanggilnya Bu Guru. Seperti mendapat energi yang berlimpah lelahnya lenyap dan semangatnya menjadi guru matematika makin membara.
Desi mengajar guru matematika di SMA Ketumbi dan ternyata lebih parah dari dugaannya, mayoritas siswanya sangat antipati, takut dan berharap matematika tidak pernah dilahirkan di dunia ini. Para siswa memanjatkan doa tolak bala agar tidak bertemu matematika. Bu Desi tetap idealis mengajar matematika dengan penuh semangat mencoba berbagai metode pengajaran matematika yang selama ini dipelajari di bangku kuliah dan dari buku tebal-tebal karya ahli matematika di seluruh dunia. Guru lain sangat kagum dengan kegigihan Desi dan intelektualitasnya. Selama bertahun-tahun mengajar Guru Desi merasa gagal menjejalkan ilmu aritmatika, geometri, trigonometri, diferensial, algoritma, aljabar, diferensial, kalkulus ke murid-murid yang rata-rata bergaya kampungan itu.
Cover buku Guru Aini, karangan Andrea Hirata. (foto: Moh Roqib)
Terkadang Desi patah semangat dan bingung jurus apalagi yang harus ia gunakan, karena masih banyak murid yang takut dan bebal dengan matematika. Desi pun mengajar matematika dengan lebih keras dan terkesan galak hingga dijuluki Bu Desi Mal. Banyak siswa yang takut memasuki kelas Bu Guru Desi karena takut dimarahi jika mendapat nilai merah dalam ulangan, mereka akan didamprat habis seperti disambar halilintar. Bu Guru Desi orang yang cantik, semampai dan penampilannya eksentrik namun ada yang janggal. Setiap hari ia memakai sepatu pemberian ayahnya yang saat ini sudah usang dan buntut. Desi berjanji pada dirinya sendiri, sebelum menemukan murid brilian ia tak kan mengganti sepatunya yang buntut itu.
Aini adalah salah seorang murid yang bebal, kampungan, nol puthul dengan matematika, jika mendengar kata matematika perutnya langsung mulas dan sakit. Ulangannya semenjak SD selalu mendapatkan nilai 1 0 1 0 seperti bilangan biner. Namun Aini sangat percaya diri walaupun tidak bisa matematika namun ia merasa punya bakat lainnya yaitu menyanyi walaupun suaranya sangat sumbang dan super false.
Bersama dua sahabatnya Enun dan Sa’idah, Aini membentuk grup band yang tidak satu pun orang pernah meminta mereka tampil. Masuk SMA Ketumbi mereka bersuka ria karena tidak masuk kelas matematikanya Bu Desi. Mereka bertiga masuk kelas Pak Tabah yang super santai dalam mengajar setabah namanya. Merekapun makin seperti turis asing dengan matematika.
Di tahun pertama Aini tidak naik kelas, dikarenakan ia sering bolos sekolah karena merawat ayahnya yang sedang sakit. Aini menggantikan tugas ayahnya berjualan mainan di kaki lima. Aini sangat menyayangi keluarganya dan rela berkorban apapun agar keluarganya bahagia. Bolos sekolah menjadi tidak masalah asalkan keluarganya bisa makan. Aini memanggil banyak tabib untuk mengobati ayahnya, namun tidak berhasil. Aini dinasehati oleh Tabib ternama di Tanjung Hampar bahwa hanya ilmu pengetahuan kedokteran modern yang bisa menyembuhkan ayahnya.
Setelah mendengar nasihat tabib itu iapun sontak bercita-cita menjadi dokter. Namun ketika melihat hasil ulangan matematikanya yang seperti bilangan biner itu, ia pun gamang. Seperti yang dikatakan oleh pak Tabah di kelas bahwa matematika adalah ibu dari segala ilmu seperti biologi, kimia, fisika, geografi bahkan bahasa. Mau tidak mau untuk mewujudkan cita-citanya ia harus menguasai matematika. Aini langsung tertuju ke Bu Guru Desi, guru paling genius di SMA Ketumbi, ia pun bertekad masuk ke kelas Bu Guru Desi yang ditakuti oleh seluruh siswa di sekolah itu. Aini yakin ia akan menjadi murid yang hebat jika diajar oleh guru yang hebat.
Dengan segala tekad dan retorikanya, termasuk motivasinya ingin menjadi dokter agar dapat menyembuhkan ayahnya yang sakit. Aini yang bebal matematika diterima di kelas Bu Guru Desi dengan syarat ketat ia tidak boleh mendapatkan nilai ulangan seperti bilangan biner. Aini bekerja keras belajar setumpuk buku matematika, namun perutnya sering mules jika ia memulai membaca buku. Matematika tingkat dasar SMP pun belum ia kuasai. Aini menjadi bulan-bulanan di kelas Bu Guru Desi karena paling terbelakang nilai matematikanya dan setiap hari didamprat Bu Guru Desi karena tak satupun yang dikatakan Bu Desi Mal yang ia mengerti. Aini diancam Bu Guru Desi akan dideportasi ke kelas Pak Tabah lagi jika tidak ada peningkatan nilai matematikanya.
