Menelusuri Jejak Tuak dan Legen di Tuban
Lebih dari 30 Tahun Muntari Berjualan Tuak
Rabu, 23 Desember 2015 10:00 WIBOleh Rizha Setyawan
Oleh Rizha Setyawan
Tuban - Muntari, 55, duduk dengan tenang di sebuah gubuk bambu beratap daun-daun kering. Gubuk yang tampak sudah tidak terawat dengan baik itu terletak di dekat persawahan dan dekat jalan desa. Di sampingnya, Pinto, 56, teman dekatnya, tampak duduk dengan santai sambil menikmati hawa sejuk tempat itu.
Di depan keduanya tampak sudah ada jeriken berisi seperti air berwarna putih tetapi sedikit berbusa dibiarkan begitu saja. Di dekatnya, tampak berserakan beberapa potongan bambu yang dibuat seperti tempat minuman. Sebagian sudah dikeluarkan, tetapi sebagian lagi masih ada di dalam sak.
“Silakan minum kalau mau mencoba,” ujar Muntari dengan ramah saat ditemuinya. Ia mengajak singgah ke gubuk yang disebut sebagai nitik – tempat untuk minum tuak bersama – itu.
Muntari memang sedang menawarkan minuman tradisional tuak. Toak atau dalam Bahasa Indonesia disebut tuak itu adalah minuman tradisional hasil fermentasi dari nira atau getah pohon siwalan. Minuman itu bisa memabukkan bila mengonsumsinya berlebihan.
Minum tuak biasanya memang memakai batang pohon bambu yang dipotong menjadi sebuah wadah yang disebut centak. Siang itu, Muntari hanya membawa beberapa centak karena tuak yang dia bawa juga tidak banyak. “Saya cuma jualan tuak sekitar 25 liter di jeriken itu,” ucapnya.
Iya, Muntari memang berjualan tuak. Sementara, Pinto adalah pelanggannya. Setiap sore, Muntari selalu menyediakan tuak kepada para penikmat minuman tuak yang disebut masyarakat setempat sebagai beduak itu. Untuk satu centak berisi tuak itu dijual seharga Rp1.000 sampai Rp2.000. “Biasanya, sehari saya bisa menjual tuak lebih dari 15 centak dengan nilai uang sekitar Rp50.000,” ungkap Muntari.
Tidak seberapa lama, beberapa pemuda dari desa setempat datang ke gubuk yang dipakai berjualan tuak oleh Muntari itu. Pemuda yang tubuhnya kekar dan berkulit agak gelap langsung meminta sajian tuak di centak. “Pak, saya minta tuaknya,” ujarnya. Tidak menunggu lama, Muntari lalu menuangkan minuman tuak berwarna putih sedikit berbusa itu ke centak lalu menyodorkannya ke pemuda itu.
Wito, salah seorang pemuda itu, mengaku sudah terbiasa minum tuak. Bahkan, kata pemuda yang bekerja serabutan itu, kalau tidak minum tuak rasanya tidak bersemangat untuk bekerja. “Sebelum bekerja, saya selalu minum tuak. Rasanya, lebih bersemangat kalau sudah meminumnya,” katanya diiyakan teman lainnya yang sore itu ikut minum tuak bersama-sama.
Setelah minum dua centak berisi tuak, Wito dan teman-temannya langsung membayar pada Muntari. Setelah itu, pemuda desa yang mengaku ingin segera kembali bekerja itu bergegas menaiki sepeda motornya dan langsung pergi ke arah Kota Tuban.
Hampir setiap sore, Muntari berjualan tuak di gubuk itu. Biasanya, dia membawa 25 – 30 liter minuman tuak. Bukan hanya Muntari saja yang berjualan tuak di gubuk itu. Biasanya, pada pagi harinya sudah ada beberapa penjual tuak yang menjajakan dagangannya. “Jadi, kami jual tuak itu bergantian,” tutur Muntari.
Di kampungnya di Dusun Lidah, Desa Kembangbelo, Kecamatan/Kabupaten Tuban, Muntari punya kebun pohon siwalan. Sedikitnya ada 25 pohon siwalan di kebunnya itu. Setiap sore, bapak yang memiliki lima anak itu mengambil nira atau getah pohon siwalan itu yang kemudian menjadi minuman tradisional tuak itu. “Saya sudah 30 tahun lebih menjalani pekerjaan sebagai penjual tuak,” terangnya.
Pinto masih menemani Muntari. Pinto yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani itu mengaku sudah sejak lama minum tuak itu. “Saya sehari bisa minum tuak 5-7 centak. Saya biasanya minum saat pagi dan sore hari,” ungkap warga Desa Sumurgung, Kecamatan/Kabupaten Tuban itu.
Sebetulnya, Muntari ingin berhenti berjualan tuak. Apalagi, di usianya yang semakin senja sudah tidak kuat lagi memanjat pohon siwalan yang rata-rata setinggi 10-15 meter itu. Belum lagi, mengambil nira di pohon siwalan itu juga tidak mudah. “Kalau musim hujan, sulit sekali memanjat dan mengambil nira di pohon siwalan itu,” tuturnya.
Tetapi, Muntari tidak punya banyak pilihan. Berjualan tuak menjadi satu-satunya penghasilan setiap hari. Meski, dia juga beternak kambing dan sapi di rumahnya. “Berjualan tuak ini untuk menghidupi anak dan istri,” ujar Muntari dengan pandangan menerawang.
Di kampung Muntari di Desa Kembangbelo terdapat 30 lebih penjual tuak. Setiap pagi atau sore hari mereka mengambil nira dari pohon siwalan yang dibuat menjadi tuak itu. Selanjutnya, mereka berjualan keliling atau mangkal di tempat-tempat tertentu yang disebut nitik itu.
Bagi sebagian masyarakat Tuban, berjualan tuak menjadi salah satu penghasilan tetap mereka. Terutama warga yang tinggal di daerah pesisir Pantai Utara Pulau Jawa dan dikelilingi perbukitan kapur. Pohon siwalan dapat tumbuh subur di daerah dengan jenis tanah mediteran merah dan berkapur.
Sebetulnya, minuman khas Tuban bukan hanya tuak. Tetapi, minuman tradisional yang juga cukup terkenal yaitu legen. Minuman tradisional legen itu juga berasal dari getah atau nira pohon siwalan yang telah melalui proses fermentasi. Hanya saja, legen tidak memabukkan seperti halnya tuak.
Minuman tradisional legen banyak dijajakan di pinggir jalan raya menuju Kota Tuban. Salah satu sentra penjualan legen yang terkenal di Tuban yaitu di Desa Tunah, Kecamatan Semanding, Tuban. Di sepanjang jalan utama Tuban-Lamongan yang masuk kawasan Desa Tunah itu, terdapat ratusan penjual legen.
Menurut Kasdan, 35 tahun, salah satu penjual legen di Desa Tunah, minuman legen banyak dicari oleh para pelancong dari luar kota yang kebetulan singgah di bumi Ronggolawe itu. “Setiap hari ada sekitar 15-20 orang yang membeli legen. Kebanyakan dari pendatang luar kota,” tuturnya.
Minuman tradisional legen itu ada yang ditempatkan di botol plastik bekas minuman. Tetapi, ada pula yang ditempatkan di jerigen ukuran kecil. Legen dijual bervariasi antara Rp2.000 per botol sampai Rp6.000 per jerigen kecil. Selain menjual legen, mereka juga menjual buah siwalan. Harga buah siwalan Rp2.000 per bungkus.
Buah siwalan yang dihasilkan dari perkebunan setempat juga banyak dikirim ke luar daerah. Seperti misalnya ke Probolinggo, Banyuwangi, Kediri, Semarang, hingga ke Jakarta. Biasanya, buah siwalan itu dititipkan truk yang melintas jalur pantura di wilayah Tuban. (zha/kik)