Puasa Membentuk Kesalehan Sosial
Senin, 04 Juli 2016 09:00 WIBOleh Roli Abdul Rokhman *)
*Oleh Roli Abdul Rokhman
PUASA sudah populer dikenal dikalangan masyarakat luas sebagai ibadah yang amat istimewa yang memiliki beraneka ragam keunikan. Hikmah dan kebajikan puasa bersifat multidimensional, tidak hanya pada dimensi moral dan spiritual, tetapi juga amat nampak pada dimensi sosial kemanusiaan.
Menurut kajian dari berbagai ahli, ternyata puasa tidak hanya membentuk kesalehan pribadi (individual), tetapi sekaligus juga membentuk kesalehan sosial yang manfaatnya dapat dirasakan banyak orang pada sepanjang sejarah kemanusiaan.
Apabila dilihat dari perspektif akhlak, ternyata puasa memiliki dua semangat yang sangat positif dalam membentuk karakter manusia. Pertama, puasa dapat menumbuhkan semangat pencegahan (kaffun wa tarkun) dari hal-hal yang destruktif (al-muhlikat), karena itu semangat pencegahan ini menjadi basis penentu kesalehan individual.
Sedangkan yang kedua, puasa dapat memunculkan semangat pengembangan alias motivasi dan dukungan (hatstsun wa `amalun)terhadap hal-hal yang mulia, konstruktif, atau dalam bahasa Imam Ghazali,puasa dapat menumbuhkan munculnya dukungan terhadap hal-hal yang menyelamatkan manusia (hatstsun ila al-munjiyat), karena itu semangat pengembangan ini menjadi pangkal kepedulian sosial yang pada gilirannya membentuk kesalehan sosial (altruistik).
Dimensi sosial dalam ibadah puasa sangat kentara sekali apabila ditilik dari beberapa hal berikut ini yaitu. Pertama, orang yang puasa harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Aktifitas ini merupakan latihan agar kita mampu mengendalikan diri dari dorongan syahwat yang berpusat di perut (syahwat al-bathn). Menjalankan puasa juga merupakan sarana efektif agar bisa berempati kepada orang-orang miskin.
Orang yang tidak pernah lapar, tidak bisa berempati kepada orang lain. Karena itu ketika malaikat Jibril AS menawarkan kepada Rasulullah SAW kekayaan melimpah (bukit emas), Rasulullah Saw, menolaknya, seraya bekata: "Biarlah aku kenyang sehari dan lapar sehari."
Dalam beberapa referensi disebutkan, bahwa, lapar itu ada dua macam, yaitu lapar biologis dan lapar psikologis. Lapar biologis akan lekas sembuh dengan cara makan makanan yang bergizi. Sedangkan lapar psikologis, seperti lapar kekuasaan, kehormatan, kekayaan,kerakusan pada nikmat keduniaan, tidaklah gampang menyembuhkan lapar psikologis, untuk itu diperlukan proses yang intensif sehingga merubah minsed dan karekter, dalam kontek lapar psikologis,ternyata ibadah puasa menjadi terapi yang paling efektif untuk mendefoult kesadaran diri setiap orang agar tetap dalam kendali.
Bahkan telah diakui oleh banyak ahli, bahwa, puasa dapat menyembuhkan lapar biologis ataupun psikologis yang dialami oleh sebagian besar manusia yang masih menjalani hidup dialam semesta ini, panggilan menunaikan ibadah puasa telah terbukti dapat membebaskan semua insan beriman dari penyakit vested interest, untuk selanjutnya lebih peduli dan sadar akan kepentingan orang lain (sosial).
Kedua, orang yang puasa disuruh banyak berderma. Nabi SAW menyebut, bulan puasa sebagai Syahr al-Muwasah atau bulan kepedulian sosial. Rasulullah SAW sendiri merupakan orang yang paling banyak bederma, dan dalam bulan Ramadan, beliau lebih kencang lagi bederma, melebihi angin barat. (HR Hakim dari Aisyah).
Ketiga, pada penghujung puasa, kita disuruh mengeluarkan zakat fitrah, di luar zakat mal, tentu saja. Kewajiban ini seakan melengkapi dimensi sosial dari ibadah puasa. Karena, tanpa zakat, pahala puasa kita belum sampai kepada Allah. Ia masih bergantung dan berputar-putar di atas langit.
Di luar semua itu, puasa melatih dan mendidik setiap insan agar menjadi manusia bermental giver (pemberi), bukan taker (peminta-minta). Ungkapan take and give yang populer di masyarakat, tentu tidak sejalan dengan sepirit menjalankan ibadah puasa. Ungkapan itu semestinya berbunyi, giving and receiving.
Orang puasa sejatinya sedang meneladani Allah SWT, sejalan dengan doktrin, "Takhallaqu bi akhlaq Allah." Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Nabi Muhammad SAW sebagai hamba pilihan-Nya elah menjadi teladan dalam berbagi kasih dan sayang terhadap seluruh makhluk-Nya.
Maka, orang yang berpuasa diminta meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu kepada umat manusia dengan cara berbuat baik dan berbagi kegembiraan. Dengan begitu, puasa membuat kita cerdas, baik secara moral, spiritual, maupun sosial, dan inilah karakter orang takwa.
Barokallah fiikum, semoga mencerdaskan dan mencerahkan, serta menjadi guidance kita dalam mengakhiri ramadan. (*)
*) Presidium KAHMI-Bojonegoro