Sistem Pendidikan Islam Solusi Generasi Berperadaban
Senin, 02 Mei 2016 08:00 WIBOleh Liya Yuliana *)
*Oleh Liya Yuliana
Tercatat dalam sejarah bahwa 2 Mei adalah hari pendidikan. Hal ini dinobatkan di negeri tercinta bersamaan dengan lahirnya Ki Hajar Dewantara (pendiri Taman Siswa). Mencoba membuka lmbaran sejarah yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 halaman 52 tertulis “Setiap ada gerakan sosial pendidikan Islam, dapat dipastikan selalu lahir organisasi tandingannya. Misalnya sepuluh tahun kemudian Persjarikatan Moehammadijah ditandingi Taman Siswa yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara, 1922 M.” Dari tulisan ini tampak bahwa sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa ternyata seorang ulama KH Ahmad Dahlan telah dahulu berkecimpung di dunia pendidikan. Terlepas dari fakta sejarah, penulis bermaksud sedikit membuka tabir pendidikan dari perspektif lain.
Berbicara tentang pendidikan, artinya berbicara masalah masa depan. Pendidikan yang unggul akan melahirkan generasi yang unggul. Pendidikan yang ala kadarnya menghasilkan generasi yang cengeng. Kita ketahui bersama pendidikan di Indonesia senantiasa mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Mengutip apa yang dikata sahabat Rasulullah Ali bin Abi Thalib “Didiklah anak-anakmu sesuai masanya.” Seiring berjalannya waktu, kurikulum pendidikan kian berganti. Dengan harapan menghasilkan generasi yang didambakan. Yakni generasi unggul. Namun pada faktanya masih menjamur pelajar yang melakukan aksi tawuran, mencontek saat ulangan bahkan sempat ada pemberitaan UN dengan aneka kecurangan yang sistematis. Sebelum lulus mereka meminta dalam doa agar memperoleh nilai bagus, namun sungguh sayang setelah lulus diumumkan yang ada wujud kesyukuran yang tidak pada tempatnya. Terbukti dengan main corat-coret baju sekolah, konvoi tak beraturan dan aneka hal yang sia-sia lainnya.
Selain itu mahalnya biaya pendidikan mengharuskan orang tua merogoh kantong dalam-dalam. Pendidikan menyentuh lapisan menengah dan menengah ke atas. Tak sedikit mereka yang putus sekolah atau tak mampu mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Biaya yang melangit sekan berkata “Orang miskin terlarang sekolah dan kuliah.” Bea siswa yang ada dengan administrasi yang lumayan rumit.
Sementara dalam pandangan Islam diwajibkan setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Tak hanya wajar (wajib belajar sembilan tahun) atau dua belas tahun namun sepanjang usia. Rasul pernah berpesan yang artinya “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”
Dalam Islam tujuan pendidikan dalam islam adalah mencetak generasi bersyaksiyah islamiyah (memiliki kepribadian islam) yang meliputi aqliyah (pola berfikir) dan nafsiyah (pola jiwa). Selain itu membentuk generasi yang cerdas dalam IPTEK sehingga terlahir para ilmuwan muslim sebagaimana para pendahulu seperti Al Khawarizmi (penemu aljabar, angka nol), Al Farabi ahli fisika, Al Jazali ahli robotik dan ilmuwan muslim lainnya.
Kejayaan Islam masa lalu seharusnya menjadi pelajaran bagi umat masa kini. Mengutip apa yang dikata oleh ahli sejarah Islam dan parenting nubuwwah Ustad Budi Ashari, Lc beliau mengatakan bahwa “Sejarah akan berulang pada suatu masa kemudian”. Jika dahulu pendikan kaum muslim pernah berjaya maka hal ini akan terulang. Yang menjadi pertanyaan “Apa rahasia pendidikan terdahulu hingga melahirkan sosok hebat (ilmuwan)?”
Mencoba mencari literatur terkait kehebatan yang pernah ada, penulis mendapatkan sebagai berikut. Islam dengan kesempurnaannya mengatur urusan manusia dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan, ekonomi, keamanan, pemerintahan semua lengkap ada dalam Islam.
Terkait pendidikan terdapat tiga pilar yaitu pertama, keluarga memegang peranan yang sangat penting, dari sanalah yang pertama dan utama pendidikan seorang anak. Rasul pernah berpesan kepada kita. “Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Muslim).
Kedua, sekolah/kampus sebagai penyelenggara pendidikan memiliki kontribusi yang signifikan. Semua tak lepas dari kurikulum pendidikan, mata pelajaran, dan metodologi pendidikan yang diajarkan. Di sekolah umum, pelajaran agama mendapat porsi minimalis, yakni satu pekan cukup 2 jam pelajaran saja, bahkan di perguruan tinggi selama delapan semester mata kuliah agama mendapat porsi dua sks. Saat mahasiswa hanya mencukupkan diri belajar di dalam kelas perkuliahan, maka dua sks teramatlah jauh dan bahkan sangat kurang. Sehingga wajar jika anak didik kering keimanan. Selain itu dari segi konten buku pelajaran beberapa waktu lalu masih kita jumpai buku pelajaran yang cenderung mengajarkan kebebasan dalam bergaul dengan lawan jenis.
Ketiga, masyarakat atau yang biasa disebut dengan pendidikan nonformal. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat juga memegang peranan yang sangat penting. Masyarakat akan mempengaruhi individu-individu. Jika masyakarat buruk maka akan mempengaruhi individu yang ada didalamnya. Jika masyarakatnya baik, dan di sana terdapat kebiasaan saling menasihati dalam kebenaran, maka individu yang di dalamnya akan tersuasana dalam ketakwaan.
Selain ketiga pilar, negara juga memegang peranan yang sangat vital. Negaralah yang memiliki power terbesar dalam keberlangsungan pendidikan yang tengah berjalan di negeri ini. Mulai pembiayaan, penyediaan sarana prasarana, kurikulum dan hal lainnya. Seperti halnya maraknya sosial media, internet yang juga memberi pengaruh yang signifikan kepada generasi. Melalui negara, situs porno dapat diatasi dengan melakukan pemblokiran, menyaring TV yang menayangkan habit (kebiasaan) yang tidak sesuai dengan agama dan moral. Negara pula yang mampu melakukan kontrol individu dan masyarakat melalui aturan yang berlaku. Dengan biaya pendidikan yang terjangkau (gratis dari negara) dan berkualitas berlandaskan akidah, akan lahirlah generasi yang unggul dan mantab.
Sehingga dari sini dapat kita tarik benang merah, untuk mewujudkan output pendidikan yang mantab, berkepribadian unggul, maju dalam IPTEK dan berperadaban maka Islam solusinya. Dibutuhkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Tidak cukup keluarga atau sekolah atau masyarakat saja namun kesemuanya bersatu padu dan tak lepas dari kontrol negara. Saatnya semua elemen melakukan muhasabah. Mulai kurikulum pendidikan yang berlaku “Sudahkah kurikulum sesuai akidah yang mampu menjadikan manusia semakin taat kepada Tuhannya atau sebaliknya?” Melakukan pemblokiran situs yang merusak akidah dan akhlak generasi. Pembiayaan pendidikan diupayakan gratis dari negara baik rakyat miskin maupun kaya, baik berakal pas-pasan maupun berakal cerdas. Allahu A’lam
*Penulis adalah guru SD Muhammadiyah 2 Bojonegoro