News Ticker
  • Sembahyang Rebutan Umat Tri Dharma Bojonegoro Diserbu Ratusan Warga
  • Diduga Akibat Korsleting Listrik, Rumah Warga Sumberrejo, Bojonegoro Ludes Terbakar
  • Laga Persahabatan, Kejari Bojonegoro FC Kalahkan Jurnalis Bojonegoro FC 2-1
  • Dishub Bareng Wabup Bojonegoro Pasang Banner Parkir Gratis di Jalan Protokol
  • Hingga Agustus 2025, Pemkab Bojonegoro Terima Penyaluran DBH Sebesar Rp 1,97 Triliun
  • Sepanjang Hari Ini, 4 Kebakaran Terjadi di Wilayah Kabupaten Bojonegoro
  • Bupati Bojonegoro Tekankan Pejabat Publik Beri Pelayanan Terbaik untuk Masyarakat
  • Tabrak Pagar Pembatas Jembatan, Pengemudi Panther di Kapas, Bojonegoro Meninggal Dunia
  • Meski Dana Bantuan dari Pemerintah Belum Cair, KDMP Padangan, Bojonegoro Mulai Beroperasi
  • Bimbel Kampung Ilmu Kota Bojonegoro Dibuka
  • Berikut Ini Optimalisasi Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau di Kabupaten Bojonegoro
  • Begini Cara Siswa dan Mahasiswa Bojonegoro Siap Taklukkan Dunia Kerja
  • JKSN Jatim Deklarasikan Dukungan untuk Gubernur Khofifah, Tolak Aksi Demo 3 September
  • KAI Buka Lowongan Kerja untuk Talenta Muda, Tegaskan Proses Transparan dan Gratis
  • Permintaan Produksi Turun, Ratusan Buruh Pabrik Rokok MPS Padangan, Bojonegoro di PHK
  • Peserta Gerak Jalan Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Kanor, Bojonegoro Meninggal Dunia
  • Pemkab Bojonegoro Perkenalkan Apilasi e-Bakul, Dorong ASN Belanja Produk UMKM Lokal
  • Pemkab Bojonegoro Optimalisasi Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau
  • Pemkab Bojonegoro Raih Penghargaan Kategori Pemberdayaan Masyarakat Desa dalam Anugerah Desa Inspiratif
  • Peringati HUT Kemerdekaan RI, PNM Cabang Bojonegoro Gelar Lomba Anak dan Cek Kesehatan Gratis
  • Menpora RI Hadiri Festival Olahraga Tradisional di GOR Utama Bojonegoro, Beri Apresiasi Tinggi
  • Kantor Bea Cukai Bojonegoro Musnahkan 8,5 Juta Batang Rokok Ilegal Senilai Rp 12,6 Miliar
  • Bupati Setyo Wahono Kukuhkan Pengurus Baru GOW Bojonegoro
  • Hari Ketujuh, Semburan Api dari Sumur Tua di Bogorejo, Blora Berhasil Dipadamkan
Mereka yang Bergerak dari Pinggir

Mereka yang Bergerak dari Pinggir

*Oleh Erliza Achmad Akbar

Tujuh belas agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap setia
Membela negara kita

Mungkin pembaca sudah akrab dengan lagu yang rutin dinyanyikan setiap perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ini. Lagu yang diciptakan oleh HS Muthohar (Habib Husein bin Salim Al-Muthohar), paman Habib Umar Muthohar asal Semarang tentu rutin menghiasi setiap kegiatan perayaan Agustusan di sekolah dan instansi pemerintahan umumnya. Baiklah, mari kita kumandangkan lagi. Setuju?

Lupakan sejenak kelesuan ekonomi negara kita akhir-akhir ini, lupakan sejenak kesedihan akibat konflik keagamaan yang pecah bulan silam, lupakan dulu nilai tukar dolar yang melambung. Marilah kita sambut bulan yang sakral dengan gegap - gempita dan penuh sukacita ini dengan banyak cara tentu saja.

