Wanto, Si Perajin Tampah asal Ngraho
Hasil Tak Seberapa, Tapi Cukup Untuk Sekolahkan Enam Anak
Senin, 01 Februari 2016 16:00 WIBOleh Mulyanto
Oleh Mulyanto
Ngraho - Rumah Wanto (53) agak masuk ke dalam, melewati banyak belokan dan gang. Rumah sederhana berdinding kayu itu berada di RT 07 RW 02, Dusun Sale, Desa Sumberarum, Kecamatan Ngraho. Dalam kesederhanaan itulah, Wanto dan keluarganya mampu memproduksi tampah dan barang-barang dari anyaman bambu lainnya.
Ditemui beritabojonegoro.com (BBC) di rumahnya, Wanto mengaku, sudah 25 tahun menjalani kehidupan sebagai pembuat barang-barang dari anyaman bambu, seperti tampah, irik, ikrak, gedek, kepang, kaliyan (yan), dan jenis barang lainnya.
“Ya apa saja kami bikinkan, kalau ada pesanan. Tapi yang biasa sehari-hari ya itu tadi,” kata Wanto ditemani istrinya, Jumiatun (50).
Wanto mengungkapkan, industri rumahan yang ditekuninya sudah turunan dari orang tuanya dulu. Dia dan istrinya yang meneruskan. “Mereka orang tuanya istri. Saya kan menantu. Jadi turun menurun. Meskipun saya sudah mulai menganyam itu sejak masih sekolah,” katanya.
Ditanya bagaimana proses pembuatan barang-barang yang mulai langka digunakan di perkotaan karena tergantikan barang dari plastik itu, Wanto mengatakan, membuatnya butuh kesabaran tinggi. “Kami bikinnya manual. Pakai tangan. Cuma pas proses akhirnya saja yang pakai alat dari kayu jati. Ngayamnya dan juga membuatnya satu-satu, njelimet, kalau nggak sabaran nggak bisa. Anak saya itu juga nggak bisa, nggak betah,” kata dia.
Untuk mendapatkan bahannya, yakni bambu, Wanto harus membeli. Tidak sembarang bambu bisa digunakan, melainkan harus yang bagus, seperti pring apus. Rimbun bambu di depan rumahnya bahkan tidak bisa dipakai. Biasanya beli sampai ke Kecamatan Tambakrejo, seperti Desa Napis dan Ngrejeng. Bahkan ada yang sampai masuk hutan bertebing.
“Ada itu pas beli tempatnya di daerah bertebing. Jalannya jelek. Sampai mobil pengangkut rusak. Nggak bisa diangkut deh,” kenang dia.
Wanto mengaku sering didatangi tamu dari banyak kalangan. Dari mereka ada yang menawarkan bantuan modal, belajar cara membuat, memborong, atau sekadar bertegur sapa. “Ada yang nawarin bantuan, entah dari mana, tapi sampai sekarang nggak ada tuh. Ada juga pelajar atau mahasiswa, untuk belajar dan penelitian. Saya senang kalau ditemui seperti ini,” ungkap dia.
Setiap hari Wanto dan istri bisa menghasilkan 5 buah barang anyaman, dari jenis yang berbeda. Tergantung bahannya ada atau tidak. Sebab tidak semua bambu yang ada siap digunakan, harus dijemur dulu sampai kesat. Setiap hari pasaran, Kliwon dan Pon, ada tengkulak yang mengambil. “Itu sudah pasti, ada yang mengambil. Ada juga pesanan sampai Blora, Cepu, dan Tuban,” terangnya.
Dia memberi harga untuk barang-barang karyanya mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 40.000, tergantung jenisnya. “Yang paling banyak dibuat dan dibutuhkan orang adalah tampah. Tapi yang paling mahal itu yang jenis kaliyan. Biasa disebut yan, sudah jarang ini. Lebih besar dan rumit membuatnya,” ujarnya.
Sebenarnya hasilnya tidak seberapa, kata Wanto, kalau dihitung semua belanja bahan dan tenaganya. Tapi Wanto bersyukur hasil usaha bersama istrinya itu bisa mencukupi kebutuhan keluarga.
“Saya ini kaya lho. Anak saya enam. Sudah pada jadi orang. Sudah selesai sekolah semuanya. Sudah pada kerja, tinggal satu, yang terakhir, yang masih sekolah kelas dua,” pungkasnya sambil mempersilakan BBC menyeruput teh hangat suguhannya. (mol/tap)
*) Foto Wanto sedang membuat tampah