Perajin Tahu di Sukosewu Manfaatkan Teknologi Uap
Senin, 24 Agustus 2015 20:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Sukosewu - Beberapa teknologi uap memang sudah ada sejak dahulu. Mesin uap ditemukan saat abad ke-17 di Eropa. Tepatnya 1698 saat kelahiran James Watt. Namun Watt lah yang menyempurnakan oleh kondensasi mesin uapnya dan dipatenkan tahun 1769.
Di Bojonegoro, diketahui bahwa ada pabrik yang masih menggunakan teknologi uap ini yaitu di Desa Klepek RT 06 RW 01 Kecamatan Sukosewu. Pemiliknya adalah Yasin, yang sudah bertahun-tahun menjalani usaha ini. Saat wartawan BBC, sapaan akrab Beritabojonegoro.com, datang ke rumahnya, Yasin sedang tidak ada di rumah karena harus periksa kesehatan (medical check up).
Rumahnya sederhana, dengan desain rumah joglo. Dengan ruang pertama yang luas. Namun kegiatan pembuatan pabrik ada di belakang. Begitu memasuki ruang produksi, rasa gerah akan menyergap tubuh. Belum lagi aroma olahan kedelai yang menyengat. Ada sekitar tujuh wadah untuk menampung dan memasak cairan bakalan tahu.
Para pekerja yang sekitar enam orang ini sibuk dengan kegiatannya masng-masing. Saking panasnya, mereka tidak memakai baju atau bertelanjang dada. Ada yang sedang mengurus perapian, ada yang menyaring kedelai, memindahkan tahu dari kotaknya.
Di tempat terpisah, ada tong air yang direbus dengan uap yang terus mengepul. Di bagian atas tong tersambung paralon yang menyambung ke wadah penampungan. Dengan masing-masing bagian paralon terdapat kran untuk mengatur keluar masuknya uap.
Menurut M. Ayub, selaku mantu dari Yasin menjelaskan keuntungan menggunakan teknologi ini ketimbang direbus manual."Menggunakan uap ini lebih cepat daripada manual. Dan bahan bakarnya juga mudah didapat seperti sekam, bonggol jagung, ataupun kayu bakar," jelas Ayub.
Untuk kedelainya sendiri, Ayub masih memperoleh kedelai lokal yang sudah tidak ada di pasaran. Dengan kisaran harga Rp 6.500 per kilogram. Ayub mendapatkan pasokan kedelai lokal dari desa-desa. Namun menurutnya hasil kedelai lokal dengan kedelai impor lebih bagus kedelai lokal. “Kami tidak mematok harus menggunakan kedelai impor, yang penting kualitasnya bagus. Namun hasil tahu memang lebih bagus kedelai impor, lebih putih warna tahunya,” ujarnya.
Di pabrik ini tidak hanya dirinya yang memproduksi tahu, tetapi ada orang lain yang menggunakannya. Bila dirinya setiap hari hanya memproduksi satu kuintal kedelai, yang lain bisa lebih. Bila dijumlahkan semuanya kedelai yang diolah di sini bisa lebih dari satu ton. Dengan kepemilikan yang berbeda-beda. Para penyewa alat produksi pabrik milik Yasin cukup membayar Rp 3.000 per kotak tahu yang dihasilkan. Tetapi minimal memproduksi sepuluh kotak.
Dengan menggunakan teknologi uap air ini, Ayub menambahkan kalau hasil tahunya tidak berbau sangit dan teksturnya lebih padat dan rasanya tentu lebih enak daripada tahu yang diproses manual. (ver/kik)