Saya percaya jika di dalam setiap anak bangsa yang lahir di sudut Nusantara tertanam jiwa nasionalisme. Jiwa yang selalu bergetar dan tertunduk haru saat lagu kebangsaan dikumandangkan. Terlepas dari sepanjang 70 tahun negara ini yang tegak dengan jalan berdarah - darah dan penuh pengorbanan dari pahlawan ini belum sesuai dengan apa yang dicitakan sejak dulu, ini lain soal. Selebrasi tetaplah selebrasi. Bukankah kehidupan terkadang bukan bergerak dari waktu ke waktu, melainkan dari suasana ke suasana?

Dengan cara apa kemerdekaan itu dinyatakan?.Dengan cara apa kemerdekaan itu diisi?.Dan untuk apa kemerdekaan itu dinyatakan?Tentu jadi pertanyaan lagi setelahnya.

Bahwa begitu banyak orang yang menganggap Indonesia adalah panggilan jiwa dan dengan demikian dianggap juga sebagai tugas personal masing - masing yang mutlak dimiliki jika ingin dianggap sebagai civil society yang baik, maka setiap perayaan Agustusan mungkin adalah sebuah panggung kecil tempat dimana orang punya kesadaran yang sama.

Di kampung saya, tepatnya di Desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, gaung kemerdekaan itu masih tetap terjaga dari dahulu sampai detik ini. Lazimnya perayaan tujuh belasan di tempat lain, jauh hari beberapa bulan sebelumnya, para pemuda yang cangkrukan sudah mengobrol ringan dalam sebuah percakapan sederhana. Apa saja lomba kemerdekaan tahun ini? Apakah karnaval nanti memakai kostum yang berbeda dari tahun lalu atau masih sama memakai kostum bencong dengan selendang warna-warni dengan susu buatan dari balon yang diisi air? Apa yang disiapkan agar berbeda dari pawai peserta lain? Jadi perhatian publik. Publik sepanjang jalan itu tentunya.

Lalu di warung mungkin sebagian sudah bicara juga soal bagaimana mekanisme penggalangan dana untuk lomba nanti, cara menggertak lurah agar keluar dana lebih banyak ,menggalang kolektivitas orang kaya kampung agar sudi meminjamkan mobil boks untuk pawai atau membiayai sound sistem yang mengggelegar sepanjang jalan, atau sekedar sumbangan jajanan ringan berupa beberapa besek telo godok dan kacang godok. Semua bergerak. Semua ingin punya peran.

Bahkan saking pentingnya, kontroversi seputar rute yang diambil saat gerak jalan saja mampu memicu keributan serius di kalangan antar desa. Bayangkan, betapa acara tujuh belas Agustusan di sini adalah panggung buat mereka orang biasa-biasa saja dalam peran keseharian yang ingin menunjukkan jati dirinya.  

Jadi, saat ada pengumuman rute gerak jalan Tinggang-Bojonegoro sejauh 45 kilometer dialihkan ke jalur selatan yang dianggap tidak akan mengganggu lalu lintas poros utama Cepu-Bojonegoro, protes pun bermunculan. Menurut mereka, di hari itu satu-satunya kesempatan untuk bisa menunjukkan ke orangtua, kerabat dan teman dekat yang menonton dari pinggir jalan sambil bertepuk tangan riuh.

Aris,seorang pemuda lugu yang dalam keseharian jadi pelayan warung kopi di pertigaan telon bisa mendadak tenar saat memakai jas dan kacamata hitam. Betapa kembang - kempis hidungnya saat pujian meluncur dari dandanannya itu.

Sigit, seorang kuli panggul pasar, bisa jadi pak lurah yang tertunduk lesu dengan dandanan khas seorang pejabat saat memainkan lakon tersangka korupsi dan diarak warga. Tapi tentu timbul kebanggaan di dirinya karena di hari itu dia bisa melampaui ekspektasi orang terhadap apa yang tidak pernah dicapai sepanjang hidupnya. Menjadi lurah. Meski hanya acara karnaval yang apus-apusan.

Semua butuh panggung di perayaan Agustusan ini, semua ingin tampil tidak biasa biasa saja. Semua ingin dapat tepuk tangan atau sekedar decak kekaguman. Pernah dengan ungkapan ini bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa oleh Sanento Yuliman. Sanento Yuliman, orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor seni rupa, menjelaskan hal itu dengan satu kalimat dalam esainya yang menarik, Di Bawah Naungan Para Pahlawan. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa,” tulisnya.

Parafrase Sanento itu menarik untuk diletakkan dalam kerangka imajinasi produktifnya Paul Ricoeur yang memungkinkan lahirnya gambaran kebangsaan yang tak terbayangkan sebelumnya. Ada sebuah horison di masa depan yang di dalamnya diimajinasikan sebagai yang berbeda, liyan, dari sebelum-sebelumnya, yang bagi Ricoeur akan mewedarkan apa yang disebut sebagai horison pengharapan (horizon of expectation). Ini berhadapan dengan jenis imajinasi reproduktif (Oleh Ricoeur disebut reproductive imagination), sejenis imajinasi yang minimalis kadarnya, karena ia muncul sebagai peng-iya-an dari masa silam dan sesuatu yang –dalam bentuknya yang ekstrim– biasa memunculkan sikap getol dan keukeuh melap-lap warisan masa silam. (Zen.RS dalam esainya berjudul Kepahlawanan di Era Post-Nasionalisme).

Imajinasi produktif ini membuka diri pada pentingnya sikap, tindakan atau pekerjaan biasa yang mungkin tidak terlampau gagah dan heroik, yang dilakukan bukan oleh pribadi yang siap menyerahkan raga dan nyawa bagi keutuhan NKRI, tapi hanya seseorang yang melakukan pekerjaan biasa atau merealisasikan ide-ide yang sederhana – pendeknya sesuatu yang tak bersifat epik yang berdaya auratik.

Merekalah yang saya sebut sebagai pegiat acara kemerdekaan sesungguhnya. Para pemuda yang dianggap menganggur dan luntrang lantrung gak jelas justru tampil terdepan dalam menyusun rapat kecil di warung kopi. Memviralkan pesan untuk mengisi perayaan semeriah meriahnya. Sebesar besarnya.

Merekalah yang terus bergerak dari pinggir. Dari sudut - sudut kios pasar memungut receh demi receh sumbangan dari pedagang agar terkumpul iuran. Mereka yang berletih - letih menyusun susunan panitia dan pembagian kerja, mendirikan panggung, menghias becak untuk pawai, mungkin juga pedagang yang rela kulakan bendera dan merelakan dagangannya didiskon untuk sekadar memanteskan gapura dengan bendera dan umbul-umbul. Mereka yang menghias gapura aneka warna, memupurinya dengan gamping. Mereka yang berleleran keringat berlatih gerak jalan dengan peluit nyaring. Mereka yang membuntuti peserta lomba gerak jalan dan bertugas menyediakan konsumsi dari sepeda motor mereka. Sebuah kesadaran kolektif.

Merekalah yang tidak merutuki gelap, tapi mereka yang lebih memilih menyalakan lilin, betapa pun sayu dan kecilnya nyala lilin itu.  Kita butuh mereka itu justru karena persoalan yang dihadapi terlampau banyak, bertumpuk, beragam bidang dan aspek. Kita tak bisa lagi hanya berharap pada lurah, perangkat desa, atau seorang ulama – pendeknya. Orang-orang penting atau nama-nama besar sebab mereka terkadang lebih fokus ke bidang koordinasi. Mereka sudah punya panggung sendiri yang wangi, yang agung, keramat dan tak bakalan diusik karena dalam keseharian sudah dianggap punya nilai peran lebih dari kebanyakan liyan.

Setidaknya jika kita tidak pernah bisa menjanjikan kehidupan yang lebih baik, dalam perayaan tujuh belas Agustusan ini marilah berikan kesempatan seluasnya bagi mereka yang dalam kehidupan sehari-hari dianggap tidak punya peran menonjol di lingkungan jadi sesuatu yang bukan mereka dalam keseharian mereka. Berikan mereka panggung agar jadi lebih berarti. Jadikan mereka lebih berarti.

