Kuliner
Bakso Beranak dalam Mangkuk di Temayang, Nyam Nyam
Rabu, 19 April 2017 20:00 WIBOleh Muliyanto
Oleh Muliyanto
Temayang – Makanan popular ini banyak diperbincangkan di media sosial akhir – akhir ini. Rasa penasaran yang berawal dari perbincangan di media sosial itu akhirnya sirna saat semangkuk bakso mongah – mongah terhidang di meja disertai senyum sang koki yang juga penyaji, Pak Mordiono (28), di warung miliknya di Temayang, dua hari lalu, Senin (17/04/2017).
Warung bakso Pak Mordiono namanya Warung 71, terletak di tepi jalan raya Bojonegoro – Nganjuk, tepatnya di sebelah utara SMK Negeri Temayang, timur jalan. Dari Bojonegoro kota, butuh waktu hanya sekitar 15 menit perjalanan dengan motor.
“Habiskan,” kata Pak Mordiono dengan ramah menggunakan bahasa Jawa setelah meletakkan dua mangkuk di meja.
Saya menatap dua mangkuk itu. Yang satu berisi mie, bawang goreng, kubis, seledri dan kuah kaldu. Satunya lagi pentol separuh berukuran jumbo seukuran bola bisbol sedang tengkurap, ditemani satu butir pentol kecil dan kerupuk.
Foto bakso beranak porsi separuh. Ada pentol - pentol kecil di dalam pentol besar.
Aroma gurih menguar menusuk hidung dari mangkuk itu. Tanpa pikir panjang lagi, bismillah, segera saya jamah pentol jumbo itu dengan sendok dan garpu. Kedua mata saya membelalak setelah pentol itu saya iris, dari dalamnya muncul butir 5 pentol ukuran kecil yang mongah mongah minta disantap. Ada juga sebutir telur puyuh empuk di antara pentol - pentol itu. Tak ada alasan lain untuk tidak mengiyakan makanan itu disebut bakso beranak. Nama yang mengandung kreativitas dan semangat juang.
“Yang sedang sampeyan santap itu bakso beranak kecil,” kata Pak Mordiono di sela – sela saya mengunyah pentol.
Sebab, kata bapak satu anak itu, sepanjang dia buka warung bakso ini, belum ada yang sanggup menghabiskan semangkuk bakso beranak besar. Bakso beranak besar yang Pak Mordiono maksud adalah porsi utuh. Sementara yang tengah saya makan adalah porsi separuh. Awalnya saya kurang percaya bisa menghabiskan porsi kecil yang tengah saya santap. Tapi tak lebih dari 10 menit, dua mangkuk di meja tandas. Ini pertanda bahwa bakso ini benar – benar, seperti kara Bondan Winarno, “mak nyus”.
Selain itu, kata banyak orang, bakso termasuk jenis makanan yang menggairahkan di awal namun senyap di akhir. Maksudnya kelezatan bakso seringkali tidak bertahan lama. Orang bisa sangat lahap saat awal – awal mulai mengunyah pentol, namun sampai pentol yang ke lima, seringkali sudah puas, tak sanggup lagi meneruskan. Namun saya rasa itu tidak berlaku pada bakso beranak milik Pak Mordiono. Rasa gurih daging sapi pada pentolnya bertahan hingga kunyahan terakhir. Kesegaran kuahnya terasa hingga tetes paling akhir.
“Yang saya prioritaskan adalah rasa. Bukan melulu keuntungan. Yang dititeni (diperhatikan) pembeli itu rasanya. Toh harganya juga termasuk murah. Bakso beranak di kota – kota lain harganya rata - rata lebih mahal,” kata Pak Mordiono saat bincang – bincang seusai makan.
Pak Mordiono kemudian mengisahkan sedikit tentang sejarah warung bakso 71 miliknya. Berawal dari sekitar tiga tahun lalu sebenarnya dia mulai berbisnis pentol. Dia mengawali dari nol dengan berkeliling menggunakan rombong. Saat itu dia baru saja bangkrut dari usaha yang digelutinya yang juga di bidang kuliner. Dia hampir putus asa saat itu. Usahanya bangkrut dan dia harus menjual sapi untuk menutupi kerugian.
Hingga kemudian dia bangkit dan memulai berbisnis lagi hanya dengan modal hutangan Rp 600 ribu. Dari modal kecil itu dia telaten hingga semakin lama semakin berkembang. Dari satu rombong hingga bisa memiliki 3 rombong tambahan yang dijalankan oleh anak buahnya. Dengan keberadaan Warung 71 ini, dia tak lagi keliling menjajakan pentol.
Nama Warung 71 yang dia gunakan pun, memiliki filosofi tersendiri. Kata Pak Mor, angka 71 itu dalam kepercayaan masyarakat Jawa merupakan kesadaran ilahiah dimana yang bisa memberikan pitulungan (pertolongan) adalah hanya satu, Tuhan.
Dengan kesadaran itu, dia menjalankan dan mengembangkan bisnisnya dan juga tentu saja keseharian laku hidupnya.
Kemudian gambar Semar yang dia sematkan sebagai logo yang terpampang pada baner depan warung juga amat berarti bagi Pak Mordiono. Dia mengaku begitu mengagumi tokoh ponakawan dalam kisah Mahabharata versi Jawa itu. Sosok buruk rupa yang sebenarnya adalah dewa namun memilih menjadi manusia biasa itu memang dipercaya menjadi simbol sosok suci dalam pewayangan. Gambar Semar itu pula yang dipasang di rombong miliknya sejak pertama kali merintis usaha pentol beberapa tahun lalu.
Apapun itu, yang penting bakso beranak benar – benar lezat. Buktinya, selang 30 menit kemudian, saya sudah kepingin makan lagi meski tahu perut saya masih penuh. Dan yang menggembirakan lagi, harganya pas di kantong.
Satu porsi besar bakso beranak milik Pak Mordiono dibanderol harga Rp 20 ribu. Untuk porsi kecil (separuh) seharga Rp 10 ribu. Selama ini yang meminati kebanyakan yang porsi kecil. Selain kedua itu, masih ada satu pilihan lagi, bakso menu biasa dengan harga Rp 5 ribu. Cukup murah tentu saja. Kalau tidak murah, tentu saja, cukup ajaib dalam sehari paling tidak ada 200 sampai 300 atau bahkan lebih kalau pas hari libur, yang mampir di Warung 71. Tetapi tetap saja yang paling utama adalah rasa. Hmm..., nyam nyam. (mol/moha)