Ramadan Stop Kran Sepilis
Sabtu, 11 Juni 2016 09:00 WIBOleh Liya Yuliana S *)
*Oleh Liya Yuliana S
Ramadan bulan turunnya Alquran. Di bulan ini pula Allah memberikan sebuah malam keistimewaan. Sebuah malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Dialah malam lailatul qadar. Alquran diturunkan oleh Allah melalui perantara malaikat Jibril.
Alquran, membacanya peroleh pahala sunah, mengamalkannya adalah kewajiban. Saat dua kalimat syahadat terucap dari lisan, di saat itulah terbebankan kewajiban menjalankan apa yang menjadi perintah Allah dan menjauhi segala larangan yang ada di dalam Alquran dan sunah. Di saat itu pula manusia tidak ada pilihan kecuali menjadikan standar dalam kehidupan.
Ramadan, di bulan ini terbebankan sebuah kewajiban untuk menjalankan ibadah saum (puasa) di mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Malamnya menjadi kesunahan untuk menjalankan salat tarawih. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan salat pada malam bulan ramadan (salat tarawih) dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.”
Ramadan bulan kedermawanan. Dengan memberi makan orang yang berbuka Allah menggantinya pahala berlipat. Setara dengan pahala mereka yang berpuasa tanpa mengurangi pahala mereka yang berpuasa. Jika tidak mampu memberi sepiring nasi, sebiji kurma pun jadi.
Di bulan ini pula aneka majelis ilmu diadakan. Baik sebuah jamaah maupun media. Televisi pun tak kalah dalam menyajikan forum majelis ilmu. Mulai sebelum sahur hingga fajar tiba, tengah hari, menjelang berbuka semuanya mewarnai dan menghidupkan suasana Ramadan. Terlebih lagi suguhan yang menyentuh hati dan membuat hati terenyuh adalah saat menyaksikan sang buah hati yang berumur tidak lebih dari 9 tahun sudah mampu menghafalkan Alquran.
Namun di sisi lain kita dapati virus sepilis kian gencar mewarnai negeri. Tidak hanya perkotaan, pedesaan pun menjadi sasaran. Sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) ini kian hari kian kuat bercokol di negeri ini. Sekulerisme pemisahan agama dari kehidupan menjadikan manusia (kaum muslim) mengimani Allah sebagai sang khalik namun di sisi lain mengingkari Allah sebagai sang mudabbir (pengatur). Mengakui Allah menciptakan manusia, alam semesta beserta isinya namun dalam segala aktivitas mengingkari aturan Allah. Baik dalam berdagang, bergaul, bertetangga maupun bermasyarakat tidak lagi menggunakan aturan sang khalik. Terbukti menjamurnya praktik ribawi, pergaulan yang tidak terarah, privatisasi sektor publik, kasus KKN, adat yang bertentangan dengan Islam dan lainnya. Dapat dikata dalam pandangan sekulerisme agama itu hanya mengatur urusan pribadi dan spiritual saja. Selain itu maka lepas dari aturan Islam.
Pluralisme, ajaran ini menganggap semua agama adalah sama. Secara akal tentu kita menolaknya. Bagaimana mungkin agama satu dengan lainnya sama, sementara yang dikultuskan/disembah berbeda. Yang satu menyembah satu Tuhan, lainnya menyembah lebih dari satu Tuhan. Jika keduanya benar tentu mustahil dan hal ini bertentangan dengan akal. Efek dari pluralisme adalah adanya toleransi yang kebablasan. Seakan terbolehkan untuk mengucapkan selamat kepada pemeluk agama lain pada hari rayanya. Berbuka puasa di tempat peribadatan umat lain. Tentu hal ini bertentangan dengan Islam itu sendiri. Bukankah Allah mengingatkan kita dalam surat Al Kafirun “Untukmulah agamamu, untukkulah agamaku.” Toleransi cukuplah tidak mengganggu pemeluk agama lain. Tidak memaksakan mereka masuk ke dalam agama kita. Bukan berarti harus mengikuti ajaran mereka.
Liberalisme, sebuah paham kebebasan. Manusia memiliki kebebasan yang seakan tak terbatas. Bebas berperilaku, bebas berpendapat dan bebas dalam segala hal. Bagaimana mungkin manusia dapat bebas, liar sementara Islam mengajarkan untuk taat. Dalam hal memilih agama manusia dibebaskan namun saat mengikrarkan diri untuk masuk ke dalam Islam maka diwajibkan untuk taat syariat. Karena hidup sekali di dunia ini akan mempengaruhi kehidupan akhirat kelak. Semua akan dimintai pertanggungjawaban sekecil apapun itu. Meski sebesar biji sawi akan dimintai pertanggungjawaban.
Liberalisme ini menjadikan manusia bebas yang serba kebablasan. Seakan tak ada lagi dinding syariat yang menjadi batasan. Alhasil semakin bebas pergaulan, angka aborsi semakin menanjak tajam. Terhitung sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, kasus aborsi di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen setiap tahunnya dan 30 persen pelaku aborsi adalah remaja. Sejak tahun 2012 hingga 2014 bulan Juli, kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta orang dengan rician per tahun kasus aborsi 750 ribu per tahun, 30 persen pelakunya adalah remaja SMP dan SMA. Tidak sedikit kita jumpai remaja muda-mudi saling berboncengan dengan lawan jenis ke sana kemari tanpa rasa malu. Pakaian tidak lagi menampakkan kepribadian sebagai muslim. Aurat kian diumbar bahkan semakin bangga dengan pakaian yang minimalis. Praktik lesbian, homo kian tak terbendung bahkan kampanye LGBT semakin masif. Naudzubillah
Di sisi lain dampak liberalisme dari sektor ekonomi adalah terampasnya hak rakyat oleh para kapital (pihak asing). Privatisasi sektor usaha dari hulu hingga hilir menjadikan aset negara berpindah tangan. Selain itu kebebasan berpendapat menjadikan manusia bebas dalam berekspresi. Tak lagi mempedulikan apakah kata yang terlontar itu benar ataukah salah dalam pandangan syariat.
Ramadan, momen yang tepat untuk membuang jauh sepilis. Momen yang tepat untuk kembali ke fitrah manusia. Saatnya kaum muslim kembali untuk menggunakan aturan sang khalik yang sekaligus sang mudabbir. Tidak hanya mengupayakan yang sunah namun juga mengoptimalkan yang wajib. Ketika yang sunah dilaksanakan tentu yang wajib harus lebih digiatkan. Tak hanya meningkatkan kuantitas namun juga kualitas amalan. (Allahu A’lam)
Penulis adalah guru SD Muhammadiyah 2 Bojonegoro
Ilustrasi foto www.aiya.org.au