Gerakan Desa Sehat dan Cerdas, Antara Harapan dan Tantangan
Senin, 07 Maret 2016 13:00 WIBOleh Sudalhar MKep
Oleh Sudalhar MKep
BOJONEGORO dengan Gerakan Desa Sehat dan Cerdas (GDSC) telah berupaya melakukan pelayanan kesehatan yang paripurna. Mulai dari pelayanan kesehatan dasar di setiap desa dengan berdirinya Pondok Kesehatan Desa (Ponkesdes). Disamping itu beberapa desa juga terdapat Puskesmas pembantu.
Upaya ini dilakukan demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan perilaku hidup sehat dengan 8 parameter, ODF, sanitasi non ODF, angka kematian ibu dan angka kematian balita, balita kurang gizi, lantai rumah kurang sehat, lingkungan sehat, kepesertaan JKN, dan kepesertaan KB.
Mencermati tujuan dan indikator GDSC, maka penggalian data diperlukan untuk mengidentifikasi masalah, kemudian menetapkan perencanaan yang akan dikoordinasikan lintas sektor, eksekusi program, pelaporan, monitoring evaluasi, serta reward and punishment.
Semua tugas tersebut sangat mungkin dilaksanakan oleh petugas kesehatan yang berada di desa yang tergabung dalam Ponkesdes terdiri perawat dan bidan.
Perawat bisa melakukan Comunity Health Nursing (CHN) bahwa petugas datang ke masyarakat melalui komponen terkecil yaitu keluarga. Petugas akan memberikan asuhan keluarga senada jargon SAGASIH (Sapa Keluarga dengan Kasih) dengan cakupan kegiatan pada ODF, sanitasi, pemberdayaan JKN, Posyandu lansia, dan Posyandu balita.
Selain itu, kunjungan pada kelompok khusus dan lintas sektor, perawatan keluarga pada pasien dengan penyakit kronis, terminal dan resiko tinggi (TB, HIV,kusta, Diabet, Stroke, lansia dengan penyakit penyulit,gangguan jiwa).
Sementara bidan bisa lebih aktif pada pelayanan ibu hamil resiko tinggi (bumil resti), ibu nifas dengan resiko tinggi (bufas resti) dan balita resiko tinggi (balita resti).
Masalah mulai muncul ketika tugas pelayanan kesehatan di desa menjadi komplek. Tenaga kesehatan di Ponkesdes harus melayani pasien yang datang ke Ponkesdes, meliputi pemeriksaan dan pengobatan dasar, edukasi dan konseling pasien, pengelolaan obat, pemeliharaan sarana, dokumentasi dan pelaporan program lansia, LB1, penggunaan obat, CHN, kesehatan jiwa, kesehatan gigi dan mulut, olahraga, HIV, TBC, Kusta, DBD, KLB, Kohort ibu, kohort anak, PCARE, dan lain-lain.
Bahkan para tenaga kesehatan di bawah naungan Puskesmas yang melayani pasien rawat inap masih harus melaksanakan tugas dinas shift di Puskesmas induk. Belum lagi beban tugas administratif yang menyita banyak tenaga, waktu dan fikiran. Bahkan beberapa catatan dan pelaporan dengan isi yang kadang sama dalam buku dan program berbeda berdampak pada tidak optimalnya tenaga kesehatan melakukan pelayanan CHN melalui SAGASIH. Ini semua adalah tantangan.
Untuk mencegah permasalahan tersebut, ada beberapa alternatif solusi yang bisa ditawarkan, yakni:
1. Sistem pelaporan yang sederhana dan terpadu dari beberapa program yang berkaitan.
2. Sistem informasi desa yang berbasis IT yang memuat data dan indikator kesehatan.
3. Tenaga perekam medis dan informasi kesehatan yang mengelola sistem informasi dan pelaporan.
4. Alokasi pembiayaan kesehatan dari APBDesa maupun APBD mengingat kesehatan adalah hajat hidup orang banyak.
5. Intensifikasi monitoring dan evaluasi antara Puskesmas dan Pemdes dalam mengawal program kesehatan.
6. Konsistensi dari semua pihak dalam melaksanakan niat baik. Semoga bermanfaat. (*/tap)
*) Penulis adalah Ketua Stikes Muhammadiyah Bojonegoro (Maboro)