Dolan ke Rumah Bu Rukini
Buta Huruf, Abdikan Diri untuk Siter dan Nyinden
Rabu, 14 Oktober 2015 18:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh Nasruli Chusna
Padangan - Perempuan paroh baya bertubuh kecil itu tampak gayeng menyulut kretek. Di ruangan berukuran 3 X 3 meter, dia asyik sendiri bersila sembari menikmati gending-gending Jawa.
Gending Jawa dari sebuah radio itu beberapa kali membuat kepalanya bergoyang-goyang. Kretek dan beberapa barangnya segera dia rapikan ketika mengetahui kedatangan BeritaBojonegoro (BBC) siang hari ini, Rabu (14/10).
Perempuan itu adalah Rukini (58). Hampir seluruh hidupnya dia abdikan untuk bermain siter (salah satu jenis Kecapi) dan nyinden.
Untuk bisa sampai ke rumah Rukini, harus melewati lorong kecil terlebih dahulu. Lorong tersebut ada di belakang masjid Desa Kuncen yang akan tembus ke sungai Bengawan Solo. Rumahnya berdiri pada tebing di tepi sungai. Bengawan Solo membentang indah di bawahnya.
Rumah Rukini yang terbuat dari papan dan bercat biru itu tidaklah besar. Di salah satu bagian samping rumahnya, terdapat kandang kambing. Kambing tersebut merupakan peliharaan suaminya.
Perempuan kelahiran Sragen tersebut mempersilakan BBC masuk ke kediamannya, Desa Kuncen, Kecamatan Padangan. Di rumahnya, dia tinggal bersama sang suami, Asmuji. Sementara kedua anaknya kini telah merantau ke berbagai daerah. Bermain kecapi dan nyinden, kata dia, telah akrab pada dirinya sejak usia 10 tahun.
“Wah, kurang tau ya. Saya sendiri ini buta huruf. Jadi belajarnya seperti alamiah saja,” kata nenek bercucu tiga itu, didampingi suaminya.
Bagi Rukini, siter merupakan teman sekaligus alat penyambung nyawa. Selain dari panggung ke panggung, dia juga kerap kali ngamen ke jalan-jalan, dari pintu ke pintu. Dia mengaku tidak keberatan menggendong siter dengan berat hampir 5 kilogram itu. Semuanya dia lakukan demi mencari sesuap nasi. Dalam sehari, lewat nyiter dan nyinden keliling, uang sebanyak Rp 80 hingga 100 ribu dapat diraihnya. Sedangkan sang suami kesehariannya hanya menggembala kambing. Dari situ pula akhirnya dia tak hanya mahir bermain siter, melainkan juga nyinden.
Dari berkesenian di bidang musik tradisional itu pula, Rukini dapat mengunjungi berbagai kota, khususnya di Pulau Jawa. Mulai dari Ngawi, Blora dan Yogyakarta pernah dia singgahi untuk mengiringi gending-gending Jawa yang dibawakan oleh para sinden. Tak jarang, ungkap dia, beberapa seniman baik dari Bojonegoro maupun sekitarnya menyempatkan singgah ke rumahnya untuk minta diiringi selama membaca gurit atau gending.
“Selain keliling di Bojonegoro, pernah main juga di Pendapa Kabupaten. Waktu itu diundang sama Pak Bupati (Suyoto),” imbuhnya mengenang.
Untuk mengundang kehadirannya, Rukini mengaku tidak pernah mematok tarif. Berapapun yang diberikan oleh pengundang akan dia terima. Selain itu, baginya, bermain siter dan nyinden merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya. Khususnya budaya musik Jawa yakni karawitan dan gending. Bahkan, menurut hematnya, sopan santun antara orang yang mempelajari budaya Jawa dengan tidak, akan sangat nampak berbeda.
“Dari sopan santun dan tindak-tanduk orang yang tau adat dan budaya, pasti beda. Mereka yang tidak mau belajar budaya biasanya nggak njowo,” tukasnya mantap pada BBC. (rul/moha)