Opini
Orang Bertaqwa Harus Kaya
Minggu, 20 Mei 2018 08:00 WIBOleh Drs H Sholikhin Jamik SH MHes *)
*Oleh Drs H Sholikhin Jamik SH MHes
DALAM surat Al-Baqoroh (3-4) disebutkan bahwa salah satu ciri orang bertaqwa adalah mereka yang menafkahkan sebagian rezeki atau hartanya kepada orang yang berhak menerimanya.
Islam mengatur cara mendistribusikan harta yang dimiliki kepada orang lain melalui mekanisme zakat maal dan zakat fitri, Infak serta shodaqoh. Itu semua di atur dalam Islam sebagai bentuk kepedulian Islam pada sesama, kedermawanan, kesetia kawanan sosial. Dan Islam memandang harta tidak hanya punya makna secara individu (kesalehan ritual) tapi juga secara sosial (kesalehan sosial) serta sebagai wujud tanggung-jawab bersama atas manusia lain.
Tapi mungkinkan kita bisa mendistribusikan sebagian harta yang kita miliki kepada orang lain, kalau kehidupan ekonomi kita terbatas atau miskin?. Karena itu salah satu cara untuk menjadi orang bertaqwa, kita perlu menjadi orang kaya (berkecukupan)
Islam mendorong umatnya untuk menjadi orang berharta. Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk kerja, kerja, kerja. Melalui kerja itu, mereka akan mendapatkan rezeki dari Allah. Islam mengharuskan seseorang beriktiyar, berusaha keras, untuk menggapai sukses dunia akhirat. Semangat kerja keras dan menjadi kaya itu juga tersirat dalam Al-quran. Di kitab suci tersebut harta atau uang di sebut qiyaman atau sarana pokok kehidupan. Karena sebagai sarana, harus digunakan dengan baik. Kelebihan rezeki dari Allah, agar dapat fadhillah, harus selalu di cari agar kita berkecukupan untuk beribadah.
Yang menarik, harta atau uang dalam Al-qur-an di sebut dengan kata maal, di sebut 25 kali. Sedangkan jamak maal adalah amwal di sebut 61 kali. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah berpendapat bahwa pentingnya harta berkecukupan atau menjadi orang kaya
Menjadi orang kaya agar bisa menafkahkan sebagian rezeki yang kita meliki kepada orang lain sudah di contohkan Nabi kita Muhammad. Dalam buku Muhammad sebagai pedagang, Ippho Santoso, 2008, ternyata Nabi kita Muhammad dari 63 tahun umurnya, hanya 3 tahun beliau hidup miskin. Beliau benar-benar businessman andal sejak kecil. Di saat berumur 12 tahun, beliau sudah menjadi enterpreneur dan sudah berdagang sampai ke Syiria. Saat berumur 25 tahun, beliau sudah kaya-raya dan telah melakukan perjalanan bisnis 18 kali keluar negeri. Selain ke Syiria, bisnisnya sampai ke Yaman, Basra, Irak,Yordania, Bahrain dan simpul-simpul bisnis lainnya dari Jazirah Arab, sehingga ketika menikah, beliau mampu membayar maskawin yang besar sekali nilainya. Banyak sumber menyatakan, mahar atau maskawin yang diberikan beliau adalah 100 ekor unta. Kalau di konversikan ke kurs rupiah sekarang, kalau unta harganya Rp 12 juta per ekor, maka mas kawin beliau kepada Siti Khotijah adalah 1,2 miliar, hanya pemuda yang kaya raya saja yang bisa memberi maskawin sebesar itu.
Dan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yang sangat padat baik dalam berdagang maupun berdahwah tidak mungkin Nabi ke mana-mana harus menunggu dan menyerahkan nasib perjalanannya kepada kendaraan umum. Dari banyak sumber yang dipercaya, dikatakan bahwa Nabi punya sejumlah keledai dari jenis yang terbaik untuk beraktivitas sehari-hari. Untuk berperang, beliau punya sejumlah kuda dan unta. Juga dari jenis yang terbaik. Bahkan, untanya berjenis Al-Qasha, yang terkenal sebagai jenis kendaraan terbaik saat itu, yang kalau di bawakan ke konteks sekarang tentu tak ada bedanya dengan mobil termewah dan terkuat yang bisa dipacu sangat tinggi dan akselerasi sangat tangguh.Yang mungkin bisa disamakan dengan mobil-mobil sekelas Mercedes, BMW, Ferrari atau Lamborghini.