Aini mulai galau dan takut jika dikeluarkan dari kelas Bu Desi. Aini berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa matematika yang dasar dulu. Setiap malam ia berbaring meringkuk di samping ayahnya yang sakit keras dan tak tahu apa penyakitnya itu. Ia pun bercerita apa saja yang terjadi di sekolah, namun ayahnya yang tidak bisa bicara hanya berbaring saja hanya bisa melihat Aini dengan kagum akan perjuangan Aini. Sepulang sekolah Aini harus berjualan mainan anak di kaki lima. Terbesit ide setelah berjualan ia harus belajar matematika langsung dari masternya di rumah dinas Bu Guru Desi. Sore itu sepulang berjualan ia meluncurkan sepedanya dengan kencang ke rumah Bu Guru Desi. Berharap cemas ia mengetuk pintu rumah Bu Desi. Perasaannya takut didamprat oleh sang master. Murid bebal tak tahu ilmu hitung-hitungan dan congklang mencongklang berani-beraninya datang ke rumah sang professor kalkulus begitulah yang terbersit dalam pikirannya.
Karena sudah bertekad memberantas kebodohan dan malu jika generasi bangsa bebal matematika. Bu Guru Desi menerima Aini belajar di rumah dinasnya. Setiap sore di menit yang sama Aini selalu datang dengan sepeda bututnya yang bertuliskan “Aini cita-cita dokter” diparkir di bawah pohon nagka. Tak peduli panas dan hujan Aini selalu datang. Sudah 4 minggu ini Aini belajar dengan Bu Guru Desi tidak ada kemajuan sedikitpun. Bu Guru Desi mulai patah arang , ia meremas dan merobek-robek kertas milik Aini yang tidak menemukan jawaban atas soal setara SMP yang ia berikan. Bu Guru Desi kehilangan kendali kesabaran. Mendapamprat Aini dengan kata-kata super pedas dan menyayat seperti sebilah pedang. Sambil membentak Bu Desi berkata “Sudah sebulan lebih aku mengajari matematika namun tidak ada kemajuan, memalukan sekali Nong” Aini langsung menangis, malah didamprat oleh Bu Desi tidak usah bermain sandiwara anak cengeng. Aini menangis karena teringat ayahnya yang tergolek sakit dan ia harus menjadi dokter untuk mengobati ayahnya. Aini pulang sambil bersepeda kencang dan penh air mata. Ia sendiri menyesal mengapa dilahirkan menjadi orang yang tak becus ilmu hitung menghitung.
Bu Guru Desi langsung menelpon ayahnya dan tak kuat menahan rasa sedihnya gagal sebagai guru. Ternyata mengajari matematika anak kampung tidak semudah yang ia bayangkan. Desi merasa menyesal telah mendamprat Aini habis-habisan. Ia ragu apakah Aini akan datang lagi keesokan harinya ke rumah dinasnya. Bu Guru Desi melirik ke buku kalkulus yang sudah lama menemaninya, ia mendapat ide terakhir untuk menagajari Aini dengan bahasa kalkulus yang sederhana dan disesuaikan dengan kondisi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah metode terakhir jika masih gagal berarti memang Aini tidak berjodoh dengan matematika dan akan menyuruh Aini untuk mendalami pelajaran PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) saja, Aini bisa belajar menjahit.
Aini yang seorang pejuang ia pun tetap datang ke rumah Bu Guru Desi. Bu Guru Desi juga bersemangat melihat muridnya bersemangat pantang menyerah. Ia mulai bercerita tentang ilmu kalkulus namun dengan menggunakan bahasa yang sangat sederhana. Aini pun langsung bisa menyahut pertanyaan Bu Desi. Bu Desi terperanjat dan sontak kaget tidak percaya ilmu tersulit dalam matematika ilmu kalkulus dapat dipahami Aini. Hari itu pun dijadikan Bu Guru Desi sebaga hari kemerdekaan murid bebal dari matematika. Bu Guru Desi Mal sangat bahagia metodenya manjur dan ia pun lebih idealis lagi dalam mengajar matematika. Bu Guru Desi yakin matematika bukan bakat namun ia bisa dibentuk dan dipelajari.
Matematika telah membuka pintu untuk Aini, begitulah kiasannya. Aini merasa matematika di bawah tangan bu Desi semakin menarik, ia belajar keras pagi, siang, sore, malam. Di jalan, di kelas, di kamar, di mana pun selalu terngiang rumus-rumus di telinganya. Nilai Aini semakin hari semakin menanjak. Bu Guru Desi mengganti sepatu buntutnya dengan sepatu baru bentuk lama namun diganti dengan sepatu yang baru.