Dirgahayu Indonesiaku. Salam

*Penulis adalah pegiat Komunitas Langit Tobo

 

Gempur Rokok Ilegal
Berita Terkait

Videotorial

Inilah Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau

Berita Video

Inilah Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau

Bojonegoro - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, pada tahun 2025 ini dialokasikan bakal menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH ...

Berita Video

Berikut Ini Optimalisasi Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Berita Video

Berikut Ini Optimalisasi Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, pada tahun 2025 ini dialokasikan bakal menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) sebesar ...

Teras

Memasukkan Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Kurikulum Sekolah di Bojonegoro

Menyoroti Konsep Penanggulangan Bencana di Bojonegoro

Memasukkan Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Kurikulum Sekolah di Bojonegoro

"Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. ...

Opini

Program ‘Bojonegoro Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD

Opini

Program ‘Bojonegoro Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD

Bojonegoro - Jika hari ini ada beberapa kelompok menggiring opini bahwa dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro ...

Quote

Bagaimana Ucapan Idulfitri yang Benar Sesuai Sunah Rasulullah

Bagaimana Ucapan Idulfitri yang Benar Sesuai Sunah Rasulullah

Saat datangnya Hari Raya Idulfitri, sering kita liha atau dengar ucapan: "Mohon Maaf Lahir dan Batin, seolah-olah saat IdulfFitri hanya ...

Sosok

Pratikno, di Mata Mantan Bupati Bojonegoro, Kang Yoto

Sosok

Pratikno, di Mata Mantan Bupati Bojonegoro, Kang Yoto

Bojonegoro - Salah satu putra terbaik asal Bojonegoro, Prof Dr Pratikno MSoc Sc, pada Minggu malam (20/10/2024) kembali dipilih menjadi ...

Infotorial

Busambo: Ketika Industri Migas Menjadi Penjaga Budaya di Tengah Gelombang Digital

Busambo: Ketika Industri Migas Menjadi Penjaga Budaya di Tengah Gelombang Digital

Bojonegoro Suara gemerincing gamelan dan hentakan kendang mengalun dari sebuah sanggar di Desa Kaliombo, Kecamatan Purwosari, Bojonegoro, Jawa Timur. Di ...

Berita Foto

Foto Evakuasi Serpihan Pesawat T-50i Golden Eagle TNI AU yang Jatuh di Blora

Berita Foto

Foto Evakuasi Serpihan Pesawat T-50i Golden Eagle TNI AU yang Jatuh di Blora

Blora - Petugas gabungan dari TNI, Polri, BPBD dan warga sekitar terus melakukan pencarian terhadap serpihan pesawat tempur T-50i Golden ...

Religi

Pakaian Ihram saat Haji dan Umrah, antara Syariat dan Hakikat

Pakaian Ihram saat Haji dan Umrah, antara Syariat dan Hakikat

Judul itu menjadi tema pembekalan sekaligus pengajian Rabu pagi (24/01/2024) di Masjid Nabawi al Munawaroh, Madinah, kepada jemaah umrah dari ...

Wisata

Bojonegoro Bakal Gelar Festival Geopark 2025

Bojonegoro Bakal Gelar Festival Geopark 2025

Bojonegoro - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) bakal menggelar Festival Geopark 2025. Festival Geopark 2025 ...

Hiburan

Jambore dan Gelar Seni Taruna Budaya Meriahkan Festival Geopark Bojonegoro 2025

Festival Geopark Bojonegoro 2025

Jambore dan Gelar Seni Taruna Budaya Meriahkan Festival Geopark Bojonegoro 2025

Bojonegoro - Sejumlah acara, meriahkan hari ketiga Festival Geopark Bojonegoro 2025. Sabtu (28/06/2025). Di pagi hari, kegiatan diawali dengan Pembukaan ...

1757325329.9956 at start, 1757325330.2201 at end, 0.2245500087738 sec elapsed