Sayangnya yang sering diangkat para pendakwah Nabi itu Miskin. Padahal Nabi bukan miskin (baca kaya raya) melainkan Zuhud. Meski berkecukupan, beliau selalu bersikap sederhana, rumahnya, pakaiannya, makanannya, minumannya sederhana. Jadi menurut Nabi sederhana adalah sikap hidup, bukan mental. Kalau sederhana menjadi mental orang muslim, maka selamanya akan menjadi kaum peminta. Nabi mentalnya menjadi orang kaya, sikapnya tetap sederhana. Jadi hidup sederhana, setelah kita berkecukupan harta atau kaya.
Nabi juga bersabda, bahwa ada sepuluh sahabat Nabi yang dianggap istimewa dan dijamin Nabi masuk surga. Sembilan diantara sepuluh sahabat itu, ternyata orang yang sangat kaya raya, para konglemerat di zamannya.
Hanya satu sahabat Nabi yang miskin. Dia adalah Bilal, seorang budak kulit hitam yang punya suara emas (menjadi muazin andal). Sejak awal beriman kepada Allah, walaupun menjadi budaknya Abu Sofyan, agar keluar dari Islam, Bilal di siksa dengan hantaman batu besar, siraman air keras di gurun pasir yang panas, tapi Bilal tetap bertauhid dan dalam bibirnya hanya berucap Allah, Allah, Allah. Artinya walau miskin, Bilal di jamin masuk surga karena tauhid nya sangat tangguh. Bagaimana dengan tauhidnya orang miskin sekarang?.
Sedangkan sembilan diantara sepuluh sahabat lainnya adalah para sahabat pekerja keras yang berharta. Namun, mereka tidak menggunakan harta yang dimiliki untuk kesenangan pribadi, api untuk kemaslakatan orang banyak. Harta itu memberikan manfaat bukan hanya diri dan keluarganya tapi untuk umat lain.
Salah seorang diantara mereka adalah Abdurrahman bin Auf. Dia pedagang sukses. Ketika bersama Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah, semua harta yang dimiliki di Mekah ditinggal begitu saja.Sebagai penduduk baru di Madinah, dia tidak mengenal satu sama lain. Suatu hari dia dipertemukan dengan seorang muslim yang siap membantunya, namanya Sa’d Ibn Al-Rabi’. “Saudaraku,” kata Sa’d ibn Al-Rabi’ kepada Abdurrahman ibn Auf. ”Aku memiliki dua buah kebun yang luas, aku juga memiliki dua rumah yang nyaman. Diantara keduanya pilihlah yang kau suka dan ambillah untukmu.”
Mendengar tawaran itu, bagi sebagian orang pasti menggiurkan, tapi bagaimana sikap Abdurrahman ibn Auf terhadap tawaran itu? Dia berkata, ”Terima kasih atas segala kebaikanmu, saudaraku, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sebaiknya, tunjukkan saja kepadaku jalan ke pasar.”
Dia punya semangat hidup yang mandiri dan bermental enterpreneur. Ada ungkapan yang menjadi pandangan hidup suksesnya, ”Sungguh seandainya aku mengangkat batu, niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak ”.
Akhirnya, setelah ditunjukkan jalan ke pasar, Abdurrahman ibn Auf menjadi kuli pada minggu pertama, lalu menjadi makelar pada bulan berikutnya. Selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah menjadi pedagang sukses, paling jujur, hingga ia berhasil membasmi kungkungan hegemoni ekonomi riba ala Yahudi dan menggantinya dengan ekonomi Islam.
Saat itu Abdurrahman ibn Auf sangat populer sebagai usahawan muda yang sukses yang jumlah aset kekayaannya lebih dari 2.560.000 dinar atau mendekati 4 triliun. Itu belum termasuk aset properti yang ia miliki.
Dengan kekayaan itu, untuk melaksanakan perintah Surat Al-Baqoroh (3-4), Abdurrahman ibn Auf pernah dalam satu kali duduk, ia berinfak sebesar 64 miliyar, Dia juga menyantuni para veteran perang Badar yang masih hidup dengan santunan sebesar 400 dinar (setera setengah miliyar lebih) perorang untuk veteran yang jumlahnya tidak kurang dari 100 orang.
Dialah contoh orang yang menggunakan keahlian dagangnya untuk mengumpulkan harta kekayaan. Namun harta kekayaan yang diperolehnya dengan kerja keras didistribusikan untuk kemanfaatan umat atau umum. Maka kalau kita mencontoh Abdurrahman ibn Auf, sebagai orang bertaqwa masuk surga tanpa hisab, maka harus menjadi orang bertaqwa yang kaya, dengan cara bekerja keras dan bersungguh-sungguh, kemudian kalau sudah kaya sebagian harta yang di miliki harus didistribusikan kepada orang yang berhak menerimanya, yaitu orang-orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang berjhad di jalan Allah, tapi hidupnya tetap sederhana. Ayo ! (*/imm)
Ilustrasi: islampos.com
*) Penulis Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro