Tradisi Colokan Malem Sanga
Colok Kalbu Untuk Menjemput Lailatul Qadar
Minggu, 03 Juli 2016 19:00 WIBOleh Muliyanto
Oleh Muliyanto
TRADISI Colokan termasuk salah satu tradisi khas bulan puasa di Jawa. Tradisi ini lebih dikenal di masyarakat pedesaan, tak terkecuali di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Nilai kesakralan tradisi ini sangat kental terutama di masyarakat Kejawen.
Biasanya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat pedesaan Jawa untuk menandai datangnya maleman, yaitu malem selikur (waktu berbuka saat puasa dihari ke-20) dan malem songolikur (waktu berbuka saat puasa sampai hari ke-28).
Menurut Mohammad Tohir (56), salah satu kiai di Desa Mori Kecamatan Trucuk, Tradisi Colokan dapat dikaitkan dengan keberadaan Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Jawa. Lebih khusus, tradisi ini tidak lepas dari cara dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga.
Dalam upacara maleman sebenarnya juga terdapat satu aktivitas, yaitu membakar Colok di pojok-pojok rumah. Colok dibuat dari potongan kayu-kayu kecil dan salah satu ujungnya dibalut kain lalu dicelupkan ke minyak tanah. Colok tersebut kemudian dibakar dan ditancapkan tanah.
"Sayangnya Tradisi Colokan tersebut kini tidak lagi dilakukan di semua desa, hanya mungkin sebagian desa yang masih Kejawen. Colokan sebagai pertanda peringatan malem-malem Lailatul Qadar. Berbeda dengan upacara Megengan yang masih dilestarikan di kalangan masyarakat pedesaan," tutur Kiai Tohir.
Salah satu warga Trucuk, Mujiati (35), menjelaskan, Tradisi Colokan secara makna dapat dijabarkan, colok mengandung makna mencolok hati atau kalbu terutama menghadapi bulan Ramadan. Orang diingatkan kembali tentang pelaksanaan puasa, khususnya menjelang malam diturunkannya Lailatul Qadar.
"Jadi sesungguhnya colok mengandung makna simbolik bahwa dihari menjelang malam Lailatul Qadar, maka semua hati ditujukan agar ingat tentang malam yang sangat disakralkan itu," jelasnya.
Itu artinya, lanjut Mujiati, umat muslim agar menjadi ingat bahwa puasa sudah memasuki hari-hari penting. Sepertiga terakhir bulan puasa yang disebut saat maghfiroh atau ampunan Allah diberikan kepada umat muslim.
Dia menambahkan, berbagai tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa terutama yang terkait dengan puasa, hakikatnya adalah sebagai upacara untuk melakukan introspeksi diri. Tentunya mawas diri di tengah nuansa ampunan dan keselamatan yang sesungguhnya menjadi keinginan mendasar umat manusia. (mol/tap)
*) Foto ilustrasi dari kanaljogja.com