Merawat Kesenian Kentrung yang Mulai Punah
Senin, 05 Oktober 2015 09:00 WIBOleh Rohmat Sholihin *)
*Oleh Rohmat Sholihin
“Masyarakat tanpa budaya punah, budaya tanpa masyarakat hampa” ujar Mbah Ratrimah.
Hari sudah agak siang, kira-kira pukul 09.30 WIB. Cerah dan terasa lain daripada yang lain. Tidak seperti hari-hari biasanya. Dan siang hari ini, hati sudah tak sabar untuk bertemu dengan seniman unik yang sudah berusia hampir 100 tahun, tepatnya 95 tahun. Mbah Ratri, begitu orang-orang akrab memanggilnya. Seniman kentrung ini telah mendermakan seluruh hidupnya untuk budaya seni kentrung. Suka-duka telah beliau lalui dengan seksama. Beliau memulai karir bermain kentrung semenjak masih gadis, tepatnya berusia 14 tahun. Di mulai dari menabuh alat musik rebana. Tidak langsung menjadi pencerita atau penutur. Beliau banyak belajar dari mendengarkan dan mempraktekkan dari Mbah Basiman, yaitu bapaknya sendiri. Beliau belajar ketika mengikuti pentas keliling daerah. Jadi, beliau belajar dengan proses “live” dan pembiasaan, tidak pragmatis seperti seniman-seniman saat ini. Seniman yang hanya tergiur dengan uang, materi, dan ketenaran an sich, namun tidak memberikan kontribusi pada proses pembelajaran anak bangsa yang cerdas, berani, dan kritis. Hanya menampilkan kesan gaya hidup kemewah-mewahan semata. Dan banyak menggambarkan bahasa kucing semata, yaitu bahasa cinta dan pertengkaran. Kurang apresiasi terhadap nilai-nilai sejarah anak bangsa yang heroik dan progresif atau semangat hidup untuk tetap maju dan kaya akan ide dan pemikiran yang kritis.
Perjalanan dari Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah Bangilan ke rumah Mbah Ratri membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Dengan melewati jalan tanjakan yang cukup tinggi, disekitar desa Kablukan dan Bate. Nafas terasa ngos-ngosan, paru-paru kita terforsir untuk menyimpan udara kemudian di hembuskan (ekspirasi) kuat-kuat, lega. Namun, setelah jalan menurun, tubuh terasa dilemparkan ke bawah, dan paru-paru dapat mencuri point untuk mengatur pernafasan kembali. Tubuhpun terasa terbakar karena panas matahari yang menyengat berlebihan, sinar ultra violet (UV) tak perduli menembus tubuh yang hanya memakai baju seragam hijau dan putih. Sedangkan keterbelakangan masyarakat setempat sangat jelas, karena malas untuk melakukan program reboisasi. Sehingga emisi karbon sangat berlebihan. Mata terasa berkunang-kunang melihat area persawahan yang luas membentang, tandus dan penuh fatamorgana, ada kilatan gas-gas membentuk seperti gelombang-gelombang air. Tapi, hanya bayangan saja bukan nyata. Kenapa masyarakat sekitar tidak mau belajar dari warga Belanda yang bermukim didaerah Kablukan itu?. Yah, kenapa?. Area kebunnya rindang, penuh dengan pepohonan, seperti jati, mangga gadung dan randu. Batas tanah rapat dipagari kawat berduri. Banyak para pekerja yang sedang sibuk menyapu, dan membuat saluran-saluran irigasi untuk tanaman-tanaman yang telah ditanam itu. Masyarakat kita yang sulit merubah untuk kemajuan, baik maju pola pikir dan semangat untuk berusaha hidup yang lebih baik. Akhirnya masyarakat kita menjadi masyarakat yang kalah dalam segala hal.
Seperti apa yang telah dikatakan Pramoedya,“Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.
Itulah kenyataan hidup bangsa kita agar jangan sampai terulang untuk hari ini dan esok. Kapan lagi jika kita tak merubahnya sekarang juga. Seperti firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Begitulah keadilan Tuhan. Memberikan jalan keluar dan pencerahan bagi umat-Nya yang akan selalu mencari perubahan pada diri mereka sendiri tanpa kenal putus asa. Putus asa bukanlah cara penyelesaian akhir yang paling tepat, akan tetapi akan lebih menyakitkan.
