Pondok Gizi Sukomoro, Sukorejo-Bojonegoro
Gombel Doggar Bikin Kapok Lombok
Rabu, 23 September 2015 12:00 WIBOleh Mulyanto
Oleh Mulyanto
Kota-Warung ini cukup bersahabat bagi yang punya selera pada makanan pedas. Semua menu terasa menggigit pedasnya. Berada di lokasi yang cukup strategis, kurang lebih 50 meter dari Pos Lintasan Kereta Api Jalan Monginsidi, Desa Sukorejo, Kecamatan Kota, di sebelah timur jalan, Pondok Gizi Suko Moro mengundang orang untuk mampir. Sesuai namanya, Suko Moro, begitulah paling tidak harapannya. Yakni, orang merasa terpanggil secara sukarela untuk mampir menikmati menu makanan dengan cita rasanya yang khas itu
Hal itu dibenarkan Ridwan (55), pemilik warung makan tersebut. "Suko itu artinya ikhlash (rela), moro itu datang," terang Ridwan. Dia berharap orang yang makan di warungnya datang dengan tanpa paksaan, tetapi karena rasa senang.
Saat BBC datang di Sukomoro, Ridwan sedang menyerahkan uang kembalian pada lelaki muda yang membeli beberapa buah lauk.
"Lhoh, Pak uang saya tadi 20 ribu," kata lelaki itu sambil menunjukkan bahwa uang kembaliannya kelebihan. Ridwan mengira uang yang disodorkan lelaki itu Rp 50 ribu.
Pondok Sukomoro menawarkan berbagai menu yang semuanya serba dessin, pedes dan asin. Seperti nasi bungkus yang diberi sebutan Gombel Doggar oleh Ridwan, meski hanya sekepalan tangan tapi bumbu pedasnya benar-benar terasa. Gombel Doggar singkatan dari Sego Sambel Endog Sak Igar (nasi dengan lauk sambal dan telur separo). Yakni nasi bungkus ukuran kecil sekitar 5 sampai 6 sendok habis dengan lauk sederhana, goreng tempe kecap, mie, sambal dan potongan kecil telur ayam. Sambalnya maknyus pedasnya.
Warung yang buka setiap hari mulai pukul 15.30 WIB sampai pukul 03.30 WIB dini hari itu sudah ada sejak tahun 2012. Sebelumnya adalah sebuah toko kelontong yang menjual aneka ragam barang rumah tangga sejak sekitar tahun 60an, milik orang tua Ridwan.
Pengunjung cukup ramai. Sekitar 20an orang sedang menikmati pedasnya menu Sukomoro. Rata-rata mereka adalah masyarakat menengah ke bawah. Banyak yang dari kalangan mahasiswa.
Siska, seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Bojonegoro, mengaku sering mampir sepulang kuliah dan senang dengan menu Gombel Doggar. "Porsinya pas. Pedas sekali sambelnya. Tapi saya suka pedas kok," katanya selepas menghabiskan sebungkus gombel doggar. Harganyapun murah, kata Siska, dan itu pas untuk kantong mahasiswa. Gombel Doggar harganya memang cukup murah, hanya Rp 2500.
Pengunjung lain, Sukir (35), juga mengaku sering makan di Sukomoro. Dia mengaku senang dengan desain warung yang unik. "Nama warungnya unik, menu-menunya juga. Terasa bersahabat sekali," terangnya. Sukir menyebut nama Gombel Doggar dan Dessin itu singkatan yang unik, lucu, kreatif dan mengundang rasa senang. Sukir juga tertarik dengan sebuah tulisan yang tertempel di dalam warung, Kejujuran. Kata Sukirno, itu juga menarik. Di sini orang bisa mengambil apa saja, ngambil sayur dan lauk apa saja, dan punya kemungkinan untuk menipu, tapi tulisan di dinding itu seperti jadi pengingat.
Istri Ridwan, Hartini (49), yang bertugas mengatur di belakang, di dapur, mengatakan bahwa pedas adalah ciri khasnya. Sesuatu itu harus punya kekhasan. Hartini mengaku bahwa resep masakannya tidak pernah berubah. Misalnya harga cabai sedang mahal, dia tetap memberlakukan resep dan harga sebagaimana biasanya. "Rugi itu sudah jadi resiko. Yang penting jangan sampai mengubah takaran menu masakan," terangnya. Kepercayaan dan kepuaasan pelanggan adalah yang utama bagi Hartini.
Setiap harinya, Hartini menghabiskan beras sebanyak 40 sampai 50 Kg terhitung mulai buka hingga tutup. Jumlah itu berjalan normal setiap hari. Tidak mengalami penurunan yang cukup berarti.
Sekarang, Sukomoro memiliki 5 karyawan yang bertugas di belakang untuk menyiapkan menu dan 1 orang di depan yang melayani pelanggan. Sukomoro juga mempersilakan pelanggan untuk mengambil nasi atau tanduk sendiri. Hal itu sudah diantisipasi oleh Ridwan kalau ada pelanggan yang tidak betah menunggu lama untuk dilayani. pelanggan bisa mengambil piring, mengeduk nasi sendiri dengan piring yang sudah disediakan di sebuah meja.
Menu-menu di Sukomoro cukup banyak. Ada beberapa sayur seperti lodeh, kare, asem, dan sup yang semuanya tidak ada yang tidak pedas. Ada juga jajanan berupa gorengan seperti tempe, tahu isi, gendos, jadah, kucur, pilus, ote-ote, dan jajanan rebus seperti pisang, kacang tanah, ketela dan lain-lain. Semua ditata menantang di sebuah meja. Bagi penyuka jajanan tradisional, menu itu cukup mengundang syahwat untuk melahapnya. Serta yang mungkin jarang ada di tempat lain, yaitu jenang grendul. Jenang grendul ini berupa butiran-butiran seukuran pentol bakso kecil yang terbuat dari tepung berasa manis, tersaji bersama santan hangat. Baunya wangi dan rasanya tentu saja lezat.
Saat BBC hendak beranjak dari Sukomoro, nampak seorang lelaki sedang berkeringat wajahnya melahap makanan dalam piring. Dia seperti tersiksa. Tapi yakinlah, dia tidak benar-benar tersiksa sehingga kapok. Kalaupun toh kapok, itu sebatas kapok lombok. Besok dia akan datang kembali dan menikmati pedasnya menu masakan Sukomoro.(mol/moha)