Perajin cobek, Dari Bahan Batu Alam ke Bahan Sintetis
Sabtu, 01 Agustus 2015 12:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh: Nasruli Chusna
Kota- Seperti kita ketahui, sambal sudah menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Entah sebagai pelengkap, maupun hidangan utama pada menu-menu tertentu. Meski mesin tumbuk telah menjamur, namun sambal tumbukan menggunakan cowek diakui lebih mantap dan terasa. Seperti halnya diungkapkan Koyo, produsen cobek dan ulegan, di Kelurahan Jetak RT 2 RW 1.
Pada bengkel berukurang 2,5 X 4 meter, Koyo ditemani anak dan saudaranya tengah memproduksi cobek. Pada satu pojok ruangan terdapat alat bubut yang masih manual. Sementara pada sisi ruangan lain tampak cangkul dan cekungan ke dalam tanah berbentuk oval. Katanya untuk mengaduk semen dan pasir. Selain cobek dan ulegan, Koyo juga memproduksi lesung serta tumbukannya. “Sekali produksi biasanya 100 hingga 175 lebih. Tergantung permintaan tengkulak, kita di sini cuma membuat,” terang pria asli Kebumen, Jawa Tengah tersebut.
Koyo mengaku sejak kecil sudah menggeluti kerajinan berbahan baku utama batu tersebut. Karena merupakanwarisan turun-temurun dari bapak dan kakeknya. Kota asalnya, Kebumen, memang terkenal dengan kerajinan batu alamnya. Dan sejak dulu persediaan batu alam di sana, terang Koyo, memang sangat melimpah. Sehingga masyarakat tak perlu khawatir dengan persediaannya.
Awal mula memproduksi cowek di Bojonegoro Tahun 1991, ia masih mendatangkan batu alam dari Kebumen. Hal tersebut ternyata tak dapat bertahan lama. Karena sejak tahun 1999-an, jelas Koyo, persediaan batu dari Kebumen kian menipis. Sebab itu sejak tiga tahun lalu ia memproduksi cobek dan ulegan menggunakan semen atau dengan sistem cor. Prosesnya adalah dengan membuat alat cetaknya terlebih dahulu. Baru kemudian adonan semen dan pasir dimasukkan.
“Setelah dirasa kuat baru kemudian dijemur. Cobek yang baru dikeluarkan dari cetakan masih berwarna mentah. Di samping itu permukaannya juga masih kasar. Jadi terlebih dulu harus kita haluskan dan pada proses finishingnya kita beri pewarna. Warna yang kita gunakan ya menyerupai cobek batu beneran. Dan saya jamin kualitasnya juga tak kalah dengan yang asli,” imbuhnya.
Dengan logat Jawa Tengahnya Koyo mengungkapkan tiap bulan ia dapat memproduksi 700 hingga 1000 cobek dan ulegan. Selain ke Bojonegoro, pengiriman ia lakukan ke Rengel, Tuban, Rembang dan Blora. Sedangkan ketika ditanya harga, menurutnya cukup beragam berdasarkan ukuran diameternya. Cobek berukuran kecil (diameter 7 cm) dihargai 10 ribu. Sedangkan cowek berukuran sedang (diameter 15 cm) seharga 15 ribu dan besar (diameter 20 cm) biasa dijual dengan harga 20 ribu.
Pada beritabojonegoro.com, Koyo mengungkapkan bahwa cobek buatannya pernah diikutkan pada even Bojonegoro expo tahun lalu. Namun yang paling diharapkannya saat ini adalah terbukanya akses modal agar usahanya berjalan lancar. “Kalo dananya ada dan lancar, kita bisa memproduksi dan menyetok barang. Kalau sekarang kan saya baru memproduksi setelah ada permintaan dari para tengkulak,” paparnya. [rul]