Catatan Perjalanan
Penderitaan Sepanjang Jalan Menuju Api Abadi
Minggu, 18 Oktober 2015 08:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Ngasem - Taruhlah api abadi Kahyangan Api adalah neraka, maka perjalanan menuju ke sana adalah sebuah penderitaan. Tidak bermaksud lebay sih, tetapi itulah yang saya rasakan saat berkunjung ke sana kemarin, Sabtu (17/10), saat matahari sedang beranjak naik. Namun, jangan diartikan penderitaan itu tidak bermakna apa-apa. Meski menderita, saya bahagia.
Tulisan ini saya maksudkan sebagai catatan perjalanan, selain agenda peliputan sebuah gladi bersih kemarin (17/10) untuk hajat rutin tahunan Pengambilan Api Abadi, Senin besok (19/10).
Bayangkan saja, sudah panas tersengat matahari musim kemarau, menuju tempat yang panas pula. Panas dari sebuah api. Api yang belum pernah padam. Api abadi. Begitulah memang Kahyangan Api menerima takdirnya.
Kahyangan Api adalah maskot kita, Bojonegoro. Yang namanya maskot, dia mempunyai kesan dekat dan melekat. Jadi, kalau disebut kata Kahyangan Api, yang muncul dalam benak seseorang adalah Bojonegoro. Orang se-Bojonegoro bisa tidak terima misalnya saja Kahyangan Api dikatakan bukan milik kita, tetapi milik Arab Saudi misalnya. Atau tidak usah jauh-jauh, milik kabupaten tetangga misalnya.
Meski demikian, mungkin bagi orang Bojonegoro maskot ini terasa biasa. Tidak ada yang istimewa dari Kahyangan Api. Ia tak ubahnya api unggun yang disulut oleh anak-anak pramuka di hari terakhir berkemah. Hanya saja ia tak padam. Hanya saja ia bernama melangit. Memangnya siapa yang pernah ke kahyangan? Kalau bukan dewa. Sedangkan saya sendiri bukanlah dewa.
Bersama dua kawan saya, kami menebalkan niat, ayo kita ke tempat para dewa. "Dewa penjaga neraka," timpal kawan saya. Keringat di wajahnyanya sudah berbulir-bulir. Dan kamipun berangkat.
Tidak sulit menemukan lokasi Kahyangan Api. Tidak perlu naik awan kintonnya Sunggokung dalam serial Kera Sakti. Karena kahyangan ini tidak ada di langit, melainkan di bumi. Bumi Bojonegoro, Kecamatan Ngasem, ikut desa Sendangharjo Kalau Anda naik motor seperti kami, bila dimulai dari Bojonegoro Kota, paculah motor Anda menuju arah selatan. Jangan belok kemana-mana sebelum sampai Pasar Dander. Pasar Kecamatan itu ada di sebuah sudut pertigaan. Ada tugu berdiri di tengah pertigaan itu. Beloklah ke barat. Teruslah pacu motor Anda ke barat. Anda akan melewati dua desa, Dander dan Ngunut. Setelah habis dua desa itu, Anda akan masuk kawasan hutan. Kahyangan api ada di tengah hutan nanti.
Nampak pohon jati di kanan kiri jalan kering kerontang. Daunnya meranggas. Kasihan mereka. Lama tidak diguyur hujan. Menggambarkan sebuah kumpulan pohon tanpa daun tentu saja sangat buruk sekali. Saya sungguh kesulitan mejelaskan.
Tidak cukup sulit menemukan lokasinya. Sebab nanti akan memasuki sebuah pintu gerbang besar. Ada tulisan "Kahyangan Api" pada gerbang masuk terbuat dari bata bercat warna hitam itu. Anda cukup percaya bahwa itu bukan main-main dan bohongan. Masuklah dan turuti saja jalan itu. Arahnya ke selatan. Kita sedang masuk ke jantung salah satu wilayah hutan Bojonegoro sekarang. Meskipun hutan sedang menderita kekeringan.
Sepanjang perjalanan saya merasa jengkel sendiri melihat hutan seperti itu. Andai saja hutan adalah rambut di kepala, maka ia adalah rambut yang tak pernah dikeramasi dan sering kena asap pula. Entah asap rokok atau asap obat nyamuk ataupun asap yang lainnya. Saya merasa seperti itu masuk ke kedalaman hutan ini.
Ditambah lagi, beberapa titik jalan menuju ke sana nampak rusak. Ada yang berlubang, ada yang pecah-pecah mlethek. Lubangnya bukan cuma sebesar mulut cangkir kopi. Melainkan sebuah kubangan yang bisa dibuat sembunyi seekor rusa. Entah mengapa jalan menuju maskot Kabupaten kok begitu. Saya gagal faham. Beberapa pekerja nampak memperbaiki beberapa kubangan itu.