Seperti budaya korupsi dinegeri ini sangat sulit dihilangkan, bukan berarti tidak bisa dihilangkan. Sebab, sejarah telah memaparkan bahwa borok korupsi telah menggerogoti sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia berkembang sampai zaman V.O.C. (Vereenidge Oost- Indishche Compagnie). Korupsi banyak dilakukan oleh pejabat-pejabat pribumi. Sejarah itu sudah cukup menjadi bukti bahwa masyarakat kita kurang tanggap untuk membaca sejarah ke arah perubahan. Kenapa tidak segera di rubah dan dibangun mental masyarakat kita ke arah yang lebih maju dan kuat serta adil. Dari banyak peristiwa korupsi sejak zaman V.O.C. menjadikan perusahaan dagang milik Nedherland (Belanda) itupun mengalami kebangkrutan. Di Orde Baru, peristiwa korupsi juga semakin merajalela sehingga imbasnya sampai sekarang masih belum tuntas dan bersih.
Tak terasa rombongan Reza Samsu Dkk sudah memasuki balai Desa Bate yang terlihat ramai oleh Ibu-ibu pejabat desa Bate dan pejabat kecamatan Bangilan. Sepertinya baru ada pertemuan yang membahas masalah dana pembangunan desa. Dan biasanya pejabat-pejabat desa mengadakan pertemuan hanya membahas masalah dana yang akan cair dari suatu pihak tertentu, entah demi isu politik yang berkembang yaitu pencalonan bupati atau yang lain. Rombongan Samsu Reza Dkk pun kurang tertarik pada pertemuan mereka. Dan jalan terus melewati jembatan sungai mati. Sungai yang bermuara pada danau kecil di tengah sawah ke arah timur. Aku masih ingat dengan danau itu, danau yang penuh dengan tumbuhan klorak menjadikan tempat yang aman untuk ikan kutuk menetaskan telurnya (sillo fishery). Dulu ketika aku masih belum mengajar di sekolah Islam di kampungku. Aku dan teman-teman pergi mencari ikan-ikan di danau itu dengan strom accu. Namun, medannya yang sangat sulit, kepadatan pohon klorak, sehingga tak satupun ikan ku dapat, hanya menggerutu pada gosip keponakanku tentang kabar ikan-ikan di danau itu.
Tak lama rombongan sampai ditempat Mbah Ratri setelah melewati belakang gang. Sepeda-sepeda diparkir dipinggir rumah warga. Jalan gang sangat lembek yang habis diguyur hujan semalam. Kita jalan kira-kira 100 meter menuju rumah terpencil dipinggir sawah, rumah paling pojok yang langsung menghadap ke sawah.
Di rumah yang sangat sederhana, Mbah Ratri sudah menyambut anak-anak MI Salafiyah Bangilan untuk keperluan wawancara tentang seni budaya kentrung. Seni budaya lokal yang sudah semi nasional. Tapi, banyak anak-anak generasi sekarang yang belum banyak yang tahu bahwa seni kentrung masih tetap eksis. Walaupun hanya kalangan-kalangan tertentu yang masih menanggapnya, terutama kaum priyayi-priyayi yang masih sering rindu terhadap seni kentrung. Sehingga Mbah Ratri Dkk masih tetap siap jika diminta untuk tampil memainkan kentrung. Selagi tubuhnya sehat walafiat.
Senyum dan kebahagiaan dari Mbah Ratri begitu terlihat dari guratan-guratan wajahnya yang telah keriput. Maklum, usianya sudah menginjak 95 tahun. Tapi semangat hidupnya masih menyala-nyala laksana api, yang sedikit mengganggu aktifitasnya adalah matanya yang sudah tidak begitu jelas untuk melihat, dan dihidungnya ada polip. Jadi, suaranya agak sengau. Setelah beramah-tamah sebentar, Mbah Ratri sudah siap membuka pertanyaan dari anak-anak MI Salafiyah Bangilan kelas 6 B yang dipandu oleh Pak Rohmat Sholihin, Pak M. Rusydi, Pak M. Sutrisno, dan Pak Khoirurrozie. Dan untuk lebih mudahnya dalam berwawancara kami menyebut Mbah Ratri disingkat (MR), Mbah Stri (MS),dan MI Salafiyah Bangilan (MIS).
MIS : Apa kabar Mbah Ratri! Maaf Mbah Ratri kami akan tanya tentang seni budaya kentrung. Sejak kapan Mbah Ratri aktif didunia kentrung?.
MR : Syukur Alhamdulillah kabar saya baik dan sehat. Saya aktif didunia kentrung sejak masih gadis, kira-kira umur 14 tahun. Tapi maaf tahunnya lupa, sudah lama sekali.
Bisa diambil kesimpulan bahwa sekarang usia Mbah Ratri sudah 95 tahun. Jadi, 95-14=81
Tahun yang lalu. Tahun 2010-81 tahun = 1929. Tahun 1929 Mbah Ratri memulai karir
kentrung sampai sekarang.
MIS : Dari mana asal-usul nama kentrung?
