Kasus Penyakit Autoimun di Indonesia Capai 2,5 Juta, Perempuan Usia Produktif Paling Rentan
Minggu, 28 Desember 2025 10:00 WIBOleh Tim Redaksi
Nasional - Penyakit autoimun semakin menjadi ancaman kesehatan di Indonesia, dengan jumlah penderita diperkirakan telah melampaui 2,5 juta orang berdasarkan data terbaru Kementerian Kesehatan RI. Sebanyak 78% di antaranya adalah perempuan, khususnya pada usia produktif 15-44 tahun, menurut data Global Autoimmune Institute 2024.
Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh salah mengenali sel dan jaringan sehat sebagai ancaman asing, sehingga menyerangnya sendiri alih-alih melindungi dari infeksi. Hingga kini, lebih dari 100 jenis autoimun telah teridentifikasi, baik yang menyerang organ spesifik seperti kelenjar tiroid atau sistemik yang memengaruhi kulit, sendi, paru-paru, usus, hingga saraf.
Salah satu contoh autoimun yang sering dialami adalah Alopecia Areata (AA), kondisi di mana sistem imun menyerang folikel rambut, menyebabkan kebotakan berbentuk patch bulat tanpa meninggalkan bekas luka permanen. Secara medis, AA merupakan penyakit autoimun yang melibatkan sel T limfosit yang menyerang akar rambut pada fase pertumbuhan (anagen), sehingga rambut rontok tiba-tiba. Meski tidak merusak folikel secara permanen, serangan ini bisa berulang dan memengaruhi rambut di kepala, alis, bulu mata, hingga seluruh tubuh pada kasus parah.
Dr. Syahrizal, Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi dari Primaya Hospital Bekasi Barat, menekankan bahwa risiko autoimun lebih tinggi pada perempuan usia produktif karena faktor hormon estrogen, fluktuasi hormonal, serta respons imun yang berbeda dibanding laki-laki.
"Pemicu lain seperti stres berkepanjangan, infeksi, polusi, asap rokok, pola makan buruk, dan riwayat keluarga juga berperan besar," ujarnya.
Gejala awal sering diabaikan, seperti kelelahan kronis, nyeri sendi, ruam kulit, atau gangguan pencernaan. Jika tidak ditangani, bisa menyebabkan kerusakan organ permanen, risiko penyakit jantung, hingga gangguan psikologis seperti depresi.
Penanganan fokus pada stabilisasi sistem imun melalui obat anti-peradangan, imunoterapi, perubahan gaya hidup (olahraga, istirahat cukup, manajemen stres), serta dukungan psikologis.
"Deteksi dini melalui pemeriksaan riwayat kesehatan dan tes laboratorium sangat krusial untuk mencegah komplikasi," tambah dr. Syahrizal.
Para ahli mengimbau masyarakat, terutama perempuan usia produktif, untuk waspada dan segera konsultasi dokter bila mengalami gejala mencurigakan. Dengan pengelolaan yang tepat, penderita autoimun tetap bisa menjalani hidup berkualitas. (red/toh)



































.md.jpg)