Masa kelulusan SMA telah tiba, Aini lulus dengan predikat siswa terbaik ke 3 dengan wali kelas Bu Guru Desi. Seantero Ketumbi seakan tak percaya. Aini pun berangkat ke kota untuk mengikuti tes masuk Fakultas Kedokteran. Aini mengikuti tes dengan lancar dan semua soal telah ditundukkan. Selama menunggu pengumuman Aini bekerja sebagai pelayan di restoran untuk bertahan hidup. Waktu pengumuman tiba dan Aini dinyatakan lulus masuk fakultas kedokteran. Ia pun membeli koran dan mengabarkan hasil terbaik dalam hidupnya ke orang tua dan Bu Guru Desi. Bu Guru Desi teramat bahagia dan menjadi guru yang berhasil. Ia pun memutuskan cuti untuk pulang ke kampung halaman mengunjungi orang tuanya.
Aini terbelalak melihat pengumuman biaya daftar ulang masuk fakultas kedokteran angkanya sangat fantastik. Orang tuanya yang miskin, penjualan mainan anak jelas tidak mampu membiayai kuliah Aini. Aini terus berjuang dan mencoba meminta keringanan biaya atau beasiswa untu bisa tetap bisa kuliah di universitas ternama di Sumatera itu. Namun hasilnya nihil. Batas waktu daftar ulang telah habis, Aini sang pejuang matematika yang telah menjadi gadis pintar, pemberani dan gigih itu tidak dapat membayar daftar ulang sehingga harus kembali lagi ke kampung Ketumbi.
Pahit, getir, kecewa perasaannya karena tidak dapat menjadi dokter untuk menyembuhkan ayahnya yang sakit. Apakah cita-citanya menjadi dokter pupus? tentu tidak. Aini akan bekerja keras menjadi apapun itu, untuk mengumpulkan uang untuk membayar biaya kuliah kedokteran nanti. Aini sangat berharap pemerintah memberinya kesempatan mendapat beasiswa sebagai anak pandai namun kurang beruntung karena keluarganya miskin.
Kelebihan Novel Guru Aini
Sangat mengisnpirasi terutama untuk pelajar remaja, bahwa tidak hal yang tidak mungkin di dunia ini. Ilmu bisa dipelajari dan diperjuangkan. Berani bermimpi dan gigih dalam mewujudkannya. Bagi profesi guru patutlah berbangga, karena guru adalah idola muridnya bahkan pendorong murid untuk berani bermimpi dan mengubah hidupnya. Semua yang dikatakan guru menjadi sakral dan bermakna dihadapan murid yang taat dan menghormatinya. Amanat yang disampaikan dalam novel ini salah satunya adalah diharapkan biaya pendidikan di Indonesia bisa terjangkau dan mampu mengakomodasi siswa berprestasi namun tidak mampu.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini begitu apik, menarik,dan mudah dipahami. sesekali diiringi sendau gurau agar pembaca tidak bosan. Alurnya enak diikuti sehingga pembaca selalu ingin membaca novel ini dari bab ke bab hingga tuntas.
Kekurangan Novel Guru Aini
Penulis dalam mendeskripsikan tentang hal yang sederhana terkadang terlalu berlebihan dan hiperbola. Hal tersebut membuat pembaca merasa ada ketidakefisiensian kata. Sehingga ada bagian cerita menjadi kurang bermakna.
Rekomendasi Novel Guru Aini
Novel yang sangat bermutu ini wajib dibaca oleh semua insan dunia pendidikan. Para akademisi, pendidik, siswa dan pihak stakeholder termasuk pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia.. Novel ini juga wajib dibaca oleh para orang tua yang ingin memotivasi anaknya untuk lebih giat belajar dan lebih memahami akan arti kehidupan sesungguhnya. Para remaja yang sedang mencari jati diri juga wajib membaca novel ini. Sangat cocok dibaca bagi siapapun yang ingin terus belajar dan mengajar.
Ilmu matematika bukanlah musuh yang membuat takut, namun ia adalah kawan bagi para pejuang. Cintailah ilmu maka ilmu akan lebih mencintaimu dan menuntunmu ke kehidupan yang lebih bermakna. (*/kik).
Identitas novel Guru Aini
Judul Buku: Guru Aini
Pengarang Buku: Andrea Hirata
Penerbit Buku: PT Bentang Pustaka
Kota Terbit: Yogyakarta
Tahun Terbit: 2020
Tebal Buku: 306 halaman
Penulis: Frensi Agustina SPd, *Penulis buku resensi Guru Aini adalah pegiat literasi di Kampung Ilmu Bojonegoro.
Editor: Mohammad Roqib
Publisher: Imam Nurcahyo