Pertunjukan Masegit karya Roka Teater
Membaca Kehidupan Madura Melalui Pertunjukan Masegit
Minggu, 04 September 2016 08:00 WIBOleh Mohammad Tohir
Oleh Mohammad Tohir
Adegan The Last Supper atau Perjamuan Terakhir menjadi pembuka pertunjukan Masegit karya Roka Teater dari Yogyakarta, Minggu (28/08/2016) di Gedung Budaya Cak Durasim Surabaya. Adegan ini juga menjadi penutup pertunjukan penuh simbol ini.
Dalam The Last Supper kali ini, bukan Yesus yang tengah berdiri dikelilingi para pengikutnya di sana. Melainkan seorang kiai yang dikelilingi para santrinya. Dan bukan makanan dan anggur yang tersaji pada meja perjamuan, melainkan tulang belulang dan tengkorak sapi, binatang yang begitu dekat dengan masyarakat Madura.
Pertunjukan Masegit ini merupakan sajian penutup dari Parade Teater Jawa Timur 2016 yang digelar pada beberapa malam sebelumnya. Parade teater tahun ini, banyak diwarnai oleh kelompok teater asal Madura. Kelompok Roka Teater sendiri meskipun bermukim di Yogyakarta, didirikan dan diisi oleh para seniman asal Madura.
Masegit adalah bahasa Madura untuk masjid. Roka Teater lewat pertunjukan ini ingin menunjukkan bahwa begitu pentingnya masjid bagi masyarakat Madura. Di Indonesia, Jawa khususnya, ada dua jenis masjid. Masjid besar yang biasa digunakan untuk salat Jumat dan masjid kecil atau yang biasa disebut surau atau langgar. Yang langgar atau surau ini tidak bisa dipakai untuk salat Jumat, ibadah mingguan umat Islam. Namun, yang pasti keduanya memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat. Masjid atau Masegit merupakan keriuhan dimana segala aktivitas manusia Madura sangat dekat dengannya. Hampir segala persoalan selalu disandarkan pada masjid dan sesuatu yang dekat dengannya, sebut saja kiai atau ulama. Sebelum dan sesudah laku kebudayaan orang Madura, konsultasinya adalah kepada kiai.
“Bukan bangunannya saja yang penting. Melainkan juga segala aktivitas yang berhubungan dengan masegit,” kata Sohifur Ridho Ilahi, sutradara Masegit.
Menurutnya, Pertunjukan Masegit merupakan sebuah usaha untuk melihat dan memapar kenyataan atas isu-isu sosial dan kebudayaan yang pernah dan tengah berlangsung di Madura.
Masegit melibatkan banyak tokoh dan telah melalui proses yang cukup panjang dan cukup serius sebelum siap dipertunjukkan. Dimulai bulan April lalu, Roka Teater menggelar rangkaian diskusi untuk membahas isu-isu sosial yang telah dan tengah terjadi di Madura. “Masegit ini melibatkan banyak pihak, sejarawan, penyair, perupa, peneliti, juga riset buku-buku yang memapar Madura. Kami diskusi tidak hanya sekali dua kali. Kami menampung segala masukan dari banyak orang,” kata Ridho menerangkan.
Seniman-seniman yang terlibat antara lain Abdul Ghafur, Efendy Mazila, Eka Wahyuni, Habiburrahman, Neneng Maryam, Radha Puri, Imam Syaifurrahman, Suvi Wahyudianto, Giyarian Harik, Oong M. Pathor.
Mereka terlibat begitu aktif dan penting dalam lahirnya Masegit. Misalnya, adegan seperti The Last Supper seperti disebut di awal tadi, merupakan ide seorang perupa asal Bangkalan Suvi Wahyudianto. Pada awal tahun lalu, Ridho menceritakan, Suvi menggelar pameran tunggal bertajuk Homo Sapirnis. Di pameran itu, salah satunya, Sivu memamerkan karya berupa tulang belulang sapi, binatang yang akrab di masyarakat Madura itu. “Di situ ingin dikatakan bahwa sapi yang kita agung-agungkan itu, dagingnya kita makan. Dan sapi itu siapa? Kita sendiri,” kata Ridho mengulang paparan Sivu saat pameran.
Itu adalah salah satu yang ingin ditunjukkan pertunjukan Masegit kepada masyarakat Madura, juga masyarakat lainnya di luar Madura tentu saja. Dan yang lebih penting lagi, kata Ridho, dia ingin bahwa pertunjukan ini tidak hanya tehenti sebagai sebuah pertunjukan. Melainkan bisa menjadi refleksi bagi pelaku dan penontonnya. Masyarakat diharapkan dapat menangkap sesuatu dari wacana dan isu-isu yang mereka temukan di masyarakat, selanjutnya menjadi bahan refleksi bersama dalam melihat kenyataan sosial kita.
“Teater ini selain sebagai sebuah pertunjukan, juga berfungsi sebagai sebuah alat baca. Alat untuk membaca realitas masyarakat kita,” kata Ridho mempertegas.
Sebagai sebuah alat, ada hal-hal yang tak selesai di dalamnya. Banyak adegan yang justru berupa sebuah pertanyaan. Misalnya, ada adegan para tokoh melambai-lambaikan gayung yang melambangkan para orang di sekeliling masegit di Madura, kerap sekali meminta sumbangan untuk pembangunan masjid. “Pekerjaan rumah kita adalah mempertanyakan sebenarnya untuk apa kita meminta-minta itu. Untuk mengajak seluas mungkin masyarakat untuk beramal atau justru menunjukkan bahwa kita sebenarnya tidak mampu membangun masjid tetapi memaksakan diri,” kata Ridho menjelaskan.
Pertunjukan yang berlangsung selama sekitar 60 menit ini adalah penerima anugerah Yayasan Kelola 2016, yang selain digelar di Gedung Cak Durasim pada 28 Agustus, juga di Auditorium STAIN Pamekasan, Madura pada 03 September kemarin.
Afrizal Malna, komite teater Dewan Kesenian Jakarta, yang juga hadir saat pertunjukan di Cak Durasim , pagi ini menulis di Jawa Pos tentang teater Madura yang cukup mewarnai pentas teater nasional saat ini. Menurut Afrizal, teater seperti yang tengah dipertunjukkan salah satunya Roka Teater, tengah membawa medan baru dalam teater. Yakni kecenderungannya menggunakan tubuh lokal, bukannya tubuh urban atau budaya kota yang lebih banyak mewarnai teter modern Indonesia saat ini. “Sebuah pos teater modern Indonesia. Bahwa teater Indonesia tidak ada dalam arti platform yang harus diikuti. Yang ada adalah berbagai kemungkinan tetaer yang digali dalam lingkungan lokalitas dengan mata rantai budaya masing-masing sebagai laboratorium utamanya,” demikian tulis penulis buku Sesuatu Indonesia itu.(*/moha)
Kredit foto: dokumentasi Asri