MR : Nama kentrung diambil dari nama-nama alat musik yang digunakan yaitu kendang, terbang, rebab. Jadilah kentrung.
MIS : Mbah Ratri nama lengkapnya siapa?
MR : Ratrimah
MIS : Jika Mbah Stri?
MS : Mbah Stri saja.
MIS : Semua personelnya berapa Mbah?
MS : Empat orang. Mbah Ratri, saya, Mbah Sumijo, dan suami Mbah Ratri yaitu Mbah Widji almarhum.
MIS : Berapa tarif untuk menampilkan kentrung Mbah Ratri?
MR : Dulu pertama tarifnya Rp. 60.000,00, Rp. 200.000,00 – sampai Rp. 1000.000,00.
MIS : Mbah Ratri ini sudah pernah main kentrung di kota mana saja?
MR : Aduh! Sudah banyak sekali. Surabaya, Gresik, Probolinggo, Tuban, Rembang, Yogyakarta, Rengel, Magetan, Sale, Jatirogo dan masih banyak lagi.
MIS : Terakhir main di kota mana Mbah?
MR : Main di dusun Bendo-Bangilan. Orang punya janji untuk menanggap kentrung karena selamatan rumah dan tolak-balak (tulak-tanggul). Jika ada acara seperti itu saya menentukan tarif tapi jika saya diundang oleh priyayi-priyayi saya tidak menentukan tarif, terserah priyayi itu mau kasih berapa.
MIS : Seni kentrung, seni yang turun-temurun, Mbah Ratri ini keturunan yang ke berapa?
MR : Saya keturunan yang ke tiga. Pertama Mbah Suhilah, kedua Mbah Basiman, dan ketiga saya.
MIS : Yang ke empat nanti siapa Mbah?
MR : Belum tahu.
MIS : Jika Mbah Stri usianya berapa?
MS : Saya 80 tahun, Mbah Samijo 80 tahun, Mbah Widji 90 tahun meninggalnya.
MIS : Pada HUT Proklamasi kemerdekaan RI masih sering pentas di lapangan kecamatan Bangilan?
MR : Sudah lama ini tidak.
MIS : Kalau misalkan diundang Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tampil di Istana Jakarta, apakah siap Mbah?
MR : Siap-siap saja. Asalkan tubuh ini sehat dan kuat.
MIS : Mbah Ratri punya anak berapa?
MR : Saya ini menikah enam kali, tapi yang punya anak hanya sama Mbah Widji dikaruniai dua anak tapi sekarang juga sudah meninggal semua.
MIS : Mbah Ratri menikah enam kali, tapi yang paling terkesan dengan siapa Mbah? Ha..ha..ha..ketawa semuanya.
MR : Ya sama Mbah Widji, orangnya pendiam dan nurut sama saya. Setia dan romantis.
Mbah Ratri diam sejenak. Tapi tiba-tiba beliau menangis karena teringat sama Mbah Widji
yang baru meninggal 100 harinya.
MIS : Sudahlah Mbah sabar. Mudah-mudahan Allah memberikan Khusnul Khotimah.
MIS : Biasanya yang sering dipentaskan lakon apa Mbah?
MR : Lakon itu tergantung situasi waktu. Ada yang Sarah Wulan, Dewi Zulaikhah, dan apal-apalan.
MIS : Begitu ya Mbah, saya rasa waktu sudah cukup buat wawancara dengan Mbah Ratri dan Mbah Stri tentang seni budaya Kentrung. Kami dari rombongan lembaga MI Salafiyah Bangilan berterima kasih atas kesediannya Mbah Ratri dan Mbah Stri dalam membantu proses belajar dalam memaknai budaya lokal yaitu budaya Kentrung. Dan ini ada sekedar oleh-oleh dari kami dan anak-anak, semoga dapat bermanfaat dan menjadikan kita lebih menghargai budaya kita sendiri yang lebih kaya akan nilai-nilai sejarah bangsa kita sendiri.
MR : Sama-sama kulo geh matur suwun.
Satu jam lebih tak terasa waktu telah kita lalui untuk berjumpa dan berbincang-
bincang dengan Mbah Ratri dan Mbah Stri yaitu seniman kentrung yang sudah sangat sepuh
Itulah refleksi pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan metode wawancara
dengan tokoh budayawan lokal yaitu Mbah Ratri dan Mbah Stri seniman kentrung Bate yang
sudah ada sejak tahun 1917 dan masih aktif sampai sekarang. Bravo Mbah Ratri dan Mbah
Stri kentrung Bate. Setia dalam pengabdian. Semangat dan semangat.
Penulis tinggal di Bangilan, Tuban dan bisa dihubungi di email [email protected]
foto kesenian kentrung Tuban