Djagat Pramudjito, Seniman Musik Lokal Bojonegoro
Mas Pram dan Gergajinya adalah Musik
Selasa, 20 Oktober 2015 22:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Banyak yang menilai wajahnya mirip John Lenon. Dan memang dia menyukai John Lenon. Dia dianggap sesepuh bagi seniman musik di Bojonegoro. Pada Parade Keroncong Nasional di panggung Malowopati Bojonegoro pekan lalu, dia menjadi ketua panitia, sosok yang paling bertanggung jawab di balik kesuksesan acara tersebut.
"Saya sudah tidak segesit dulu. Semua yang kerja kawan-kawan muda itu. Saya bangga pada mereka. Acara sukses di luar prediksi, meski persiapannya agak terlambat," aku Djagat Pramudjito, lelaki tua itu.
Mas Pram, panggilan akrabnya, lahir pada 22 Desember 1959. Punya 2 anak yang keduanya masih sekolah.
Kepada BeritaBojonegoro.com (BBC), dia berbagi cerita dan pengalamannya tentang keroncong, beda antara seniman musik dan enternaint, pertemuan dengan Sawung Jabo dan juga eksplorasinya (dia bisa memanfaatkan gergaji sebagai alat musik). Karena, bagi Mas Pram, musik itu soal eksplorasi
Bisa cerita sedikit tentang keroncong, Mas Pram?
Keroncong itu termasuk jenis musik yang tua. Lebih tua dari campursari, dangdut atau jazz. Keroncong ini sudah ada sejak Indonesia belum ada, saat Indonesia masih dijajah Portugis yang saat itu, selain membawa misi ekonomi, juga membawa misi agama. Mereka menyanyikan lagu-lagu gereja. Saat Portugis meninggalkan kita, musiknya tidak ikut meninggalkan seluruhnya. Nah, karena alat-alatnya nggak ada, kita bikin sendiri dengan alat musik seperti ukulele, cak-cuk, dan lain sebagainya itu. Jadi sebenarnya keroncong itu ya semacam eksplorasi dari musik mereka (Barat).
Tidak sepenuhnya memang. Karena juga alat musiknya dari Barat. Tapi langgamnya kita yang punya. Keroncong itu langgamnya kita.
Pokoknya orang Indonesia, Jawa khususnya, itu kreatif. Tidak bisa memainkan seperti yang mereka lakukan, ya eksplorasi sendiri. Ini lama kelamaan ketemu. Mereka tidak pernah menyangka apa yang dilakukan oleh kita. Jadi, musik keroncong ini bisa disebut sebagai musik kontemporer. Kontemporer untuk mereka.
Lantas, bagaimana keroncong bisa masuk di Bojonegoro?
Itu saya yang nggak tahu pastinya. Sudah sejak zaman Jepang dulu ada. Tapi yang saya temui itu ya sekitar tahun 1997. Saat itu ada kelompok musik Keroncong Kecil yang pemainnya dari pensiunan Kepolisian, Dinas Perhutani dan lain-lain. Kelompok itu sudah buyar. Lalu saya juga punya Sanggar Puspa Nada di Ledok Wetan.
Lalu membikin Klangenan 13. Ini santai sifatnya, sering mengadakan acara dari rumah ke rumah para anggota Klangenan. Tidak untuk audiens. Kami main musik di sana, bergantian dari rumah ke rumah.
Pernah bertemu tokoh Keroncong tenar? Gesang misalnya....
Nggak pernah ketemu. Tapi saya mendengarkan Gesang, mengagumi beliau.
Yang pernah ketemu tokoh itu ya, Sawung Jabo itu. Dia kenal saya saat itu. Saya dipuji oleh dia. Itu di tahun 2000an, saat saya ke Jogja. Saya mewakili Bojonegoro untuk suatu acara kesenian.
Tapi Sawung jabo itu kan nggak begitu kelihatan. Dia itu sungkan utnuk menjadi tenar. Di depan orang banyak itu dia low.
Tentang ini, kaitannya dengan entertaint dan pilihan bermusik yang murni kesenian. Jadi orang silakan memilih antara menajdi pemusik yang berkesenian atau yang entertaint, hiburan, pasar, terkenal.... Nah Sawung Jabo itu nggak mengarah ke entertaint. Pokoknya yang bermusik dengan seni itu terasa kok. Sampai ke perasaan, yang spiritual.
Kalau di sastra itu ada Umbu (Landu Paranggi). Umbu ini misterius orangnya. Dia membimbing orang untuk berkesenian hingga benar-benar bisa. Tetapi dia sendiri nggak terkenal sama sekali. Dia itu orang yang total. Dia sulit ditemui hingga saat ini. Entah di Bali, entah di mana dia sekarang. Si kiai mbeling itu siapa namanya?
Emha? Cak Nun?
Nah itu kan salah satu gemblengan Umbu saat masih di Yogya. Mereka bikin forum diskusi di Jalan Malioboro, Jogja. Tapi nEmha itu kan ngarah ke entertaint.
Pernah itu suatu kali ada acara di Bali. Saya dengar dia, si Umbu, ada di sana. tapi tidak ada juga itu. Di Jogja juga sama, pas ada acara, terdengar desas desus dia akan ada di acara itu. Tapi pas acara usai, Umbu tidak muncul itu...
Saya tidak ingin memaksanakan yang baik itu mana. Silakan pilih mau yang mana, entertaint atau musik murni.
Bagaimana tentang musik yang tradisional dan yang modern?
Kalau untuk tradisional, di sana, di luar sana, yang di sini tradisional, bisa jadi modern. Musik keroncong yang kalau di sini tradisional, di Barat itu bisa modern lho. Kalau modern diartikan sebagai yang baru.
Kalau klasik?
Klasik itu kan yang sudah dapat pengakuan. Yang sudah pakem.
Apakah Mas Pram memiliki kiblat atau rujukan tertentu dalam bermusik?
Saya tidak memiliki kiblat tertentu. Saya kan bukan akademisi. Saya tidak bisa seperti akademisi. Tapi, saya mempelajari berbagai musik. Selain keroncong, saya juga mempelajari oklik, musik-musik untuk Sandur dan lain-lain. Juga aliran-alirannya. Saya mempelajari musik Barat juga.
Pokoknya saya suka mempelajari semuanya. Sulit menjelaskannya. Karena musik itu olah rasa.
Mas Pram ini, wajahnya mirip John Lenon, kata orang-orang...
(Tersenyum lebar. Tiba-tiba dia menyayikan salah satu lagu Lenon, Mother...)
Mother, you had me but I never had you/ I wanted you but you didn't want me/ So I got to tell you/ Goodbye, goodbye/ Farther, you left me but I never left you,I needed you but you didn't need me...
Entahlah, orang-orang itu. Yang jelas, saya mempelajari John Lenon. Juga George Benson.
Pokoknya eksplorasi itu penting dalam bermusik. Contoh, saya melakukan eksprimen dengan gergaji. Segalanya bisa menimbulkan bunyi. Sumber segala musik. Dengan gergaji saya menciptakan sebuah musik yang suaranya mirip biola. Saya gesek-gesek itu...
Foto acara Parade Kroncong Nasional di Panggung Malowopati. Ketua panitianya Djagat Pramujito