Debit Air Bengawan Solo turun, berkah bagi perajin batu bata
Minggu, 02 Agustus 2015 10:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh: Nasruli Chusna
Padangan-Terik matahari siang itu begitu menyengat. Namun, Eko Riyanto, 32, perajin batu bata merah di Desa Jalakan, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, seolah tidak menghiraukannya. Tangannya terus mengaduk dan membuat cetakan batu bata merah dari tanah liat endapan Sungai Bengawan Solo. Cetakan batu bata berjajar rapi di bantaran sungai. Sementara cetakan batu bata yang telah kering ditumpuk dengan rapi di sekelilingnya.
Proses mencetak dan menjemur cetakan batu bata liat itu memerlukan waktu sekitar tiga hari. Selanjutnya setelah kering, cetakan batu bata itu dibakar di atas tungku perapian selama sehari semalam. Untuk membakar batu bata merah itu agar sempurna memakai kayu bakar dan sekam. “Dalam sehari biasanya bisa membuat 500 cetakan batu bata merah itu,” ujar Eko Riyanto sambil mengibaskan caping yang dipakai menutupi kepalanya dari sengatan matahari.
Saat musim kemarau Eko Riyanto dan perajin batu bata merah lainnya di Desa Jalakan bisa mendapatkan bahan baku tanah liat endapan Sungai Bengawan Solo dengan mudah. Pada saat seperti inilah mereka bisa menggenjot produksi batu bata merah sepanjang musim kemarau. Selain mudah mendapatkan bahan baku, proses penjemuran, pengeringan, dan pembakaran batu bata merah juga lebih cepat. Kemudian, produksi batu bata merah itu bisa disimpan sampai sepanjang musim. Akan tetapi, saat memasuki musim hujan mencari bahan baku tanah liat agak sulit dan juga proses penjemurannya agak lama. Tidak jarang pula daerah bantaran sungai ini kebanjiran sehingga sulit membuat batu bata merah.
Menurut Eko Riyanto, perajin batu bata merah di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo tersebar di beberapa desa di antaranya di Desa Dengok, Jalakan, dan Kalangan, Kecamatan Padangan. Di masing-masing desa itu ada sekitar 100 perajin batu bata merah yang telah menekuni usaha kerajinan ini sejak puluhan tahun.
Sementara itu menurut perajin batu bata merah lainnya, Hasan, 40, produksi batu bata merah saat musim kemarau seperti ini memang bisa digenjot. Akan tetapi, kata dia, selama musim kemarau harga jual batu bata merah menurun. Saat ini harga jual batu bata merah per 1.000 biji hanya sekitar Rp430.000 sampai Rp450.000. Padahal sebelumnya, kata dia, harga batu bata merah per 1.000 biji di kisaran Rp480.000 sampai Rp500.000.
“Penyebabnya karena produksi batu bata merah melimpah sementara permintaan tidak terlalu meningkat,” ujarnya.
Padahal, kata dia, biaya produksi batu bata merah itu juga tinggi. Misalnya untuk kayu bakar saat ini harganya per satu pikap mencapai Rp430.000. Begitu pula untuk sekam harganya Rp150.000 per pikap. Itu belum termasuk biaya tenaga kerja apabila mempekerjakan orang lain untuk proses pembuatan batu bata merah dan pengiriman barang. “Jadi kondisi perajin batu bata merah sekarang serba sulit,” ujarnya.
Ia mengatakan, meski memasuki bulan Ramadan permintaan batu bata merah tidak terlalu naik. Penyebabnya, para petani di pedesaan saat ini belum panen padi. Biasanya usai panen para petani membangun atau memperbaiki rumahnya dan berdampak pada naiknya permintaan batu bata merah.
Permintaan batu bata merah kebanyakan berasal dari daerah Padangan, Purwosari, Ngambon, Tambakrejo, Cepu, Kasiman, Malo dan sekitarnya. [rul]