Mereka nampak gugup seperti dikejar waktu. Dan memang mereka sedang dikejar waktu. Pasalnya, Senin besok, Kahyangan Api bakal ramai. Ada hajat tahunan Bojonegoro yang digelar di Kahyangan Api. Yakni dalam rangka peringatan Hari Jadi Bojonegoro ke-338. Akan ada pengambilan api dari Kahyangan Api untuk dibawa ke Bojonegoro Kota, ke Pendapa Pemkab Bojonegoro. Api itu akan dibawa oleh 2 petugas yang sudah ditunjuk secara resmi. Mereka akan berlari sejauh 17 kilometer. Tentu saja jangan sampai mereka terjungkal masuk ke kubangan. Karenanya jalan harus diperbaiki. Kalau tidak ada hajatan tersebut, mungkin juga tidak diperbaiki. Mungkin. Entahlah, saya kok berpikiran buruk.
Karena geram, sesampainya di tempat, saya sampai mengadu kepada Kapolsek Ngasem mengenai itu. Saya tanyakan tentang pembenahan jalan itu. Dia membenarkan ternyata. Kapolsek Ngasem termasuk orang yang akan sibuk ikut mengurusi hajatan besok Senin itu. Dia mengatakan memang belum lama pengerjaan itu.
"Perbaikan jalan itu baru dimulai dua hari yang lalu," kata AKP Subarata, nama Kapolsek Ngasem itu.
Semakin dekat lokasi, jalanan nampaknya semakin membuat menderita saja. Jalanan itu bukan lagi aspal. tetapi paving. Tapi ya begitu, paving banyak yang berongkat dari tatanannya. Saya kuatir terhadap ban motor saya robek kena tepian paving yang nampaknya tajam itu. Berlebihan memang, tapi itulah yang saya rasakan.
Akhirnya tidak lama kemudian sampai juga. Saya bersama kawan-kawan saya merasa lega. Kami tersenyum seperti selesai mengerjakan PR Matematika. Kahyangan Api sudah beberapa langkah di depan kami. Dia seperti menunggu kedatangan kami.
Tapi, ternyata kegeraman itu belum selesai. Kami kaget saat memarkir kendaraan kami. Sebab, tarif parkir yang dikenakan tidak biasa. Seperti tarif untuk mobil saja. Rp 8.000 untuk 1 kendaraan, sepeda, tentu saja ugal-ugalan. Kami sempat kaget dan tidak percaya. Tapi karena tidak mau ribut, kami menurut saja. Tapi, karena tidak punya uang seribu, saya cuma bayar Rp 7.000. Tidak apa-apa ternyata. Lumayan.
Memang, khusus hari kemarin dan pada hari H besok senin, tarif masuk lokasi wisata ditiadakan. Tapi tarif Rp 8000 masih membayang di pikiran kami.
Saat kami tiba, Kahyangan Api nampak ramai. Gladi bersih untuk acara Senin besok sudah dimulai. Ada beberapa anggota polisi, wisatawan, muda-mudi, jurnalis, budayawan, seniman, penanyai, pelajar dan lainnya lagi. Mereka nampak gigih mempersiapkan segala sesuatunya. Agar acar besok sukses.
Akhirnya kami bisa mendekati api abadi itu. Panas memang. Ditambah lagi kemarau. Sepanjang perjalanan saya banyak menggerutu dan merasa menderita. Mungkin penderitaan itu terkesan mengada-ada dan lebay sekali. Tapi tetap saja, meskipun kecil sekali, itu menjadi masalah yang tidak bisa dianggap sepele.
Tapi sudahlah, setelah apa yang kami tuju hadir nyata di depan kami, derita itu tidak lagi sepenuhnya derita. Kahyangan Api seperti punya kekuatan untuk meredam rasa kesal dan amarah. Saya jadi teringat kalimat pembuka salah satu novel karya Paulo Coelho (penulis Brazil), tetapi saya ganti begini, "Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke api, maka kepedihan dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku pun melupakan semuanya."
Alam dengan segala kemegahannya telah melipur penderitaan kami. Alam ciptaan Sang Agung memantik rasa bahagia dalam dada. Mahakarya yang sama sekali bukan rekayasa manusia. Dan itu bukan api abadi sebagaimana neraka. Api abadinya berpotensi berkah dan keindahan.
Yang sedang terbentang di depan kami adalah aset Bojonegoro. Maskot Bojonegoro yang tidak dimiliki oleh daerah lain atau bahkan negara lain. Tentu saja semua berharap agar ada penanganan lebih serius lagi dari Pemerintah. Sehingga Kahyangan Api bisa benar-benar menjadi tujuan wisata yang layak. Sebab, mau wisata ke mana lagi kalau bukan ke Kahyangan Api... (ver/ moha)