Angka Kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro
Wakil Bupati: APBD Besar, Tapi Kemiskinan Tak Bergeser
Selasa, 26 Juli 2016 14:00 WIBOleh Muliyanto
Oleh Muliyanto
Kota - Ada yang menilai sejak tahun 2010 penanganan kemiskinan di Bojonegoro melambat dan cenderung stagnan. Ini dilihat dari banyaknya program yang kurang tepat, baik lokasi maupun sasaran, juga masih lemahnya sinergi antar lintas sektoral.
Seandainya kabupaten ini diurus dengan benar maka akan tuntas. Dulu Bojonegoro adalah daerah miskin nomor 5 di Jawa Timur karena APBD-nya kecil, kini sudah meningkat. Hanya saja kemiskinan masih menjadi masalah kronis. Pengentasan kemiskinan melambat karena kebijakan yang salah.
Demikian disampaikan Wakil Bupati Bojonegoro Setyo Hartono dalam sambutannya saat membuka Rapat Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan serta peluncuran Sistim Pemantauan Kemiskinan Berbasis Gerakan Desa Sehat dan Cerdas (GDSC) Bojonegoro di Hall Hotel Griya Dharma Kusuma, Jalan Trunojoyo, Selasa (26/07) pagi.
Baca berita: Pemkab Bojonegoro Luncurkan Sistem Pemantauan Kemiskinan Berbasis GDSC
"Tata cara SKPD yang dapat bantuan dari APBN maupun APBD masih seperti itu, maka kemiskinan masih terjadi. Bantuan harus bersinergi, terukur," tegasnya.
Sehebat apa pun program, imbuh Wabup, jika implementasi tidak tepat, maka jangan harap berhasil. Bantuan yang digulirkan selama ini jatuh pada itu-itu saja. Bantuan yang diberikan ke desa minimal kades atau camat harus tahu, sehingga memudahkan pemantauan. "APBD besar, bantuan banyak, namun kemiskinan tak bergeser," ujar Wabup.
Berdasarkan data dari BPS bahwa lima daerah terbaik pengelolaan kemiskinannya, yakni Kota Batu, Malang, Kabupaten Madiun, Kota Surabaya, dan Kabupaten Sidoarjo. "Jangan sampai kita kalah dengan kabupaten tetangga, seperti Blitar dan Nganjuk. Ini adalah data yang direlease oleh BPS. Kinerja kita harus maksimal," pesan Setyo Hartono.
Pada akhir sambutan, Wabup menekankan beberapa hal. Pertama, bantuan yang diterimakan dari APBN utamanya tepat sasaran dan bantuan tidak tersentral. Kedua, data harus riil jangan dimanipulatif hanya untuk menyenangkan pimpinan, baik bupati maupun wakil bupati. Ketiga, lihat terus sudah betulkah kinerja dan sudahkah tepat sasaran.
"Penurunan kemiskinan diukur dengan berkurangnya jumlah penduduk miskin, bukan sekedar angka. Yang penting adalah kita melakukan introspeksi diri, melakukan evaluasi, dan membuka akses bagi orang yang berpotensi," ungkapnya.
Terakhir, Setyo Hartono berharap, semua elemen SKPD, kecamatan, dan desa, selalu cepat mengupdate data kemiskinan di wilayahnya. "Kalau ini dilakukan, nanti semua bisa tahu kecamatan mana yang kerjanya lambat," pungkasnya. (mol/tap)