Pandangan Tentang Badal Haji
Minggu, 28 Agustus 2016 14:00 WIBOleh Sholikhin Jamik *)
*Oleh Sholikhin Jamik
BADAL Haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji. Namun orang tersebut berhalangan sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah haji tersebut diserahkan kepada orang lain.
Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat Alquran yang menjelaskan bahwa seseorang hanya akan mendapat pahala dari hasil usahanya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam beberapa surat Alquran, di antaranya:
Surat An-Najm ayat 38- 39:
Artinya: "(yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."
Surat Yasin ayat 54:
Artinya: "Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan."
Sementara dalam beberapa hadits Nabi Muhammad SAW ada yang menerangkan bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya. Atau, seseorang dapat melaksanakan haji untuk saudaranya. Hal ini ditegaskan dalam beberapa hadits, yaitu:
Hadits riwayat Muslim:
Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya."
Hadits riwayat al-Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas:
Artinya: "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Seseorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dan ia berkata: ‘Saudara perempuan saya bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia.’ Kemudian Nabi SAW bersabda: ‘Bagaimana kalau saudara perempuanmu itu berhutang? Apakah engkau melunasinya?’ Laki-laki itu berkata: ‘Ya.’ Nabi SAW bersabda: ‘Lunasilah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak pelunasannya’.”
Di kalangan para ulama ada perbedaan pendapat dalam memahami ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi SAW di atas. Ada sebagian yang berpendapat bahwa hadits-hadits (yang bersifat dzanni) tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Alquran (yang bersifat qath’i). Oleh karena itu hadits-hadits tersebut tidak dapat diamalkan (ghair ma’mul bih). Menurut pendapat ini badal haji tidak boleh dilakukan.
Ada pun sebagian lagi berpendapat bahwa hadits ahad atau hadits mutawatir dapat mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) ayat-ayat Alquran. Menurut pendapat ini, anak atau orang lain dapat melaksanakan haji atas nama orang tua atau saudaranya.
Termasuk dalam pendapat kedua ini adalah ulama Muhammadiyah yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat mentakhsis ayat Alquran, yakni sebagai bayan (penjelas). Oleh karena itu, dalam masalah ini hadits riwayat Imam Muslim yang menyatakan: "bahwa apabila manusia meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya", mentakhsis atau bayan terhadap surat An-Najm ayat 38-39 dan surat Yasin ayat 54.
Dengan demikian, pendapat yang paling kuat adalah badal haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi ia tidak dapat melaksanakannya karena udzur atau karena telah meninggal dunia, dapat dilakukan oleh anaknya atau saudaranya yang telah berhaji terlebih dahulu. (*/tap)