Silahturahmi Saat Lebaran, Sebuah Refleksi dan Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini
Senin, 26 Juni 2017 07:00 WIBOleh Said Edy Wibowo *)
*Oleh Said Edy Wibowo
LEBARAN atau Idul fitri, seringkali hanya menjadi ritual orang dewasa. Kekhusyukan atau kesyahduan berlebaran lebih banyak dirasakan oleh mereka yang sudah aqil baligh (dewasa secara agama). Idul fitri yang mengandung makna sebagai sebuah hari kembalinya ke-fitrah-an manusia, hanya dipahami dan termaknai secara baik oleh mereka yang telah memiliki kemampuan pemahaman (nalar) yang tinggi.
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa Idul fitri yang merupakan ‘penutup’ dari rangkaian ibadah saum (puasa), adalah sebuah rangkaian ibadah dalam agama Islam, yang kerap menjadi tumpuan dan harapan setiap muslim dewasa. Hal yang paling diimpikan dari orang muslim dewasa dari Idul fitri ini adalah ketercapaian keinginannya menjadi manusia bak seorang bayi yang baru lahir, yaitu menjadi orang yang suci-bersih.
Di luar kelompok orang tersebut, secara jelas bahwa ada anak yang dibawah usia aqil baligh, yaitu anak-anak usia dini. Bagi kelompok anak-anak usia dini atau anak-anak yang masih belajar di pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar, lebaran kurang dapat mencapai makna yang sejati. Bahkan, kita sangat yakin mereka tidak tahu arti Idul fitri dan ke-fitrah-an manusia seperti bayi yang baru lahir.
Berlebaran, bagi mereka adalah suasana hari yang tidak lebih dari kesan ‘selebritis’ semata. Arti selebritis di sini bukan kesannya mirip kesan para artis melainkan makna lebaran bagi anak-anak kita yang masih berada di tingkat usia pendidikan pra-sekolah maupun di tingkat pendidikan dasar, lebih banyak memahami dan memaknai lebaran sebagai pesta sosial, yang penuh keceriaan, gelak tawa, penuh makanan dan ramai. Bahkan, untuk tahun-tahun yang lalu, berlebaran adalah bermain petasan, kembang api dan makan ketupat, serta makan kari ayam.
Dari pengalaman seperti itu, maka nilai perayaannya (celebrite) lebih menonjol, dibandingkan dengan nilai kesyahduannya lebaran sebagai hari fitri.
Pertanyaan kita saat ini, adalah bagaimana ikhtiar kita, baik sebagai seorang kakak, seorang ayah, atau seorang ibu dapat membantu memberikan makna lebaran yang berharga bagi adik-adik kita yang masih lucu-lucu ini. Bagaimana usaha kita untuk memaknakan Lebaran sebagai hari suci kepada anak usia dini.
Bila kita lupa untuk merenungkan pertanyaan ini, maka sinyalemen di awal tulisan akan semakin terbukti, yaitu anak-anak kita yang kecil, akan lebih memaknai lebaran hanya sekadar sebuah pesta sosial belaka dan mereka kurang menemukan makna lebaran yang lebih mendalam, lebih cocok untuk pengembangan pribadinya, dibandingkan dengan memaknai lebaran sebagai pesta sosial belaka.
Oleh karena itu, mau tidak mau, dengan kemampuan yang ada dan lingkungan sosial yang kita miliki masing-masing, kita memiliki kewajiban memberikan lingkungan pembelajaran sosial kepada anak usia dini, mengenai berlebaran, sehingga anak kita mampu mengangkat ‘denyut’ makna hari suci.
Perlu ditegaskan di sini bahwa memang benar anak di usia dini, tidak mesti dan bahkan jangan sekali-kali memberikan beban pembelajaran yang tidak patut untuk diberikan kepadanya. Oleh karena itu, anak di usia dini tidak boleh dibebani dengan muatan kepentingan yang aneh-aneh. Dengan kata lain, kalau memang anak-anak kita baru mampu memahami lebaran sebagai sebuah pesta kebahagiaan, biarkanlah mereka pahami seperti apa adanya.
Jika bagi mereka makna lebaran itu adalah makan ketupat, biarkanlah berkembang seperti itu adanya. Sebab, jika mereka diceramahi tentang makna lebaran, terlebih lagi diceramahi dengan dalil agama atau kajian ilmiah, mereka akan semakin bengong, bingung dan tidak menyukai datangnya lebaran.
Hal yang paling penting bagi kita saat ini, adalah memberikan suasana lingkungan lebaran, sebagai bagian dari usaha sadar orang tua dalam membimbing dan membina tahapan perkembangan anak-anak. Inilah poin penting, dan kesadaran penting yang perlu kita garis bawahi dengan benar. Kita tidak mungkin merubah pesta sosial lebaran anak-anak. Yang akan kita lakukan, adalah memberikan sentuhan pembelajaran atau sentuhan edukatif kepada anak-anak yang sedang merayakan pesta Lebaran.
Merujuk pada pemahaman seperti itu, dapat dijelaskan kembali bahwa anak usia dini adalah anak usia dini. Mereka bukan anak dewasa yang bisa dijejali dengan sejumlah informasi atau materi pembelajaran yang berat. Karena secara psikologi, bermain, bagi seorang anak usia dini, merupakan salah satu tugas dalam tahap perkembangannya. Dengan bermain atau metode permainan itu pula, kematangan dan kedewasaan anak kita akan berkembang secara normal dan optimal.
Berkaitan dengan hal tersebut, bagi kita atau orang tua hal yang paling penting itu adalah menciptakan lingkungan sosial sebagai lingkungan belajar yang penuh suasana psikologis yang menyenangkan sesuai dengan tahap perkembangan psikologinya. Usaha ini adalah usaha yang relevan dan sangat mendukung untuk membangun lingkungan pendidikan di rumah bagi anak-anak di usia dini.
Contoh Mendasar
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan pengalaman spiritual dan pengalaman sosial kepada anak usia dini. Dalam hal ini, kata kunci dalam usaha memaknakan lebaran kepada anak usia ini, adalah memberikan pengalaman nyata kepada anak didik. Usaha memberikan pengalaman nyata, merupakan usaha yang sangat penting bagi penciptaan lingkungan anak usia ini. Bahkan, dapat dikatakan bahwa memaknakan lebaran kepada anak usia dini, bukanlah dengan cara menceramahi, atau berdiskusi dengan anak usia dini mengenai makna lebaran, melainkan memberikan pengalaman spiritual atau pengalaman sosial kepada anak didik, mengenai suasana lebaran. Pemberian pengalaman nyata ini, dapat dilakukan ketika salat Idul fitri, bersilaturahmi dengan orang tua, sanak saudara, tetangga atau berziarah ke makam.
Rangkaian lebaran tersebut, merupakan rangkaian sosial yang strategis dan penting untuk meningkatkan penghayatan anak-anak terhadap lebaran. Dalam usaha memberikan pengalaman lebaran ini, kadangkala banyak yang khilaf.
Ada beberapa ibu muda (atau ibu yang sudah tua dan mempunyai banyak anak) kerap kali merasa malas untuk mengajak anaknya berjalan-jalan bersilaturahmi ke sanak saudara. Andai pun dirinya mau melakukan silaturahmi, anaknya kerapkali ditinggalkan di pembaringannya.
Hal yang kedua, seorang ibu atau bapak, juga kakak-kakaknya, perlu lebih banyak memberikan ruang partisipasi anak usia dini untuk mengetahui seluk-beluk atau apa yang ada di sekitar dirinya, ketika dia mengalami dan menjalani rangkaian kegiatan lebaran. Orang yang lebih dewasa, dituntut untuk banyak bercerita, menceritakan apa yang sedang terjadi, atau apa yang sedang dilakukan. Sehingga, anak kita ini bukan hanya mengalami dan menjalani rangkaian berlebaran, tetapi juga mengetahui mengenai apa yang dilakukannya.
Untuk sekadar contoh, ketika kita bersilaturahmi ke nenek-kakek, seorang ibu atau siapa pun, perlu menceritakan siapa dan mengapa bersilaturahmi ke orang tua. Ini penting, selain memberikan pembinaan mental dan pengetahuan tentang akhlakul karimah (adab yang baik) juga memberikan pengetahuan, mengenai alasan pentingnya mengunjungi ke orang tua.
Sudah barang tentu, memang bahasa yang digunakannya bukanlah bahasa seorang kiai dalam menjelaskan makna shilaturahmi, atau penjelasan seorang guru dalam menerangkan ciri-ciri anak soleh kepada orang tua. Bahasa yang digunakan, sudah barang tentu adalah bahasa yang ringan, sederhana yang sesuai dengan suasana lebaran saat itu.
Ketika berziarah pun, orang tua banyak yang malas untuk bercerita mengenai ‘silsilah keluarga’. Baik ketika di makam, maupun ketika sudah sampai ke rumah, para orang tua tidak banyak yang suka menceritakan silsilah keluarga. Padahal, usaha orang tua ketika berziarah, dapat menumbuhkan kesadaran bersaudara, baik dengan nenek-moyangnya, maupun dengan sanak saudara yang hari ini (mungkin) masih berjauhan. Dengan usaha menceritakan silsilah keluarga ini, maka anak-anak tidak akan mengalami putus hubungan kekeluaragaannya. Dengan kata lain, ziarah kubur bukan hanya bermanfaat untuk menyadarkan seseorang akan ‘hari esok’ (persiapan kematian), melainkan dapat dijadikan untuk usaha ishlah atau mengurai ulang jalinan persaudaraan atau kekerabatan sanak saudara.
Sebuah Refleksi
Memberikan pengalaman nyata dan mengajak berdialog anak usia dini, merupakan sebuah upaya meningkatkan partisipasi psikologi anak-anak dalam memahami dan memaknai kejadian hidup atau perilaku dirinya. Baik di lingkungan keluarga, persekolahan maupun di masyarakat, seorang anak perlu diajak untuk mampu menunjukkan partisipasi psikologisnya dalam memahami dan memaknai hidup.
Sekali lagi perlu dikemukakan bahwa kerap kali, orang tua banyak yang khilaf terhadap pentingnya pempartisipasian anak-anak dalam berlebaran. Orang tua banyak yang membiarkan anak-anaknya untuk berlebaran dengan gayanya masing-masing, misalnya bermain petasan atau nonton TV belaka. Sementara usaha untuk berziarah ke makam atau shilaturahmi ke tetangga dan sanak saudara, lebih banyak dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak mereka lebih banyak dibiarkan dalam suasana hidupnya sendiri.
Alangkah lebih baiknya, para orang tua membawa anak-anaknya untuk berkunjung ke sanak saudara, atau karib kerabat. Bahkan, akan lebih baik lagi, bila mereka bertemu dengan anak-anak yang seusianya, kemudian mereka berinteraksi dengan suasana keanak-anakan. Pertemuan antar anak-anak tersebut, akan bermanfaat bagi proses pendidikan sosial. Bahkan, lebih jauhnya lagi, pertemuan antar anak dalam suasana lebaran ini, berpotensi sebagai bagian dari proses peningkatan kecerdasan emosional anak didik. Karena dengan bertemu dengan anak seusianya, maka setiap anak akan merasakan ‘suasana hidup’ Lebaran yang lebih bermakna.
Merujuk terhadap gejala seperti itu, dapat dikatakan bahwa hari raya lebaran, pada dasarnya merupakan momentum yang tepat bagi orang tua untuk memberikan pembelajaran kecerdasan emosional kepada anak-anaknya. Sehingga, anak-anak ini benar-benar menjadi homo socius atau makhluk yang mampu memahami diri sekaligus mampu bermasyarakat dengan lingkungannya.
Dengan memahami uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahwa suasana lebaran pada dasarnya sangat potensial sebagai ‘pesta sosial’ yang dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran, pembinaan dan pembangunan karakter (character building) bagi anak-anak kita, sehingga memiliki kematangan belajar yang bisa dipercepat dan mampu menunjukkan kematangan hidupnya.
Hal yang terpenting bagi orang tua, adalah memberikan ruang pengalaman nyata, baik dengan berkomunikasi maupun dengan pempartisipasian anak dalam berbagai kegiatan lebaran, sehingga anak memiliki pengalaman berLebaran secara psikologis, kognisi dan sosial.
Semakin banyak pengalaman berlebaran anak, maka akan semakin mendukung pada usaha pemaknaan lebaran pada anak usia dini. Semakin jarang dan jauh, dari pengalaman berlebaran, maka anak-anak hanya akan mampu menangkap lebaran sebagai pesta petasan dan makan ketupat.
Tidak lebih dari itu, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H Mohon maaf Lahir Batin. (*/inc)
*) Penulis adalah Pengajar di MAN 5 Bojonegoro dan Penggiat Pramuka Bojonegoro