Betty Aulia
Darah Ronggeng Mengalir dalam Diri Saya
Senin, 28 Maret 2016 08:00 WIBOleh Mulyanto
Oleh Mulyanto
Purwosari – Tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari digambarkan sebagai seorang ronggeng titisan leluhur Dukuh Paruk. Tidak semua orang bisa menjadi ronggeng. Warga Dukuh Paruk yang menanti cukup lama kehadiran seorang ronggeng yang menghidupkan pedukuhan Paruk akhirnya terpenuhi sejak kehadiran Srintil.
Ronggeng dalam novel itu digambarkan sebagai seorang yang mampu menggerakkan dan menggairahkan kehidupan. Srintil pun dipuja seperti layaknya seorang bintang. Namun, perjalanan Srintil, kisah cintanya dengan Rasus, dan pergolakan politik pada masa itu membuat kehidupannya penuh liku. Srintil dengan kukuh memegang pengabdiannya pada pedukuhan yang ia sebut darma bakti pada warga Dukuh Paruk.
Nah, bagaimana dengan ronggeng zaman sekarang. Betty Aulia, dara kelahiran 25 Oktober 1996 ini mengaku dalam dirinya juga mengalir darah ronggeng dari titisan leluhurnya. Sejak kecil Betty, sapaannya, menggeluti seni tari tradisional. Tidak heran, saat tampil di acara Kenduri Langit Tobo di Desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, ia tampil begitu memesona. Tariannya gemulai dan indah. Mirip Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
“Darah ronggeng mengalir dalam diri saya,” ujar Betty.
Betty merasa prihatin dengan anak-anak muda masa sekarang yang kurang peduli dengan kesenian dan kebudayaan tradisional. Dengan tekad bulat, Betty, sapaannya merintis dan mendirikan sanggar tari tradisional di rumahnya di Desa Guyangan, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro.
Kecintaan Betty terhadap dunia tari tradisional dimulai sejak dia duduk di bangku sekolah dasar. Dia semula belajar secara otodidak berbagai tarian tradisional seperti tari gambyong dan tari tengul. Saat menginjak bangku SMP hingga SMA ia semakin menekuni seni tari dan belajar di salah satu sanggar di Bojonegoro.
Orang tua Betty yakni Umi Kulsum dan Sugiyanto mendukung kegiatan seni tari tradisional itu. Kebebasan yang diberikan oleh orang tua itu menjadi bekal Betty terus mengasah dan mengembangkan kemampuan tari tradisional. Ia beberapa kali tampil di ajang tari tradisional di Jawa Timur. Ia bahkan pernah memenangi juara tiga lomba tari tradisional tingkat Jawa Timur.
Beberapa waktu lalu Betty juga tampil menarikan tari tengul di depan Bupati Bojonegoro di Pendapa Pemkab Bojonegoro. Tari tengul merupakan kesenian tari tradisional khas Bojonegoro. Saat penari menarikan tari tengul ini dandanan dan rias wajahnya dibuat mirip seperti boneka tengul.
“Ada teknik tertentu yang harus dikuasai oleh seorang penari saat menarikan tari tradisional,” ujar Betty yang kini masih kuliah semester dua di Universitas Terbuka Bojonegoro ini.
Selain membawakan tari yang sudah ada seperti tari gembyong dan tari tengul, Betty juga menciptakan tari sendiri seperti tari katresnan dan tari sugeng rawuh. Tarian yang diciptakannya itu juga beberapa kali dibawakan saat tampil di ajang tari di Bojonegoro.
Betty dan kelompok karawitan di kampungnya juga terus mengembangkan kesenian tari tradisional. Saat ini ia dan teman-temannya sedang memperjuangkan agar ada pusat kesenian tari tradisional di Bojonegoro.
“Sekarang ini di Bojonegoro sedang berkembang menjadi kota industri minyak dan gas bumi. Tetapi, jangan sampai kesenian dan kebudayan lokal menjadi hilang karena geliat industri itu,” ujarnya.
Sementara itu menurut Parmawati, pegiat seni tari tradisional yang tergabung di komunitas Langit Tobo, mengungkapkan, kesenian tari tradisional memang saat ini mengkhawatirkan. Sebab, kata dia, banyak anak muda yang mengadopsi kebudayaan barat tetapi mengacuhkan kebudayaan dan kesenian tradisional.
Tidak heran, kata dia, ketika generasi muda tidak peduli dengan kekayaan kesenian dan kebudayaan tradisional maka lambat laun kekayaan seni budaya itu akan hilang. Selain itu, kata dia, kesenian dan kebudayaan tradisional itu juga rawan diklaim oleh negara lain apabila masyarakat sendiri tidak mau melestarikan dan melindunginya.
“Sudah saatnya generasi muda sekarang lebih peduli dengan kesenian dan kebudayaan tradisionalnya,” ujarnya. (mol/kik)