Oase Ramadan
Salat Jumat Diganti Salat Zuhur di Rumah Saja, Saat Kondisi Darurat Pandemi Covid-19
Minggu, 03 Mei 2020 04:00 WIBOleh Drs H Sholikhin Jamik SH MH Editor Imam Nurcahyo
MASJID At-Taqwa yang berada di Jalan Teuku Umar Bojonegoro, biasanya setiap hari Jumat ramai dikunjungi jemaah untuk melaksanakan salat Jumat. Namun sejak di Kabupaten Bojonegoro terdapat pasien positif virus Corona (Covid-19), yang disusul dengan penetapan status Zona Merah pandemi virus Corona (Covid-19), maka mulai tanggal 27 Maret 2020 lalu, masjid yang biasanya dibanjiri dan dibuat rujukan orang untuk melaksanakan salat Jumat, tidak digunakam salat Jumat lagi, dan diganti dengan salat Zuhur di rumah masing-masing.
Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:
1).Dasar Peralihan Kewajiban Pengganti.
Dalil yang menjadi dasar tentang hukum salat Jumat diganti dengan salat Zuhur empat rakaat di rumah masing-masing dengan pertimbangan keadaan masyaqqah dan juga didasarkan kepada ketentuan dalam hadis berikut, bahwa salat Jumat adalah kewajiban pokok. Mafhumnya salat Zuhur adalah kewajiban pengganti. Ini juga adalah kaul jadid Imam asy-Syāfiʻī.
Dalam kaidah fikih dinyatakan:
إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
Apabila yang pokok tidak dapat dilaksanakan, maka beralih kepada pengganti. (Syarḥ Manẓūmat al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah).
Berdasarkan kaidah ini, karena salat Jumat sebagai kewajiban pokok tidak dapat dilakukan, maka beralih kepada kewajiban pengganti, yaitu salat Zuhur empat rakaat yang dikerjakan di rumah masing-masing.
Dasar Peralihan Kewajiban Pengganti peralihan kepada kewajiban pengganti ini yaitu salat Zuhur dapat didasarkan kepada mafhūm aulā (argumentum a minore ad maius) dari hadits berikut.
Mafhūm aulā (argumentum a minore ad maius) menyatakan bahwa apabila suatu hal (masyaqqah) yang lebih ringan dapat membenarkan tidak melakukan suatu yang wajib, maka hal (masyaqqah) yang lebih berat tentu lebih dapat lagi membenarkan tidak melakukan yang wajib itu.
Hadis dimaksud adalah:
أن عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ قال لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلاَ تَقُلْ حَيّ عَلَى الصَّلاَةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ، فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ: فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ، فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muazinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alaṣ-ṣalāh (kemarilah untuk salat), namun ucapkan ṣallū fī buyūtikum (salatlah kalian di rumah masing-masing).
Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut. Lalu Ibn ‘Abbās mengakatan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah SAW). Sesungguhnya salat Jumat itu adalah hal yang wajib (‘azmah), namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin. (HR Muslim)
Dalam hadits ini suatu hal (masyaqqah) yang kecil, yaitu hujan yang tidak menimbulkan bahaya dan mudarat, hanya menyebabkan sedikit ketidaknyamanan, dapat menjadi alasan untuk tidak menghadiri salat Jumat, maka keadaan (masyaqqah) yang jauh lebih berat, seperti penyebaran virus Corona (Covid-19) seperti sekarang, yang sangat berbahaya, tentu lebih dapat lagi untuk menjadi alasan tidak menghadiri salat Jumat. Bahkan penyelenggaraan salat Jumat ditiadakan untuk menghindari bahaya tersebut.
2).Menghindari Mudarat Lebih Diutamakan dari Mendatangkan Maslahat.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah:
دَرْءُ الْفاسِدِ أوْلى مِنْ جَلبِ الْصَالِحِ
Menghindari kemudaratan lebih diutamakan dari mendatangkan maslahat. (Al- Asybāh wa an-Nazā’ir oleh as-Sayūṭī, h. 87; oleh Ibn Nujaim, h. 78).
Penggantian salat Jumat menjadi salat Zuhur bagi orang yang uzur juga didasarkan pada hadits panjang yang menceritakan tentang perjalanan haji wada’ Nabi. Ketika itu Nabi berada di Arafah pada hari Jumat, dan beliau tidak melaksanakan salat Jumat, tetapi menjamak salat Zuhur dengan Ashar.
Sebagaimana kutipan hadis berikut:
ثم أذَّن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا. رواه مسلم
Kemudian Nabi bangkit lalu melaksanakan salat Zuhur, dan bangkit kembali untuk melaksanakan salat Ashar. Di antara dua salat itu, Nabi tidak melaksanakan salat yang lain. (Lihat selengkapnya pada HR Muslim no. 1218). (*/imm)
|
Penulis: Drs H Sholikhin Jamik SH MH
Ketua Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Masyarakat Madani Bojonegoro
|